Oleh Much. Khoiri
Ketika Dr King menyampaikan pidatonya pada 1963, dia memang “membakar” semangat massa untuk aksi besar—akan tetapi, dia mungkin malah tak pernah membayangkan bahwa pidatonya telah mengilhami demikian banyak manusia Amerika untuk menjolok dan memperjuangkan cita-cita kesetaraan, akses yang sama dan setara terhadap pendidikan, kebebasan bicara, dan kebebasan berserikat. Meski demikian, dia pastilah memiliki impian bahwa bangsa Amerika harus mampu mengalami perubahan yanglebih baik kelak di masa depan.
Dr King itu beretnis Afrika-Amerika, sebutan yang halus untuk keturunan kulit Hitam atau Negro. Akan tetapi, karena isi pidatonya, beserta sepak terjang perjuangannya, yang melintas batas etnis, dampaknya begitu luar biasa. Tidak hanya bangsa kulit hitam saja yang merasakan dampaknya, melainkan juga etnis kulit putih, hispanik, cokelat, dan sebagainya. Isu kesetaraan, termasuk di dunia pendidikan, telah menghapus perbedaan dan diskriminasi etnis.

Image source: https://www.kwch.com/content/news/2020-events-honoring-Dr-Martin-Luther-King-Jr-567046011.html
Itu terbukti nyata. Setelah puluhan tahun sepeninggal Dr King, kata-katanya bertebaran di berbagai forum pidato, menyelinap di banyak buku, diabadikan di buku-buku harian, dan bersemayam di hati sekian banyak bangsa Amerika. Sangat boleh jadi Presiden Barrack Obama terinspirasi juga oleh Dr King ketika beliau berpidato pada Konvensi Nasional Demokrat 2004, “Tidak ada Amerika hitam, Amerika putih, Amerika Latino, atau Amerika Asia; yang ada Amerika Serikat… Kita adalah satu bangsa…”
Juga setelah puluhan tahun sepeninggal Dr King, jasanya dikenang dengan berbagai kegiatan pendidikan yang mencerahkan, tidak hanya di dalam negeri, melainkan di luar negeri AS. Di luar negeri AS, sebagaimana di Surabaya, kedutaan atau konsulat AS menggelar acara mengenang Dr King, seperti tugas wajib yang tak boleh dilewatkan. Itulah mengapa Konjen dan RELO, pada awal 2011 itu, mengirimkan 14 dosen bahasa Inggris dan 44 asisten untuk memberikan workshop tentang materi-materi kreatif dalam pengajaran bahasa Inggris melalui lagu, file gambar, dan surat kabar di tujuh universitas dan 14 sekolah menengah di Surabaya.
Efek karambol itulah yang sangat luar biasa. Impian Dr King menggelinding terus lewat jiwa-jiwa pendidikan yang dinamis dan suka tantangan untuk mewujudkan kehidupan lebih baik. Ibaratnya, impian Dr King diemban secara estafet oleh generasi AS, dan bahkan virus perubahannya hendak ditularkan ke guru-guru bahasa Inggris di Surabaya dan sekitarnya. Itu memberikan makna yang mendalam dan luar biasa.
Dan jika sesuatu “kesan dan pesan” telah dititipkan kepada guru, kemanakah mengarusnya kalau bukan kepada siswa? Entah seberapa persen, entah kapan nanti, guru mungkin akan mengutip ungkapan-ungkapan Dr King, memujinya, mengambil biografinya untuk contoh, atau mengkritiknya tapi dengan santun (proporsional), dan sebagainya. Guru menjadi medium perantara untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam pidato-pidatonya kepada siswa. Cepat atau lambat proses itu akan berjalan; itu hanya masalah waktu saja.
Jika demikian, kalau mau mujarab—dan ces pleng—dalam menularkan virus perubahan, contohlah Konjen AS itu. Undanglah kaum intelektual (termasuk guru—apalagi suka menulis) dalam acara yang di dalamnya Anda dapat menitipkan pesan atau nilai-nilai. Mengundang 10 intelektual (apalagi suka menulis) akan lebih efektif daripada mengundang 100 tamu biasa. Apa yang Anda sampaikan akan “hidup” dan “hidup kembali” di hati dan pikiran 10 intelektual itu—mungkin malah terlahirkan dalam bentuk wacana-wacana baru yang mencerahkan.
Begitulah, undangan petang itu juga merupakan bagian dari inseminasi gagasan dan impian “I Have a Dream” kepada guru-guru untuk selanjutnya suatu saat—sangat boleh jadi) ditularkan pula kepada siswa-siswa Indonesia. Pendidikan akan menjadi medium yang efektif untuk hal semacam itu—entah seberapa persen pasti akan sampai kepada sasaran. Jika itu benar, akan muncul banyak orang yang ketularan virus impian pendidikan dan perubahan a-la Dr King, sebagaimana orang juga akan ketularan semboyan Ki Hajar Dewantoro.
Andaikata orang tidak mengambil gagasan-gagasan Dr King sepenuhnya, atau hanya sebagian, setidaknya di benak mereka akan terngiang-ngiang dengan judul pidatonya itu “I Have a Dream”. Kebetulan judul itu singkat, padat, berisi—dan mudah diingat. Di balik padatnya judul itu terkandung makna dan implikasi yang luas dan dalam. Itu akan tumbuh dan berkembang di dalam pikiran dan hati mereka, bahwa “saya harus punya impian.” Contoh kecil saja, dalam acara tersebut, ada mahasiswa STKIP Bangkalan, Abi Bakrin, menyampaikan (dengan sangat percaya diri) sebuah gagasannya “Indonesia, I Have a Dream.”
Karena guru adalah sosok yang berpengaruh, maka mengundang 10 guru (apalagi suka menulis) identik dengan menyemaikan nilai-nilai “I Have a Dream” kepada sepuluh atau seratus atau seribu pikiran dan hati siswa, dan teman-temannya, dan orang-orang terdekatnya. Itu kalau hanya 10 guru. Nah, kalau ada 100 guru, berapakah jiwa siswa yang menyimpan “I Have a Dream” di dalam dirinya? Pasti itu akan memberikan efek karambol berkelanjutan dan, pastilah, sangat dahsyat.
Dengan demikian, marilah melakukan refleksi. Dapatkah kita melakukan hal yang sama? Atau setidaknya kita dapat mengambil hikmahnya? Sebagai guru, seberapa baikkah kita menanamkan nilai-nilai “saya harus punya impian” dengan keteladanan yang kita tunjukkan untuk siswa-siswa kita? Jika kita mampu mensosialisasikan virus ini, akan tumbuh dan berkembang sosok-sosok yang penuh semangat, optimistis, dan suka tantangan dalam mengarungi kehidupan.
Bagaimanapun, hidup ini tindakan menerjemahkan kata-kata, dan akan lebih bermakna apabila kita memiliki impian yang besar, kuat, jelas, dan terukur. Dr King, Ki Hajar Dewantoro, dan kita sebagai insan pendidikan pastilah sangat mendambakan bahwa generasi mendatang adalah generasi yang berpikir dan bertindak berdasarkan impian besar yang telah ditetapkan.
Marilah simak Langston Hughes, lewat salah satu puisinya “Dreams.”. Menurutnya, tanpa impian, hidup adalah burung yang berpatah sayap yang tak kuasa terbang. Bahkan, tanpa impian, hidup adalah ladang tandus yang membeku bersama salju. Dengan kata lain, tanpa impian, manusia seakan sekarat dan/atau mati. Ah, alangkah memprihatinkan orang yang tidak memiliki impian—yang hanya mengalir tanpa arah hidup jelas. Bagaimana tanggapan Anda? [].
N.B. Terima kasih untuk blogwalking
Sangat bergizi Pak Haji saya suka Really I have a dream for my country
Terima kasih, bu hajjah. Semoga kita terinspirasi untuk kebaikan negeri ini
I have a dream. Satu diantaranya bisa menulis sekeren ini suatu saat nanti
Semoga tercapai, Bu. Insyaallah.
Keren banget… Seperti saya yang punya mimpi, impian saya Alhamdulillah akhirnya terwujud.
Betul sekali, impian harus diwujudkan