Oleh Much. Khoiri
SAYA tidak membahas secara rinci tentang hakikat dan cirikhas era disrupsi, suatu era yang ditandai dengan perubahan dahsyat di segala bidang kehidupan. Sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya, terjadilah pada era ini. Teknologi internet dan perangkat-perangkat pendukungnya telah membuat hidup seakan serba otomatisasi. Di sini saya lebih berfokus pada bagaimana menjalaninya.
Ya, era disrupsi memang menyuratkan perubahan dahsyat; namun, perubahan tetaplah perubahan—kendati intensitasnya sangat besar. Agaknya tidak pernah terjadi perubahan dahsyat semacam ini. Perubahan-perubahan ini, bahkan, sungguh tidak diprediksikan sebelumnya. Orang-orang tertentu, yang kena dampaknya, tidak jarang shocked dan terbelalak.
Bagaimana menjalani era disrupsi semacam itu? Berikut ini paparan sederhana saya berdasarkan pengalaman pribadi. Ada tiga hal yang saya terapkan dalam menghayati hidup ini: memiliki sikap positif, kreativitas, dan kemampuan adaptif.
Sikap Positif
Beruntunglah, saya bersikap positif dalam melihat setiap perubahan. Saya ambil nilai, makna, dan hikmahnya. Itu sebuah kesadaran bahwa sepanjang manusia hidup dan berkembang dalam dinamika sosiokultural; perubahan itu sebuah keniscayaan. Sebab, manusia hakikatnya menginginkan suatu perubahan tertentu dalam hidupnya, secara individual maupun secara sosial.
Mengapa sikap positif diperlukan? Sikap positif akan menggugah kesadaran sejati bahwa yang abadi adalah perubahan itu sendiri, dan bahwa manusia dianugerahi kemampuan dasar untuk menyelesaikan masalahnya dalam setiap perubahan. Begitulah saya memaknai makna sikap positif dalam merespon perubahan.
Dengan sikap positif, saya menyadari bahwa perubahan ya perubahan. Saya tidak perlu gumunan (terheran-heran, terbengong, terpana) atas perubahan. Biasa saja, wajar-wajar saja. Perubahan itu sunnatullah alamiah; jadi mengapa saya harus gumunan dan seakan gerah serta takut akan perubahan. Perubahan, baik dicegah maupun dihalangi, akan tetap terjadi; dengan tingkat intensitasnya sendiri.
Semenjak masih remaja, saya telah menghadapi perubahan demi perubahan dalam sesrawungan sosial dalam skala luas. Alat tulis saja, pernah saya menggunakan sabak dan grip, kemudian bergeser ke buku dan pensil atau bulpen, lalu mesin tik, komputer PC, laptop dan seterusnya. Kini saya menulis artikel atau buku di ponsel saya dengan aplikasi ColorNote. Bahkan sekarang sudah ada godaan aplikasi-aplikasi menulis akademik dan kreatif yang sangat canggih.
Dulu kalau saya rindu kepada kekasih, saya harus menulis pada kertas wangi bermotif bunga, misalnya. Saya kemudian memasukkannya ke dalam amplop yang juga wangi baunya. Di perjalanan menuju kantor pos, saya sesekali menciuminya. Sekarang, gaya seperti itu sudah tidak usum alias tidak lazim. Sekarang anak muda, ketika rindu mendera, cukup mengandalkan ponsel untuk menelpon, atau ber-whatsapp, atau video call. Jarak dan waktu nyaris tiada gunanya. Long-distance love, cinta jarak jauh, sudah biasa.
Saya tidak gumun dan tidak terkaget-kaget dengan semua itu—dijalani saja semuanya dengan sikap positif. Sikap positif membuat saya optimistik untuk belajar menerima perubahan beserta segala konsekwensinya. Dengan sikap positif, saya yakin bisa melakukannya dengan baik. Sikap positif menjadi modal dasar bagi setiap pikiran, sikap, dan perilaku saya. Alhasil, sikap positif membuat saya masih eksis hingga sekarang.
Kreativitas
Selain sikap positif, saya merasa memiliki kreativitas dalam diri saya. Kreativitas itu, pada hakikatnya, milik individu dalam merespons stimulus dari dunia luar diri. Kreativitas lahir dari individu-individu yang kreatif–yang siap menciptakan dan menemukan sesuatu yang baru dan unik tatkala menghadapi situasi atau peristiwa baru.
Saya tidak bermaksud mengklaim diri sebagai manusia penuh kreativitas. Namun, dalam bidang-bidang yang saya kuasai (literasi, bahasa, kajian budaya, sastra), saya memiliki kreativitas tertentu. Setidaknya, kreativitas itu unik bagi diri saya sendiri. Indikasinya, tatkala saya berada dalam situasi kritis, saya mudah menemukan solusi yang terbaik bagi masalah dalam bidang keahlian saya.
Terhadap perubahan dalam era disrupsi, kreativitas memang diperlukan. Pada satu sisi saya perlu kreatif dalam menulis tentang literasi bahasa, kajian budaya, dan sastra. Pada sisi lain saya juga perlu membuka diri untuk senantiasa belajar guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan diri. Dengan kreativitas, produk kreasi saya menjadi lebih unik dan istimewa.
Kreativitas bahkan menjadi modal untuk memanfatkan perubahan yang terjadi untuk kegiatan-kegiatan yang inovatif dan berdampak luas. Kreativitas juga membuat yang ada saat ini memiliki potensi berantai ke depan untuk berkembang lebih dahsyat lagi. Kreativitas dihasilkan oleh imajinasi; dan karena itu, ia bisa tidak berbatas ruang dan waktu.
Belakangan ini terbukti, kreativitas sangatlah penting di abad 21. Dalam buku The Rise of the Creative Class, Richard Florida (2012) membeber dengan cerdas fenomena bangkitnya kelas kreatif di Amerika. Menurut Florida, kelas kreatif Amerika mencapai jumlah sepertiga tenaga kerja di Amerika. Mereka itu orang-orang kreatif dalam bidang sains dan teknologi, seni, media, budaya, pekerja pengetahuan tradional, dan berbagai profesi. Ke depan merekalah yang akan berperan penting dalam kehidupan.
Saya berani mengatakan bahwa saya termasuk di dalam kriteria kelas kreatif a-la Florida itu. Saya penulis nonfiksi dan fiksi, sponsor literasi, dosen, dan editor serta pembicara publik untuk seminar atau pelatihan literasi. Jadi, jika hanya menghadapi perubahan berbagai bidang di era disrupsi, saya merasa mampu menjalaninya dengan baik.
Kemampuan Adaptif
Selain sikap positif dan kreativitas, saya juga merasa memiliki kemampuan adaptif. Ya, selama ini saya bisa menyesuaikan diri dengan setiap perubahan. Toh saya terlahir tanpa sehelai benang pun, lalu saya diberi pakaian, bisa merangkak, berjalan, lari, bersekolah, dan seterusnya. Dengan hasil didikan orangtua yang disiplin, lingkungan sekolah dan pondok pesantren, saya menjalani dan melampaui berbagai perubahan.
Kemampuan adaptif yang telah dianugerahkan oleh Tuhan itu telah menyatu dengan saya yang suka bersikap positif dan kreatif. Buktinya, saya terbiasa menggunakan ponsel untuk komunikasi; bahkan fitur-fiturnya memungkikan saya memesan taksi, makanan, transaksi, berbisnis, dan sebagainya. Kecanggihan-kecanggihan semacam ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya; namun, kini saya harus beradaptasi dengannya.
Saya sadar, jika saya tidak adaptif, pastilah saya akan menjadi “manusia purba” di era disrupsi ini. Saya akan dicap gaptek, jadul, primitif, dan stigma negatif lainnya. Saya akan tergilas oleh zaman. Saya bahkan akan terkucil dan terbuang dari peradaban. Tamatlah saya sebagai manusia. Saya hanya sebuah subjek yang kehilangan makna dalam konteks sosial.
Pilihan
Saat ini begitu banyak pilihan-pilihan dalam hidup ini. Manusia tinggal memilih mana yang disukai. Demikian pun dalam menghadapi era disrupsi, Anda juga tinggal memilih mana dari sekian pilihan yang paling cocok dengan kondisi dan impian hidup Anda.
Jangan bayangkan masa depan anak-cucu dengan kaca mata dan perspektif Anda sekarang. Jangan bayangkan apa yang anak cucu Anda akan lakukan dalam setiap perubahan kelak. Percayalah, selagi Anda membiasakan diri untuk mendidik mereka dengan sikap positif, kreativitas, dan kemampuan adaptif, kelak mereka akan hidup dengan baik-baik saja.
Pada setiap masa ada sejarahnya sendiri. Demikian pun dalam literasi hidup (melek hidup), manusia memiliki cara-cara mereka sendiri. Tak terkecuali anak cucu Anda, mereka pastilah akan baik-baik saja. Apapun perubahan yang bakal terjadi, semua itu hanya sunnatullah dan ujian yang harus dilalui. Percayalah, semua akan indah pada waktunya.*
Gresik, 18 Mei 2024
Biodata Singkat
MUCH. KHOIRI (a.k.a Much. Koiri). Kini dosen dan penulis buku dari FBS Universitas Negeri Surabaya, trainer, editor, sponsor literasi. Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa (2023). Pernah menjadi Kepala Pusat Bahasa Unesa, dan Ketua Kehumasan Unesa. Alumnus International Writing Program di University of Iowa (1993) dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996). Ia masuk buku 50 Tokoh Inspiratif Alumni Unesa (2014). Ia telah menerbitkan 74 buku budaya, sastra, dan menulis kreatif—baik mandiri maupun antologi. Youtube Channel: https://www.youtube.com/c/BlantikLiterasi. Tiktok: https://www.tiktok.com/@blantikliterasi. Weblog: https://muchkhoiri.com Emailnya: muchkoiri@unesa.ac.id. HP/WA: 081331450689.
Tulisan tang daging semua. Idi keren, cara penulisan “ bohay” memikat hati . 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Terima kasih banyak. Tetao semangat berkarya.
Masya Allah, materi yang luar biasa bermanfaat buat saya. Pas banget dengan yang sedang saya pelajari di PGP mengenai Budaya Positif. Terimakasih prof
Sama-sama, Bu Ari. Sehat selalu, tetap berkarya
Sikap positip, kreatif dan adaptif terjabar dsngan sangat baik. Trrimakasih tulisannya selalu mrnggugah kesadaran. Salam Abah
Sama-sama, Abah Hariyanto
Luar biasa. Terima kasih
Matur nuwun, Abah Inin
“Perubahan, baik dicegah maupun dihalangi, akan tetap terjadi; dengan tingkat intensitasnya sendiri.”, Menarik ulasannya. Tidak siap berubah, bersiaplah ditinggal.
Komentar yang menarik. Makasih, Mas
Saya suka. Saya menerima ide-idenya. Dan insya Allah akan terus saya coba jadikan suluh. Barakallah
Makasih, mas Ustadz