Oleh Much. Khoiri
Kalau mencermati judul buku ini—Aku, Ibuk, dan Istriku: Catatan-Catatan Kebersamaan, tidaklah jelas, catatan kebersamaan siapa dan apa? Apakah masing-masing subjek dalam judul itu—Aku, Ibuk, Istriku—menuliskan catatan-catatan itu?
Maka, perhatikan kover buku itu sendiri. Kover itu berlatar dasar warna biru dengan Masjid Nabawi di Madinah, dengan payung raksasa yang berkembang. Ada lelaki ganteng paruh baya berkopiah hitam berbaju putih dan bercelana gelap, berdiri sambil mengangkat jempol tangan kanan, diapit oleh dua perempuan—satunya muda berbaju putih pula, masih muda, patut diduga itu “istriku”; serta perempuan lebih sepuh dengan baju bermotif daun kuning, patut diduga itu “Ibuk”.
Di depan foto bertiga, setinggi paha, ada tulisan “Ngainun Naim”. Nah, ini frase penunjuk siapa penulis buku catatan kebersamaan ini, dan hanya satu nama itu. Tapi nanti dulu. Apakah benar demikian? Anda perlu mengecek di Mbah Google, klik “images”, apakah ada gambar-gambar yang mirip atau sama dengan “Ibuk” dan “istriku”? O tidak ada?

Baiklah, Anda benar. Ngainun Naim—Mas Prof. Ngainun, demikian saya sering memanggil—adalah penulis catatan kebersamaan itu. Dan dengan bentuk kover yang ada, kebersamaan itu adalah kebersamaan dalam menunaikan ibadah umrah atau haji. Loh kok ada pilihan? Foto itu tidak menunjukkan orang umrah atau haji—lha kedua ibadah itu sama-sama membuat orang hadir di Makkah dan Madinah.
Mari lanjutkan menyelidikinya. “Pengantar Penulis”—saya suka menyebutnya Prakata (Preface, bahasa Inggrisnya)—seharusnya memperkenalkan mengapa menulis buku dan isi buku secara umum. Eh, ternyata penulis masih merahasiakan kebersamaan haji atau umrah mereka bertiga.
Barulah setelah Anda menjelajahi 7 (tujuh) artikel naratif di Bagian 1: Sebelum Berangkat, yang membeberkan kisah persiapan berangkat, Anda mulai menangkap bahwa kebersamaan itu adalah kebersamaan umrah. Tetapi penulis masih cukup hemat menyebut umrah. Patut diduga penulis sengaja membuat pembaca makin penasaran.
Nah, pada Bagian 2: Umrah, ini eksplisit disebutkan bahwa kebersamaan itu adalah kebersamaan berumrah. Ada 26 artikel catatan selama tinggal di Madinah hingga ke Mekkah. Catatan berbagai ibadah di Haramain 9dua kota suci) itu dikisahkan dengan baik. Bahkan, ada bertemu teman-teman di sana. Tetapi, qodratullah, ada yang berkabar sedang berumrah, tetapi tidak berjumpa, sehingga muncul artikel ke-26: “Sama-Sama Tetapi Tak Bersua.”
Setelah umrah, catan apa lagi? Kalau ada haji plus, nah inilah umrah plus. Apa plusnya? Semua dikisahkan di Bagian 3: Mesir. Terdapat 13 artikel yang membahas Bagian 3 ini. Menarik sekali. Pembaca seakan-akan bisa ikut mengikuti perjalanan ke salah satu negeri yang masuk ke dalam sejarah Islam: Masir itu.
Sekarang, apakah keunggulan buku ini? Keunggulannya adalah bahasa yang digunakan sangat cair dan mudah diikuti serta dipahami. Hal ini telah diakui sendiri oleh sang penulis, bahwa dengan bahasa yang sederhana, penulis berharap bahwa pesan buku bisa sampai ke pembaca dengan sebaik-baiknya. Tidak slenco dan gagal paham.
Mengalirnya bahasa, tentu, sejalan dengan gaya naratif penulisan yang diterapkan oleh penulis. Boleh dikata, dilihat dari perspektif creative writing, tulisan-tulisan dalam buku ini termasuk genre creative nonfiction (nonfiksi kreatif) meski belum seindah yang diidealkan—sejatinya fakta, tetapi disajikan dengan menarik. Setidaknya, mereka termasuk catatan perjalanan (travel note atau travel writing).
Ini juga menarik. Untuk menyokong setiap artikel naratifnya, penulis melengkapinya dengan foto atau gambar. Bagian 1 tentu disisipi foto-foto selama persiapan keberangkatan. Bagian 2 foto-foto selama umrah. Bagian 3 foto-foto selama di Mesir.
Maka, tidak salah jika penulis mengakui bahwa buku ini semacam “dokumentasi atas perjalanan yang saya lakukan bersama Ibuk dan istri.” Dokumentasi di sini sebuah tulisan naratif dan foto yang melengkapinya. Dokumentasi tekstual dan visual.
Semua itu bisa terwujud oleh izin Allah telah mentakdirkan Mas Prof. Ngainun sebagai penulis. Di tangannya sebanyak 46 artikel naratif dihasilkan dan dibukukan, sehingga semua itu bisa dibagi kepada sesama, terutama mereka calon jamaah umrah dan haji. Kebaikan harus ditebarkan, dan jangan ditunda-tunda lagi.
Jamaah umrah yang mau dan mampu menulis buku, itu sebuah kelangkaan! Kalau yang bisa berbagi lisan, sangat banyak. Dan itulah Mas Prof. Ngainun sang jamah langka. Kalau jamaah umrah lain bisa berbagi lewat lisan terutama untuk mereka yang menziarahi (menyambut kedatangan), Mas Prof. Ngainun bisa berbagi bukan hanya lewat lisan, melainkan juga lewat buku ini—yang jumlahnya bisa tak terbatas.
Maka, Anda lah pembaca yang perlu segera mengkhatamkan buku ini, serta menebarkan pesan bahwa ada buku catatan kebersamaan keluarga Prof. Ngainun Naim yang urgen menjadi pegangan wajib, terutama bagi mereka calon jemaah umrah (dan haji).[]
Gresik, 4 Juni 2025
Judul | Aku, Ibuk, dan Istriku: Catatan-Catatan Kebersamaan |
Penulis | Ngainun Naim |
Penerbit | Akademia Pustaka, Tulungagung |
Tahun Terbit | Cet.Pertama, April 2025 |
Tebal | x + 195 halaman |
Ukuran Buku | 14 x 21 cm |
ISBN | 978-623-1571-83-0 |
Terima kasih atas catatan reviewnya Pak.
Penyampaian resensi dengan bahasa ringan. Sangat menarik.
Catatan resensi yang membuat penasaran dan ingin membaca bukunya.
оборудование для конференц зала купить оборудование для конференц зала купить .