Nadhira, Aku Ingin Melihatmu Sukses

Oleh Much. Khoiri

Nadhira, cucuku, kamu belum tahu huruf ketika aku menulis semua pesan ini. Namun, aku telah hadir sangat dekat dengan hidupmu, tatkala aku menggendongmu, dan mendoakanmu, di bawah persaksian semesta dan hujan rintik Makassar pada 26 Desember 2022. Bersama doaku aku titipkan harapanku: Aku ingin melihatmu sukses suatu hari nanti.

Nadhira memandang saat didoakan. Foto: Dok Pribadi

Maafkan aku, Nadhira, jika aku memanggilmu cucuku. Tidak ada hubungan darah sebenarnya. Namun, sebagaimana kata Puang Ina Telly-mu, aku keluarga baru Bugis Makassar (Kerukunan Keluarga Tompo Tikka, KKTT) yang ikatannya sekental darah. Itu disampaikannya pada pelaksanaan mapparola dan mammatua, sesaat sebelum walimatul urusy pada hari Minggu 25 Desember yang amat bersejarah itu.

Jauh sebelum itu, yakni tatkala kamu masih dalam kandungan Bunda Zieha (Zieha Binte Abdul Razak Daeng Maloga), aku telah mengenalmu. Puang Ina-mu sering mengabarkan tentangmu. Terlebih setelah kamu lahir, kabar tentangmu disampaikan begitu rinci, dan foto-fotomu dikirimkan ke ponselku hampir setiap saat kamu berpose lucu (cute). Dan yang paling menyentuh hatiku adalah fotomu yang menutupkan mata tetapi menyunggingkan senyum. Itu sungguh mempesona, cucu cantik!

Sejak itu aku sudah jatuh hati untuk menyayangimu. Aku suka gayamu saat tersenyum di dalam dekapan Puang Ina-mu, atau di ranjang mungilmu, tatkala Puang Ina-mu mengetik tulisan entah apa temanya di dekatmu. Lalu, kamu bermanja untuk ditemani. Puang Ina hanya tersenyum. Kamu tidur, tetapi seakan terjaga, sebab kamu tidak mau jauh dari Puang Ina-mu itu. Seakan kamu puas-puaskan bersama Puang Ina sebelum kamu diboyong ke Singapore pada 19 Januari 2023.

Nah, kedatanganku ke Makassar untuk mapparola didorong lebih kuat karena keinginanku untuk menemunimu. Jauh hari sebelum berangkat, Puang Inamu bilang akan mempertemukan kita, dan aku akan diminta untuk mendoakanmu begitu kita bertemu. Menarik, bukan? Itulah yang mengentengkan hati dan langkahku untuk terbang ke Makassar meski cuaca kurang bersahabat. Ada semacam kewajiban tertanam dalam hati untuk segera terbang.

Jadi, Nadhira, jangan ragukan aku memanggilmu cucu tanpa syarat. Itu yang kuucapkan saat aku meraihmu dari kereta-dorongmu, dan kamu tersenyum. Lalu, aku menggendongmu, kuayunkan ke kiri dan ke kanan, agar kamu merasakan goyangan keranjang dengan tali gantungan. Sejenak kupanggil namamu, dan kita saling berpandangan, dan kemudian kamu tersenyum dan tertawa. Maknyess. Andaikata kamu sudah bisa berbicara, mungkin kamu akan menirukan Puang Inamu untuk memanggilku “Puang Kho Daeng Patompo.”

Disaksikan Puang Inamu dan Bu Tri, aku mulai membacakan Al-Fatihah untukmu, dengan harapan kamu mendapat limpahan berkah dari Allah SWT. Lalu, aku memulai doa dengan bacaan shalawat Nabi: Allahumma shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad, wa’alaa ali Sayyidina Muhammad. Kemudian, aku mengayunmu ke kiri dan ke kanan, lalu aku senandungkan Shalawat Nariyah—insyaallah dengannya kamu semakin damai dan tenang.

Intinya aku panjatkan doa: Ya, Allah, jadikanlah cahaya terang di kalbu Nadhira, di pendengarannya, di penglihatannya, di lidahnya, di sisi kanan dan di sisi kirinya, di atas dan di bawahnya, di hadapan dan di belakangnya. Tuntunlah Nadhiraku ke jalan yang benar dan kesuksesan, dan lindungilah dia dari setiap godaan dan gangguan yang membuatnya berpaling darimu. Aamiin.

Itulah doa-doaku untukmu, Nadhira, dan semoga Allah mengabulkan setiap doa yang kupanjatkan. Sebenarnya aku ingin menggendongmu lebih lama lagi saat itu, tetapi kamu harus dibawa kembali ke orangtua. Dan itulah hakikatnya, kamu akan menjalani hari-harimu ke depan bersama orangtuamu. Orangtuamu jualah yang akan membantumu melukis masa depanmu.

Favorit: Mata terpejam, bibir tersenyum. Menyambut impian. Foto: Dok pribadi

“Masa depan bukan dipikirkan, melainkan direncanakan,” begitulah Puang Buyut-Putri (Hj. Zubaidah Dachlan Daeng Sikati) selalu katakan kepada Puang Inamu dan kakak-adiknya. Aku telah menyimak kisah-kisah yang mereka tuturkan tentang  Puang Buyutmu itu. Aku dengar, Puang Buyut-Putrimu adalah madrasah kehidupan yang sesungguhnya. Beliau mendidik dan memfasilitasi anak-anaknya untuk menjadi yang nomor satu! “Juara memang 1, 2, dan 3. Tetapi anak-anakku hanya juara 1.”

Maka, beruntunglah kamu menjadi keturunan keluarga yang berprinsip bahwa masa depan bukanlah dipikirkan, melainkan harus direncanakan. Tanpa direncanakan, masa depan tidak akan jelas. Masing-masing punya bakat, minat, dan impian—dan semua itu perlu dikembangkan dengan meraih pendidikan sebaik-baiknya. Sebab, pendidikan adalah pintu penting untuk menjadi manusia pintar dan bijaksana.

Aku berharap, kamu mewarisi prinsip penting tersebut. Kalau sudah saatnya sekolah, belajarlah yang rajin, bukan hanya belajar pengetahuan umum, melainkan juga pengetahuan agama. Ayah-bundamu juga orang-orang terpelajar, dan pernah sama-sama belajar di pesantren selama 6 (enam) tahun. Mereka juga akan belajar sepanjang hayat, sambil mengasuh dan merawatmu hingga kamu dewasa kelak.

Selain itu, kamu punya Puang Firul (La Ode Metamaghfirul Djadir) yang hebat, yang di masa mudanya telah tampil sebagai pebisnis andal sekaligus pribadi yang lebih matang dari pada usianya. Aku telah menyaksikan itu dalam beberapa hari bersamanya. Kamu bisa berguru kepadanya tentang people management, time management, komunikasi, dan sebagainya. Suatu saat kamu akan memahami hal ini dengan sangat baik. Hidup bukan semata kepintaran, melainkan juga kebijaksanaan.

Puang Ina dan kakekmu Puang Djadir (Dr. La Ode Djadir Daeng Matutu) juga bukan orang sembarangan. Keduanya doktor yang berpengaruh. Saat aku menulis pesan ini, keduanya sudah pensiun, tetapi intelektualitasnya masih sangat kental. Puang Djadir pensiunan dosen Universitas Negeri Makassar, dan Puang Inamu pensiunan pejabat di berbagai daerah. Mereka telah mengantarkan Puang Firul dan ayahmu (La Ode Ichsan Ma’rifat Djadir Daeng Patunru) menjadi pribadi-pribadi yang terpelajar dan berkhidmat untuk pekerjaan dan kehidupan.

Tentu saja, kamu memiliki keluarga besar yang terpelajar. Semuanya mengenyam pendidikan terbaik, sebab mereka hadir atas didikan orangtua mereka yang juga terpelajar. Siapa itu? Sekali lagi, kedua Puang Buyutmu. Satunya adalah madrasah kehidupan, satunya lagi adalah pencetak leader yang andal. Yang terakhir ini termuat di dalam buku karya Puang Ina Telly Dachlan “Kepala Bukan Ekor: Kenangan Ketika Ayah Mendidikku” (2019).

Dalam buku itu, Puang Ina Telly mengakui, bahwa Puang Buyut Bapak (H.M Dachlan S. Daeng Tassakka) telah menanamkan karakter sebagai manusia berkualitas: (1) keyakinan yang sangat kuat, (2) memiliki mimpi untuk sukses, (3) pilihan pemenang, (4) kemampuan mengelola emosi dan mengambil tindakan, dan (5) mengubah kegagalan menjadi pengalaman belajar. Semua itu dirasakan seutuhnya oleh Puang Inamu.

Jangan kaget, Puang Inamu belakangan ini juga sebagai penulis. Aku menyebutnya penulis pensiunan berjiwa muda. Selain buku “Kepala Bukan Ekor: Kenangan Ketika Ayah Mendidikku” tersebut, Puang Ina juga menerbitkan buku perjalanan “Epigraf Safari yang Mengabadi” (2022). Itu bukti kehebatan beliau, dan kamu harus bangga memiliki Puang Ina. Anggota keluarga lain juga suka menulis sih, tetapi Puang Inamulah yang telah suka menjadi penulis yang punya buku.

Namun, aku tidak ingin memberikan tekanan apa pun bagimu untuk memilih bidang apa yang akan kamu tekuni. Semua terserah padamu, bergantung pilihan minat dan hobimu. Namun, ingatlah baik-baik, kamu harus memiliki impian yang kuat. Impian ini sejalan dengan pesan buyutmu: Masa depan bukan dipikirkan, melainkan harus direncanakan. Bermpilah yang besar, dan kibarkan benderamu!

Pelajaran menarik aku dengar dari Puang Inamu. Banyak impian beliau. “Jangan takut bermimpi,” tulisnya. Namun, ada satu impian yang terpendam selama 35 tahun dan baru terwujud pada 25 Desember 2022. Apa itu? Yakni, impian untuk mengenakan pakaian pengantin adat Buton. Ketahuilah, Nadhira, aku menyaksikan Puang Inamu tampak begitu anggun seperti permaisuri raja, dan tampak begitu puas mengenakannya—hingga pakaian adat itu dikenakannya sampai naik kapal Phinisi.

Nadhira, kamu pernah dipanggil “Anak Dara Pattinroang” (putri tidur) akibat kenyamananmu tidur meski di keramaian mapparola dan mammatua. Namun, itulah ketenanganmu! Tidak panik! Gabungkan dengan kekuatan impian. Kekuatan impian akan diwujudkan dengan perbuatan untuk meraihnya. Memang, tidak ada kesuksesan yang diraih hanya dengan satu lompatan langkah besar. Kesuksesan harus diraih dengan menjalani ratusan atau ribuan langkah kecil yang terencana dan terukur.

Semoga aku diberi panjang umur untuk menyaksikan kesuksesanmu kelak, cucu cantik! Entah sukses sebagai apa, saya tidak tahu. Namun, kesuksesan hakiki adalah kesuksesan yang mampu menghantarkanmu untuk mengabdi di jalan Allah bukan kesuksesan dunia yang membuatmu ingkar pada-Nya.

Untuk itu, untuk menutup pesan ini, kupanjatkan kembali doa terbaik untukmu: Ya, Allah, jadikanlah cahaya terang di kalbu Nadhira, di pendengarannya, di penglihatannya, di lidahnya, di sisi kanan dan di sisi kirinya, di atas dan di bawahnya, di hadapan dan di belakangnya. Tuntunlah Nadhiraku ke jalan yang benar dan kesuksesan, dan lindungilah dia dari setiap godaan dan gangguan yang membuatnya berpaling darimu. Aamiin.*

Gresik, 4 Januari 2023

Baca juga:

• Memaknai Hari Ibu: Ibuku Adalah Matahariku
• Selamat Mewujudkan Impian
• Sikap Menghadapi Hambatan Impian
• Pikiran Memperpanjang Masa Sakit

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022). View all posts by admin