Oleh Much. Khoiri
DUNIA literasi di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang semakin pesat, setidaknya terdapat praktik-praktik literasi yang dinamis terjadi di lingkungan sekolah. Belum ada survei nasional tentang hal ini, tetapi gejala dinamika perkembangan tampak dari maraknya pewartaan di media konvensional dan media sosial.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang menjadi salah satu pokok muatan kurikulum pendidikan memberikan andil besar. Sinergitas dari berbagai pihak juga menggerakkan arus literasi ke segala pelosok. Memang harus diakui bahwa menggalakkan literasi menjadi budaya butuh serangkaian perjuangan yang tidak ringan. Masih ada jalan panjang terbentang.
Pada saat kita membangun budaya literasi di segala lini secara bersamaan, masyarakat kita dikelilingi berbagai konten melalui media online dan media sosial. Akibatnya, ada kegagapan di antara sebagian besar masyarakat dalam memaknai gerakan (budaya) literasi. Pelajar dan guru pun mengonsumsi karya literasi melalui media online dan media sosial secara parsial. Akibatnya, karya tulis di media online yang tidak jelas sumbernya dianggap sebagai sumber kebenaran.
Sementara itu, tak dimungkiri, gerakan (budaya) literasi merupakan kebutuhan dan tuntutan yang mendesak untuk membangun dan meningkatkan martabat bangsa. Untuk itulah, gerakan kultural ini perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan guna menebarkan virus literasi.
Pada praksis pendidikan, menggerakkan budaya literasi merupakan langkah strategis. Ada berbagai pihak yang akhirnya terlibat langsung jika dimulai dari sekolah, yakni siswa, guru, orangtua, dan masyarakat. Gerakan literasi sekolah yang dimulai dengan membaca 15 menit sebelum pelajaran harus bergerak ke kemampuan literasi yang menghasilkan karya.
Dengan kalimat lain, gerakan literasi perlu melewati tiga tahap yang dasariah, yakni pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Membaca 15 menit hanyalah gong awal kegiatan pembiasan, yang harus dilanjutkan dengan pengembangan dan pembelajaran. Pada tahap terakhir ini, hasil karya layak diharapkan dari para pembelajar literasi. Inilah tantangan yang harus dijawab secara nyata.
Guru sebagai katalisator harus memiliki inisiatif untuk menjadi role model (teladan) dalam literasi. Keteladanan itu jauh lebih berkekuatan dari pada sekadar perintah atau larangan lisan. Mereka tidak hanya sebagai pengatur jadwal membaca, melainkan juga harus tergerak untuk menghasilkan karya tulis. Sebab, dengan karya yang dihasilkan, guru dapat menjadi inspirasi bagi murid.
Sayangnya, banyak guru yang identik dengan kegiatan tulis menulis, faktanya, masih berkesulitan dalam menghasilkan karya tulis berupa artikel, penelitian ilmiah, dan buku. Tuntutan karya tulis pada jenjang karir dan kepangkatan semakin dirasakan menjadi beban oleh sebagian besar guru. Sudah sangat banyak fakta guru kesulitan tidak mudah naik pangkat karena ketiadaan karya tulis.
Padahal keterampilan menulis bisa dipelajari dan dikuasai oleh siapa saja, lebih-lebih oleh profesi guru. Yang dibutuhkan hanyalah ketekunan untuk berlatih secara konsisten. Keterampilan perlu banyak praktik dan latihan, bukan semata pengetahuan teoretik. Cukup banyak guru yang berhasil. Mereka sebelumnya tidak mahir dalam menulis tapi akhirnya bisa menghasilkan karya berupa buku setelah tekun berlatih secara konsisten.
Maka, para sahabat guru yang belum mampu dan mahir menulis disarankan untuk mengikuti jejak-jejak guru yang telah menulis buku. Ada baiknya guru mengikuti pelatihan menulis, dan kemudian mempraktikkannya–yakni menulis, menulis, dan terus menulis guna menghasilkan karya yang hebat. Pratice makes all things perfect, praktik dan latihan membuat segala sesuatu sempurna.[]
Gresik, 2-01-2024