Oleh Much. Khoiri
Jika sebuah rezeki memang diperuntukkan bagi manusia, tiada sesuatu pun yang berdaya menghalangi atau bahkan mencegahnya. Semua kejadian, termasuk rezeki, sudah diatur oleh Allah Sang Maha Pengatur. Dan ini berlaku bagi siapa pun, di mana pun, dan kapan pun juga.
Kesan semacam itu mengendap dalam pikiran saya berkat pengalaman saya terbang bersama Citilink dari Juanda Surabaya ke APT Pranoto Samarinda pada hari Minggu 3 Maret 2024 kemarin. Tanpa dipesan dan tanpa disengaja, saya duduk di seat 28F, dekat jendela; lalu, di sebelah kiri saya ada seorang gadis seusia siswa kelas 6, dan ayah dari gadis itu.
Tatkala pesawat take off, sampai beberapa menit kemudian, tidak terjadi apa-apa. Pesawat terbang sebagaimana biasa, setelah kru pesawat (alias pada pramugari) memperagakan instruksi-instruksi penyelamatan. Semua orang sibuk dengan kesibukan masing-masing. Dan saya membuat sebuah draf untuk skema pelatihan dan pendampingan menulis bagi guru di Sangatta Utara, Kutai Timur, Kalimantan.
Semula saya hanya membayangkan, bagaimana kondisi Sangatta saat ini. Mungkin ia sudah mengalamai perubahan yang pesat. Pastilah berbeda dengan belasan tahun silam, ketika saya datang ke Sangatta untuk sebuah pelatihan literasi pula. Bedanya, saat pertama kali ke Sangatta, saya turun Balikpapan dan harus menempuh perjalanan darat selama 7 jam. Kini saya turun bandara Samarinda, dan harus menempuh perjalanan darat 5 jam. Sebegitu pesatkah kemajuan Sangatta saat ini hingga bandara pun sudah ada di Samarinda.
Sambil membayangkan bagaimana Sangatta terkini, tentu saja, saya terus membuat draf skema pelatihan dan pendampingan menulis. Saya coret-coretkan pikiran saya ke atas kertas, yang pada baliknya sejatinya jadwal pelatihan dan pendampingan yang saya susun sendiri. Saya coretkan bulkonah (bulat, kotak, panah) dengan catatan-catatan pada setiap tahapan. Dan, sejenak kemudian, jadilah draf skema itu.
Saya melipat draf buatan saya itu, dan menyelipkannya di kantong seat di depan saya. Nanti saja saya akan pindahkan ke tas tatkala penumpang sudah landing di Samarinda. Lalu, saya ingin tidur, selama sekitar 1 jam waktu yang saya punya. Saya merasa mengantuk dan kekurangan tidur, sebab tadi malam saya memang berangkat tidur akhir dan bangun awal—dan itu saya lanjutkan terjaga sampai subuh. Sedangkan setelah subuh, saya wajib menyiapkan diri untuk berangkat ke lokasi pelatihan—tentu agar tidak terlambat.
Di luar dugaan, gadis berhijab coklat seusia siswa SD itu selalu mencari kesempatan untuk bisa mengintip panorama di luar pesawat. Bukan hanya ketika pesawat baru saja lepas landas (di mana dia bisa melihat permukaan bumi dengan aneka pemandangan), melainkan juga ketika pesawat mencapai ketinggian optimum (Catatan: sebagian besar pesawat penumpang komersial terbang di antara 32.000 dan 40.000 kaki dari permukaan tanah.)
“Besar juga ya pesawat ini, ternyata,” celetuk gadis itu.
“Pesawat untuk umrah dan haji, lebih besar lagi,” sahut saya, spontan, untuk membayar keingintahuannya.
Dia tampak mengerutkan keningnya, “O ya. Lebih besar dari ini?”
“Ya, lebih besar. Kalau ini, kan hanya berapa tempat duduk?”
“Sembilan.”
“Kalau pesawat umrah atau haji, dengan jumlah penumpang 450 orang, itu terdiri atas duabelas seat. Kiri-kanan masing-masing tiga seat, lalu di tengah ada enam seat. Jumlahnya duabelas seat.”
Pesawat masih melaju dengan kecepatannya sendiri—sekitar setara dengan 750-850 km/jam darat. Pikiran saya juga masih melesat ke sana-kemari, terkait perjalanan darat nanti lewat jalur darat, terkait penugasan kepada mahasiswa, dan terkait tugas-tugas menulis yang harus diselesaikan pula selama berada di Sangatta.
“Siapa namamu?” selidik saya kepada gadis itu.
Dia diam malu-malu. Sementara, ayahnya, di sebelah kirinya, sedang menikmati tidurnya selama perjalanan. Dia masih terdiam ketika akhirnya saya bertanya lagi. “Siapa namamu, Nak?”
“Dewi. Dewi Wulandari,” jawabnya dengan lirih, terkesan sangat malu untuk bicara lebih keras. Maklum, saya dengar tadi, dia anak pesantren salafiyah PP Gontor Ponororo—itu yang disampaikan orangtuanya tadi.
“Dewi mau minum milo? Enak minum milo kalau dingin-dingin begini.”
Dia tidak menjawab, spontan. Dia berusaha untuk menolak tawaran saya, dengan keras. Setelah saya desak lagi, dia akhirnya menjawab, “Saya tidak punya uang.”
“Saya yang akan bayar. Saya yang traktir. Oke?”
“Kalau begitu, terima kasih ya.”
Sembari menunggu pesanan, saya menanyakan kepada Dewi apakah dia—seusia kelas 6 SD—bisa mengurus hidupnya sendiri selama tinggal di pesantren. Tidak seidikit anak mondok di pesantren yang hidupnya tetap bergaya sok juragan dan tidak mau belajar mandiri. Gadis ini makhluk yang cukup langka.
Kami pun meminum milo pesanan kami. Nikmat sekali rasanya, rasa kantuk spontan hilang karenanya. Saya meminumnya dari cangkir kertas secara langsung, sedangkan dia meminumnya dengan menyuapi diri dengan sendok per sendok.
Keajaiban itu hadir di sini. Tanpa saya minta, gadis mungil ini menceritakan kisahnya tinggal dan belajar di pondok pesantren. Banyak suka-duka yang bisa dipelajari dan dijadikan cermin, bagaimana tentang memasak, mencuci, dan aneka kebutuhan sehari-hari. Semuanya itu dapat dia kisahkan dengan cara yang sangat baik.
Tentu saja saya menyimaknya dengan tekun, bahkan sesekali menyisipkan pertanyaan yang menggelitik. Tanpa terduga, saya merasa bahwa kami semakin dekat. Ini suatu keajaiban yang patut disyukuri. Buktinya, dia mulai menceritakan dengan amat lancar, seperti tanpa beban apa pun. Dia seakan lupa bahwa saya pun orang asig bag dia.
Tatkala pesawat berhenti di Samarinda, dia bergegas keluar dari deretan kursi dan berupaya mengambil tas pakaiannya….eh, tidak, ternyata dia membisiki ayahnya bahwa tadi dia dibelikan secangkir milo, dan milo itu sudah habis tanpa sisa. Ketika hendak turun, dia dan ayahnya mengucapkan terima kasih tak terhingga.
Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya, karena ternyata tujuan saya dan gadis beserta ayahnya. Namun, saya masih menyimpan kenangan yang sangat mengesankan. Bahkan, itu sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya. Apakah pelajaran itu?
Pertama, anak-anak akan luluh ketika disapa dan diajak berbicara dengan hati yang tulus, meski dia tidak mengenal orang yang mengajaknya berbicara. Kedua, minuman bisa menjadi sarana untuk membuka peluang pertemanan baru, sebagaimana meluluhkan hati orang dengan hadiah yang paling disukainya. Ketiga, siapa pun orangnya, mencurahkan pikiran atau pengalaman itu perlu.
Itulah persuaan saya yang berhikmah dengan gadis kecil yang insyaallah suatu saat akan menjadi penceramah atau ulama yang penting di negeri ini. Saya benar-benar ingin diberkahi dengan usia panjang, guna menyaksikan dia mencapai posisi mulia itu.
Sangatta, 5 Maret 2024
*Dr. Much. Khoiri adalah dosen Unesa Surabaya, sponsor literasi, editor dan penulis berlisensi, telah menerbitkan 74 buku. Tulisan ini pendapat pribadi. Bisa dihubungi di muchkoiri@unesa.ac.id
Tulisan pengantar tidur yang kriuk
Terima kasih, bu hajjah
Subhanallah! Aamin Yaa Robbal Aalamiin
Aamiin YRA
Maren: Matul dan keren. Tulisan penuh hikmah
Matur nuwun sanget
👍👍👍
Tulisan yg hidup, cerita biasa menjadi luar biasa. Bagaimana dgn draft yg diselipkan di kantong depan kursi apakah tdk ketinggalan dipesawat, pak Emcho?
Alhamdulillah aman
Terima kasih banyak
MasyaAllah Bapak,,, kunjungan ke Sangatta sudah jadi satu catatan harian yang menarik
👍👍👍
Insyaallah siap berseri
Catatan perjalanan yang berkesan😊
Matur nuwun