Oleh Much. Khoiri
PERNAH saya sampaikan, entah lewat tulisan atau ungkapan lisan, bahwa dalam menulis cerita (cerpen, pentigraf, cerita mini, novelet, atau novel), tokoh menjadi unsur intrinsik paling penting. Loh, mengapa demikian?
Begini, cerita itu bisa diibaratkan seperti hidup sehari-hari. Dalam cerita, kita mengenal tokoh, sama halnya kita tahu manusia di sekitar kita. Kita mengenal setting dalam cerita, sama halnya kita mengenal lingkungan: tempat, waktu, dan suasana. Kita juga mengenal tema, sama halnya kita mengetahui isi, pranata, dan konsep hidup. Kita juga mengenal alur, sama halnya kita kisah atau siklus hidup manusia. Singkatnya, unsur-unsur instrik cerita bisa disepadankan dengan unsur-unsur hidup kita.
Nah, mengapa tokoh paling penting? Jawabannya memang bisa relatif. Namun, mari kita renungkan di antara semua unsur di atas, manakah yang paling mampu mempengaruhi yang lain? Pertanyaan ini pernah saya bawa ke dalam ruang diskusi dengan mahasiswa. Setelah berdiskusi panjang, pada ujungnya unsur manusialah yang paling penting dalam hidup ini.
Mari sedikit mengulik terbangunnya sebuah budaya di dalam komunitas. Apakah budaya yang membentuk manusia ataukah manusia yang membentuk budaya? Bisa saja budaya (yang sudah jadi) akan membentuk manusia yang baru tiba di dalam lingkungan komunitas. Namun, budaya yang sudah jadi itu pada awalnya juga dibentuk oleh manusia atau komunitas di wilayah tertentu.
Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan “Manakah yang lebih dulu ada, ayam atau telur?” Bisa saja orang berdebat panjang kali lebar kali tinggi. Namun, ayam ada lebih dulu dari pada telur. Ayamlah pelakunya, akhirnya memiliki telur, bukan sebaliknya.
Jadi, unsur manusia menjadi sangat sentral. Manusia itu makhluk berakal yang memiliki akal, daya cipta dan kreativitas, dan oleh karena itu mampu membangun budaya yang diinginkannya—bisa membuat lingkungan yang indah, mengolah bahasa, membangun peradaban, dan sebagainya. Dengan kemampuan manusia, dunia menjadi tempat hadirnya kisah-kisah yang luar biasa. Pada tataran tertentu, ada yang menyebut, bahwa manusia itu bisa menjadi “creator” (pencipta)—berdasarkan kekuatan pengetahuan dan imajinasinya.
Alam dunia ini jauh-jauh hari diciptakan oleh Allah, bahkan jauh hari sebelum Adam dan Hawa ada. Sebelum kehadiran Adam dan Hawa, dunia agaknya sebuah tempat yang tidak dinamis, diam dalam keheningan. Setelah ada Adam dan Hawa ada, terlebih ada tambahan keturunannya, dunia menjadi berkembang, baik berkembang ke arah lebih positif, maupun ke arah lebih negatif.
Karena itu, kembali lagi, jika menulis cerpen, kita bisa mementingkan tokoh (karakter) lebih dari pada unsur intrinsik lainnya. Kita tentukan tokoh yang kuat, unik, dan “hebat” dalam bayangan kita. Sebagaimana manusia hebat mampu mengubah dunia, maka demikian pun tokoh yang kuat, unik, dan hebat.
Tokoh yang kuat, unik, dan hebat akan mampu membuat unsur-unsur cerita lainnya menjadi hidup, sebagaimana manusia hebat mampu menggerakkan manusia lain dan lingkungan. Kita bisa menitipkan pesan atau amanat lewat tokoh itu. Dialog-dialog yang kita buat di dalam cerita juga tak lepas dari adanya tokoh-tokoh yang kita tetapkan.
Meski demikian, ada cara praktis untuk membuat tokoh cerita kita cair dalam menghidupkan cerita. Caranya adalah kita asosiasikan tokoh dalam cerita itu dengan figur atau tokoh di sekitar kita. Visualisasi ini mempermudah kita mengembangkan cerita kita. Kalau tidak percara, boleh dicoba, gratis!
Bagaimana praktiknya secara lebih rinci? Mari kita coba bersama-sama. Besok pagi atau petang kita akan saling membandingkan cerita yang telah kita tulis. Setuju? Sampai besok.
Gresik, 20/07/2024
Terima kasih ilmunya, Pak. Kalau membuat cerpen, dalam pikiran saya tokonya tergambar jelas, tapi sering kurang dimunculkan dalam cerita. Hehe….
Terima kasih banyak, Bu. Tapi begitulah, kita perlu memperhatikan tokoh dalam menulis cerpen.
Terima kasih ilmunya
Barakallah