Oleh Much. Khoiri
Semua ini merupakan kenangan yang manis: Pada 15 Januari 2011 petang saya menghadiri makan malam dan kumpul-bareng para guru yang dihelat oleh Konsulat Jendral Amerika Surabaya dan RELO USA Jakarta, bertempat di ballroom ShangriLa Hotel Surabaya. Hadirin terdiri atas guru dan praktisi pendidikan, baik dari Amerika maupun (terutama) dari Surabaya dan sekitarnya—ada juga, misalnya, dari Bangkalan Madura.
Petang itu tentu merupakan petang yang cukup istimewa: Menghormati warisan Dr Martin Luther King Jr.—sebagaimana tertulis indah pada undangannya “Dr King and the legacy of public speaking and education in social movements.” Meski saat itu saya sendiri belum sehat benar setelah sakit dua-minggu, saya merasakan keistimewaan hadir pada acara itu. Keistimewaan lain, bertemunya guru Amerika dan Indonesia untuk memetik hikmah perjuangan Dr King untuk perubahan sosial yang bermakna. Termasuk dalam “guru” Indonesia di sini adalah dosen negeri-swasta, guru sekolah menengah, praktisi pendidikan (alumni sandwich program), dan pimpinan lembaga bahasa.
Bukan itu saja. Tempat duduk diatur di meja makan bundar sedemikian rupa sehingga para guru Amerika dan Indonesia bisa bertegur sapa dan berbincang tentang berbagai hal, baik interpersonal maupun transaksional, baik basa-basi maupun sungguh-sungguh. Tentu saja bagi guru-guru Indonesia, terutama yang jarang atau belum pernah mengobrol dengan (asisten) guru Amerika, itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Memang ada yang sudah terbiasa terlibat dalam momen semacam itu, namun tak sedikit yang masih canggung.
Acara menjadi menarik ketika konsul jenderal AS saat itu, Kristen Bauer, tampil memberikan sambutannya, dengan gayanya yang lembut dan penuh semangat—kelihatan bahwa beliau itu cerdas intelektual dan emosional. Konjen mengupas bagaimana Dr King menyumbangkan warisan dalam dunia pidato (public speaking) dan pendidikan untuk suatu perubahan sosial. Dr King telah mewariskan kata-kata yang luar biasa dan inspiratif bagi bangsa Amerika—terutama lewat naskah pidatonya yang dahsyat , yakni “I Have a Dream”, dan bagian dari impian itu mencakup pendidikan.
Pidato “I Have a Dream” sendiri disampaikan Dr King pada 1963, di depan 250 ribu massa yang berbondong ke Washington dalam upaya mendukung Civil Rights Act. Itulah pidato yang memberikan suara besar untuk menuntut pergerakan hak sipil—hak yang setara bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang terlahir hitam dan cokelat. Itu merupakan salah satu momen langka di dalam sejarah Amerika yang mampu mengubah sebuah bangsa—merintis jalan bagi transformasi hukum dan hidup bangsa Amerika.
Itulah mengapa Konjen juga menegaskan saat itu, perjumpaan guru-guru itu dimaksudkan untuk berbagi dan mendiskusikan warisan Dr King dan pentingnya cita-cita kesetaraan, akses yang sama dan setara terhadap pendidikan, kebebasan bicara, dan kebebasan berserikat sebagaimana senantiasa Dr King promosikan dan teladankan selama hidupnya.
Disemangati untuk menghormati Dr King, saat itu Konjen dan RELO mengirimkan 14 dosen bahasa Inggris mereka dan 44 asisten untuk mendukung pendidikan di Surabaya sebagai bagian dari kemitraan komprehensif antara Amerika dan Indonesia. Para fellows dan assistants itu memberikan workshop pelatihan-guru tentang materi-materi kreatif dalam pengajaran bahasa Inggris melalui lagu, file gambar, dan surat kabar di tujuh universitas dan 14 sekolah menengah di Surabaya.
Jika dicermati, dalam dunia pendidikan pun, Dr King memiliki tempat tersendiri di hati bangsa Amerika. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena Dr King memiliki impian yang besar—sebuah impian yang menggetarkan hati bangsa Amerika, dan bahkan mencerahkan dan menggugah kesadaran. Salah satu jalur penting untuk semua itu adalah jalur pendidikan. Dan sejarah membuktikan, impian Dr King menginspirasi demikian banyak bangsa Amerika, termasuk etnis Afrika-Amerika untuk bangkit memperjuangkan hidupnya.
Tampaknya inilah pelajaran yang perlu kita ambil hikmahnya. Dunia pendidikan memang harus memiliki impian besar. Kalau Amerika memiliki Dr King, Indonesia sebenarnya juga memiliki Ki Hajar Dewantoro—yang semboyan besarnya “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani” dalam dunia pendidikan telah mengilhami demikian banyak penerusnya, dan telah mendarahdaging dalam dunia pendidikan kita. Tak dapat dimungkiri, Ki Hajar Dewantoro, sebagaimana Dr King, adalah sosok pahlawan yang akan selalu dikenang sepanjang jaman.
Apakah kita juga memiliki impian besar dalam dunia pendidikan? Ataukah kita hanya memiliki impian yang kecil dan kerdil saja? Tidak! Kita wajib memiliki impian besar, dan diwujudkan dengan langkah-langkah yang besar dan nyata. Kita harus mengejar ketertinggalan beberapa langkah apa yang telah ditempuh negara-negara tetangga—yakni negara-negara yang pada tahun 1960-an telah menstudikan pemudanya ke UGM atau UI dan sekarang telah menjadi tempat studinya para pemuda Indonesia. Kesalahan langkah di masa lampau harus dibayar sekarang ini dengan impian besar dan langkah besar.
Impian itu, antara lain, mengarus ke terbentuknya manusia yang seutuhnya: yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli—serta sederet karakteristik lain turunannya. Dan hal ini tentu sudah dipikirkan oleh para otoritas negeri ini yang berkecimpung dalam pengambilan kebijakan. Kita tinggal menunggu implementasinya, sambil mengawalnya dengan kebeningan nurani serta kecerdasan pikiran dan emosi.
Mengapa kita harus optimistis mengenai impian dunia pendidikan kita? Pendidikan selalu menjalani proses panjang dan berkelanjutan, terlebih untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Ini masalah character building, dan memang harus berproses cukup panjang. Dan itu harus dimulai oleh masing-masing warga dunia pendidikan: pejabat, guru, dan siswa. Tanpa tindakan nyata di masa kini tak akan membuahkan apa pun di masa depan. Tindakan kita merupakan investasi kita untuk masa depan, sebagaimana kita menginvestasikan harta, energi, pikiran, dan waktu—yang pada suatu ketika akan kita panen hasilnya.
BERSAMBUNG
N.B. Terima kasih untuk blogwalking
Betul Mr. EmCho.
Kita harus memiliki Impian Besar.
Terima kasih atas motivasinya
Terima kasih banyak, Bu Lina. Saling menyemangati, saling menguatkan ya.
Terima kasih atas motivasinya.
Sama-sama, terima kasih kembali. Semoga kita tetap semangat dalam dunia literasi.
Suatu kesempatan yang luar biasa dan bisa membangkitkan semangat pendidik di Indonesia yes kita bisa
Leres, bu hajjah. Kita perlu saling menguatkan.
Sodium glucose cotransporter 2 SGLT2 inhibitors are novel oral anti diabetic medications that inhibit the low affinity, high capacity SGLT2 receptors in the PT viagra and cialis online
tricor 160mg oral fenofibrate 200mg us brand fenofibrate