Oleh Much. Khoiri
Dalam memberikan nasihat, orang melakukannya bukan hanya secara lisan tetapi juga lewat tulisan. Meski demikian, sebagaimana kita hayati dalam hidup sehari-hari, kebanyakan orang lebih mampu memberikan nasihat lisan dari pada nasihat lewat tulisan.
Orang yang mampu dan mau memberikan nasihat lisan termasuk suatu kemuliaan dan kehormatan—bahwa pemberi nasihat menunjukkan kepedulian dan rasa sayangnya kepada orang lain. Sementara itu, di luar sana, banyak orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Maksudnya, pemberi nasihat tidak tergolong ke dalam orang kebanyakan, melainkan orang yang luar biasa.
Para intelektual tempo dulu meninggalkan warisan berupa buku-buku mereka, hakikatnya, juga mewariskan nasihat-nasihat serta pengetahuan kepada kita yang hidup sekian abad setelahnya. Kita dapat menikmati apa yang mereka sampaikan lewat buku. Bahkan sebagian kita tergerak untuk mengembangkan pemikiran mereka. Mereka telah berusaha menjaga kesinambungan pengetahuan kepada generasi selanjutnya. Mereka mengabadi dalam karya, dan berkembang dalam dunia pemikiran.
Saya ingin menegaskan, bahwa pemberi nasihat lisan saja adalah orang yang luar biasa, apa tah lagi pemberi nasihat lewat tulisan. Pemberi nasihat lewat tulisan jauh lebih sedikit dan langka dari pada pemberi nasihat lisan. Jika belum percaya, tengoklah sekeliling kita secara cermat, dan kita akan dapati banyak bukti bahwa jauh lebih mudah menemukan penceramah dari pada penulis. Dalam sebuah daerah kecamatan, di pinggiran kota, belum tentu bisa ditemukan seorang penulis. Padahal, penulis adalah orang yang amat mungkin mampu bertindak sebagai pemberi nasihat yang istimewa.
Pada posisi inilah penulis buku Nadhira 2: Belajarlah Hidup, Rajawali Kecilku (2024) ini berdiri. Sebagai penulis, penulis buku ini–Telly D. (nama pena dari Daswatia Astuty)–bertindak sebagai pemberi nasihat yang istimewa—bahkan unik dan langka—karena dia adalah satu di antara puluhan atau ratusan orang yang mampu dan mau memberikan nasihat lewat tulisan. Nasihat tertulisnya memiliki kemampuan merembes yang dahsyat, bahkan menembus batas waktu karena telah diabadikan dalam tulisan (buku).
Demikianlah, penulis buku ini, tanpa disadarinya, telah memberikan nasihat kepada cucunda Nadhira lewat tulisan. Saya memaknainya demikian, sebab bagi saya: “kesadaran sejati sebenarnya tersimpan di balik ketidaksadaran.” Apakah nasihatnya? Penulis buku ini memberikan aneka nasihat kepada Nadhira untuk belajar menghayati hidup yang penuh kisah, mulai kisah hidup sebagai individu hingga hidup sebagai makhluk sosial.
Meski demikian—dan inilah yang menarik—nasihat lewat tulisan (seperti yang ada di dalam buku ini) tidaklah berwujud kalimat-kalimat perintah, ajakan, atau larangan secara langsung sebagaimana orang memberikan nasihat lisan. Sebaliknya, penulis buku ini menyampaikannya dengan perlambang-perlambang atau simbolisasi, yakni dengan mengabadikan setiap kisah Nadhira yang oleh penulis buku ini sebut “Rajawali Kecilku” itu.
Sebagaimana diungkapkan dalam Prakata, penulis buku ini menegaskan betapa tulisan-tulisan yang ada dapat menjadi “bukti kasih sayang dan kepedulian Puang Ina kepada Nadhira”, “warisan berharga yang menghubungkan Nadhira dengan sejarah dan budaya keluarga, serta “kenangan tak ternilai yang dapat dijadikan pengingat akan masa-masa bahagia, tantangan, dan perkembangan yang telah dialami Nadhira.”
Alangkah bernilai dan berharganya tulisan-tulisan di dalam buku ini. Pada saatnya kelak Nadhira akan menyadari betapa luas dan dalamnya kasih sayang sang nenek bagi hidupnya. Nadhira juga dituntun untuk memahami betapa pentingnya sejarah dan budaya keluarga. Selain itu, Nadhira juga akan memahami bahwa hidup itu tidaklah datar (life is never flat), melainkan ada tantangan dan perkembangannya.
Yang menarik lagi, nasihat-nasihat halus lewat tulisan di dalam buku ini amat mungkin meninggalkan kesan mendalam dan kenyamanan tertentu. Nadhira bakal menemukan hikmah-hikmah nasihat tanpa merasa didoktrin dan dipaksa untuk menerimanya sesuai keinginan sang nenek. Nadhira memperoleh kebebasan untuk mencernanya sendiri sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.
***
Selain sebagai nasihat, penulisan buku ini juga suatu bentuk keteladanan. Inilah suatu keteladanan untuk mengabadikan setiap tahap perkembangan cucunda ke dalam tulisan (buku)—suatu tindakan bijak yang hanya bisa dilakukan oleh orang literat yang ingin menebarkan virus literasi kepada cucunda, keluarga, dan masyarakat pembaca.
Tatkala suatu saat kelak Nadhira sudah mampu membaca dan memahami bacaan dengan baik, dia akan mampu menerima pesan dari buku ini: Cucunda, kalau kamu ingin sejarah hidupmu abadi, maka tulislah. Tulisanmu akan hidup dalam sekian generasi. Ingatlah, Cucunda, bahwa tulisan yang kamu hasilkan akan melampaui batas ruang dan waktu.
Dari Prakata penulis buku ini, kita tahu bahwa “Catatan harian ini juga bisa menjadi sumber inspirasi dan pelajaran hidup bagi Nadhira . Melihat bagaimana nenek mengamati dan merenungkan setiap peristiwa bisa memberikan wawasan dan kebijaksanaan yang bermanfaat bagi Nadhira ketika saatnya nanti menghadapi kehidupan.”
Lebih jauh, penulis buku ini juga menggarisbawahi bahwa “Buku ini akan menjadi simbol cinta yang tak terputus menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dengan benang merah kasih sayang dan perhatian, akan terus mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya, menciptakan ikatan keluarga yang luar biasa eratnya.”
Dengan ungkapan tersebut, penulis buku ini telah mencoba memberikan keteladanan kepada Nadhira untuk mengabadikan setiap peristiwa penting ke dalam tulisan—tentu, agar bermanfaat bagi generasi penerus untuk bekal tambahan dalam menghayati hidup. Menulis akan menjadi cara menyambung sejarah dan budaya diri dan keluarga—bahkan akan mengimbas kepada masyarakat dan bangsa.
Nadhira, dan pembaca buku ini, akan semakin yakin bahwa penulis buku ini adalah orang yang kredibel untuk menghadirkan buku ini. Dia memiliki kemampuan dan pengalaman menulis buku. Selain buku Nadhira: Terbanglah, Rajawali Kecilku (2023), dia juga telah menerbitkan puluhan judul buku, baik mandiri maupun antologi, misalnya Kepala Bukan Ekor (2019), Epigraf Safari yang Mengabadi (2022), Guru Besar di Mata Guru Kecil (2023), Ibu adalah Sekolah (2023), dan Zaman Sudah Berubah (2024).
Tidak udah jauh-jauh, buku yang kita pegang ini adalah bukti nyata bahwa penulis buku ini telah menunjukkan keteladanan dalam menulis, dan bahwa penulis adalah orang yang kredibel dan tepat serta berhak memberikan nasihatnya kepada generasi penerus lewat buku, sebagaimana dia telah lakukan terhadap Nadhira di dalam buku ini.[]
*Much. Khoiri (nama pena dari Dr. Much. Koiri, M.Si.) adalah dosen Unesa Surabaya, sponsor literasi, trainer, certified editor/writer, menerbitkan 78 buku fiksi-nonfiksi. Buku terbaru “Seni, Sastra, Budaya: Bunga Rampai Esai Pilihan Dosen dan Alumni FBS Unesa” (2024). Tulisan ini pendapat pribadi.
Terima kasih membuat saya haru membacanya🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Sama-sama