Oleh Much. Khoiri
Melakukan kerja kebudayaan bisa dilakukan lewat jalur formal dan jalur nonformal. Orang yang memiliki kedudukan formal, semisal pejabat publik, ia akan mampu menggunakan wewenang dan otoritasnya untuk menggerakkan dan menghidupkan kegiatan kebudayaan. Sementara itu, orang kebanyakan, yang tidak memiliki kedudukan formal, ia bisa menggunakan sarana lain untuk berjuang.
Salah satu sarana perjuangan kebudayaan mereka yang tidak berwenang adalah menulis—yakni menuliskan apa yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat pembaca. Mereka bekerja dalam “jalur sunyi”, jauh dari kegaduhan dan riak-riak unjuk kekuatan, jauh dari tepuk tangan dan pujian lisan. Lewat tulisan, mereka bersuara untuk menebarkan berbagai pemikiran yang diharapkan akan mampu mencerahkan dan menyadarkan masyarakat.
Dalam perspektif inilah tampaknya buku yang pembaca pegang ini—Karmina Warisan Budaya Nusantara—disusun oleh para penulisnya. Para penulis buku ini bukanlah pejabat publik yang memungkinkan mereka melakukan transformasi (perubahan) nilai-nilai budaya di dalam masyarakat. Sebaliknya, mereka adalah anggota masyarakat biasa namun memiliki kepedulian tinggi akan pentingnya menebarkan nilai-nilai budaya yang baik. Merekalah para pejuang kebudayaan—sosok langka di tengah ketidakpedulian masyarakat akan nilai-nilai hidup mereka sendiri.
Lewat pantun karmina yang mereka hasilkan dan dihimpun di dalam buku ini, sepuluh penulis karmina—mereka menyebut diri Karminater—menyuarakan aspirasi mereka dengan aneka tema, mengajak pembaca untuk merenung dan memahami makna pesan yang dikandungnya. Pantun karmina yang mereka suguhkan sesungguhnya sarat nasihat, sindiran, teguran halus, dan semacamnya yang layak disimak dan dipetik hikmahnya. Mereka mengirimkan pesan, pembacalah yang menangkapnya.
Saya tidak merinci satu persatu kekuatan atau kelemahan masing-masing karmina yang mereka hadirkan di dalam buku ini. Kenikmatan memahami pantun-pantun yang ada justru akan lebih terasa tatkala pembaca membacanya sendiri dengan segenap hati. Itulah jalur sunyi yang sengaja ditempuh oleh para penulis—mengajak pembaca untuk memahami pesan nasihat, sindiran, teguran halus, dan semacamnya dengan baik. Sasarannya bukan hanya untuk menyampaikan pesan agar dipahami, melainkan juga agar pesan memberikan hikmah dan inspirasi kepada pembaca untuk pengembangan selanjutnya.
Saya hanya menegaskan bahwa setiap penulis pantun karmina di dalam buku ini memiliki gaya penulisan masing-masing—tentu saja dengan pesan-pesan yang berbeda, meskipun pada hakikatnya ada pesan-pesan yang saling beririsan atau bersinggungan. Kekhasan gaya dan isi tulisan masing-masing penulis inilah yang menjadikan buku ini kaya dan potensial memberikan pencerahan tertentu.
Saya berharap pembaca menemukan nilai-nilai pendidikan yang mencerahkan di dalam buku ini, sekaligus merasa terhibur dan dibahagiakan olehnya. Ke depan pembaca bakal menulis karmina mereka sendiri, sebuah upaya kebudayaan untuk melestarikan warisan budaya nusantara. Bukankah hal itu akan menjadi legacy yang bermakna?[]
Gresik, 17 September 2024
*Much. Khoiri (nama pena dari Dr. Much. Koiri, M.Si) adalah dosen Creative Writing dan Kajian Sasttra/Budaya di Unesa Surabaya, Sponsor Literasi, Founder Rumah Virus Literasi (RVL), Ketua APEBSKID Jatim, dan Editor/Penulis buku berlisensi. Tulisan ini pendapat pribadi.
Subhanallah! Pengantar yang luar biasa!
Terimakasih Abah! Ya, InsyaAllah melalui karya, memertahankan dan mewariskan budaya menjadi perjuangan nyata dan abadi. Aamin