Oleh Much. Khoiri
Pesawat Citilink yang Dulgemuk tumpangi landing di bandara APT Pranoto Samarinda pukul 10.00 WITA. Masih pagi, tentunya. Di Juanda waktunya sarapan soto, atau ngopi di salah satu kafe, ada beberapa, tinggal pilih. Tadi Dulgemuk tidak sempat ngopi, sebab begitu tiba, Dulgemuk langsung check-in dan melesat ke ruang tunggu.
Tiba di bandara milik Samarinda itu pun, kerinduan Dulgemuk untuk ngopi tak jua terbayar lunas. Mengapa? Ini jawabannya: Penjemput sudah siap di pintu keluar gerbang kedatangan. Dulgemuk merasa jadi orang penting dan dimuliakan. Setelah salam dan percakapan singkat, kopor langsung disahut, dan Dulgemuk diarahkan menuju mobil jemputan di area parkir bandara yang begitu luas.
Singkat cerita, Dulgemuk naik mobil meninggalkan bandara, guna menempuh perjalanan panjang. Sekitar lima jam atau lebih, katanya. Dulgemuk tidak kaget, sebenarnya, sebab dua hari sebelumnya, sudah disampaikan berapa jarak perjalanannya. Jadi, Dulgemuk siap fisik dan mental menempuh perjalanan darat yang lebih-kurang sepanjang Surabaya-Yogyakarta itu.
“Jalan keluar menuju ke Sangatta bukan ke kanan, tapi ke kiri. Arah ke kanan, itu melintasi Jalan Jokowi, begitu masyarakat menyebutnya. Itu ke arah IKN, Ibu Kota Nusantara. Sedangkan kita belok ke kiri dan terus menurut jalan itu,” begitu kata driver-nya.
“Jalan ke Sangatta akan mulus seperti ke arah IKN?”
“Wah, tidak, Pak. Seperti hidup ini, ada yang mulus, ada yang bergelombang, berlubang, berkelok, menanjak, juga menurun.”
“Wow, filosofis sekali. Kayaknya tidak cocok untuk ibu hamil sembilan bulan ya?”
“Tentu, Pak, bumil sembilan bulan hanya boleh di rumah saja.”
“Jadi, seperti acara di tivi My Trip My Adventure dong?”
“Semacam itulah, Pak.”
Avanza Veloz putih yang mereka kendarai berpacu gagah di atas jalan beraspal mulus dengan garis strip kuning di tengah dan tepi jalan. Temperatur udara luar masih bersahabat. Bahkan sesekali mendung manaungi. Sesekali pula jalan berkelak-kelok, tak jauh beda dengan jalan-jalan di pulau Bali. Kanan-kiri kini adalah hamparan tetumbuhan dan pepohonan, juga rumah-rumah penduduk setempat—sebagian ada tumpukan kelapa sawit di tepi jalan. Bahkan, boleh dikesankan, perjalanan ini menembus wilayah hutan.
Ketika menanjak dan menurun, Dulgemuk teringat akan jalan dari arah Mojosari ke Trawas, sebagian juga seperti jalan dari Pandaan ke Prigen. Hanya saja perjalanan ke Sangatta akan jauh lebih panjang dan membuat Dulgemuk mencari tukang pijat setelahnya. Untuk usianya yang mendekati kepala enam, fisik tidak baik untuk menempuh perjalanan darat berjam-jam lamanya.
Tatkala perjalanan sudah sekitar 2,5 jam, mereka berhenti untuk makan siang di RM Kenari, Jalan Poros Samarinda-Bontang. Rumah makan ini bertema garden dan lesehan, cocok untuk pengendara yang sedang liburan untuk beristirahat. Tempat parkirnya luas, bahkan untuk Anda yang membawa mobil sekalipun. Harganya menengah ke atas, lumayan mahal. Tapi mahalnya terbayar dengan rasa makanan di sini. Selagi ada uang saku, semuanya aman.
Kemudian, perjalanan dilanjutkan kembali. Mereka menyusuri jalan menurun puluhan meter, dengan kondisi jalan tidak mulus, dan bahkan menikung—kemudian menanjak lebih seratus meter. Mobil sampai pada posisi gigi dua. Bahkan harus beriringan dengan mobil-mobil lain, juga kendaraan besar seperti dumb truck, truk angkutan barang, dan lain-lain. Ah, andaikata kendaraan besar gagal menanjak, lalu merosot mundur, apa yang bakal terjadi.
Dulgemuk mencatat dua kali mobil mereka harus berantri, karena ada buka-tutup jalan. Ada projek pengecoran jalan entah di daerah mana, tetapi keduanya tepat di jalan yang menanjak atau menurun dilihat dari sisi berlawanan. Ini medan jalan yang cukup mengerikan, dan tidak Dulgemuk bayangkan sebelum berangkat. Namun, tidak ada gunanya mengeluh, anggaplah ini kondisi darurat dan tak terduga.
Demikianlah, jalan yang mereka lalui silih berganti antara yang mulus dan yang tidak mulus. Ada yang lurus, ada yang berkelok. Ada yang menanjak, ada yang menurun, ada yang mendatar. Kecepatan rendah, maksimum kecepatan sedang. Ngebut bisa benjut. Maka, kuncinya adalah mengikuti irama alam, tidak perlu melawannya.
***
Sekitar pukul 15.00 mereka sudah memasuki Sangatta, dan Dulgemuk langsung dibawa menuju Q Hotel Sangatta. Itulah tempat Dulgemuk diinapkan selama berkegiatan di wilayah kaya akan tambang batubara ini. Sebelumnya Dulgemuk diajak untuk melihat gedung lokasi kegiatan yang akan digelar esok harinya. Dalam perhitungan Dulgemuk, jaraknya sangat dekat: tak lebih tiga kilometer saja.
***
Setelah mandi dan menunaikan shalat, Dulgemuk membaringkan tubuh, melepas penat setelah menempuh perjalanan tak kurang dari lima jam. Bahkan lebih. Terlebih, Dulgemuk tidak terbiasa tidur selama perjalanan! Untuk penduduk setempat, menyetir dari Samarinda ke Sangatta mungkin kurang empat jam saja. Tetapi untuk membawa orang asing seperti Dulgemuk, ada baiknya menyetir mobil lebih pelan. Yang penting, selamat sampai tujuan.
Inilah hikmahnya bahwa tiket Dulgemuk dipesankan lebih pagi, agar tiba di Samarinda lebih awal, dan kemudian menempuh perjalanan lebih nyaman, tidak terburu-buru. Semula Dulgemuk menggerutu di dalam hati, namun kini akhirnya dia menyadari bahwa inilah yang paling tepat untuk kondisi Dulgemuk. Ternyata, Dulgemuk telah diberi pilihan yang terbaik.
Di samping itu, Dulgemuk juga bersyukur bahwa dia tidak dicarikan tiket Surabaya-Balikpapan. Andaikata Dulgemuk turun di bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan—bandara yang diresmikan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono tahun 2014 itu—, pastilah dia harus menempuh perjalanan darat sekitar 7-8 jam (seperti yang Dulgemuk alami sekitar tahun 2015-2016). Jalannya memang lebih mendatar, tetapi hampir separuh perjalanan, jalannya kurang bersahabat.
Dengan demikian, lewat jalur Surabaya-Samarinda-Sangatta, ternyata lebih efisien waktu, tenaga, dan biaya. Setidaknya, selisih 2-3 jam perjalanan darat adalah sesuatu banget untuk Dulgemuk yang masih perlu menyiapkan diri sebagai nara sumber sebuah pelatihan menulis. Dia masih harus menyiapkan skema pelatihan dan pendampingan.
“….hidup ini tidak jauh berbeda dengan sebuah perjalanan. Tidak ada kisah hidup yang mulus sepanjang waktu, sebagaimana tidak ada kisah cinta yang bahagia sepanjang periode.”
Di atas semua itu, perjalanan Dulgemuk dari Samarinda ke Sangatta sendiri, hakikatnya, mendidik Dulgemuk betapa hidup ini tidak jauh berbeda dengan sebuah perjalanan. Tidak ada kisah hidup yang mulus sepanjang waktu, sebagaimana tidak ada kisah cinta yang bahagia sepanjang periode. Kadang mulus, kadang bergelombang, berkelok, lurus, menanjak, menurun. Begitu terus berulang, seperti album lagu yang disetel berulang-kali. Tanpa semua itu, hidup ini malah akan terasa aneh saja.[]
Gresik, Maret 2024
*Much. Khoiri—alias Much. Koiri—adalah dosen Kajian Sastra/Budaya, Creative Writing, dan Literasi, serta sponsor literasi, penulis dan editor berlisensi. Kini telah menerbitkan 74 buku. Tulisan ini pendapat pribadi.
Kisah perjalanan yang maren=mantab dan keren Bah!
Matur nuwun, Bah.
Tukisan ini memantik saya untuk wujudkan jalan- jalan ke luar pulau Jawa.
Semoga impian b hajjah terwujud. Aamiin
Keren. Menginspirasi untuk menulis traveling
Lanjutkan, Pak ustadz. Semoga terus berkarya.
Saya pernah sekali ke Sangatta lewat jalur Balikpapan. Bener-benar perjalanan yang menguras ketahanan fisik. Salut buat orang-orang yang melalui rute itu sebagai bagian dari rutinitas. Semoga sekarang jalannya sudah lebih baik.
Kemarin sempat ditawari untuk lewat Balikpapan, tetapi saya memilih alternatif lain, yakni lewat Samarinda, setidaknya lebh cepat 2 jam.
Luar biasa perjalanannya Bah
Terima kasih, ustadz
Kisah perjalanan yg menyenangkan bagaikan lika lliku kehidupan manusia, success selalu Bapak Khoiri untuk terus berkarya dengan penuh kebahagiaan aamiin
Matur nuwun sanget, Bu
Tulisan perjalanan keren! Terimakasih Abah, selalu menyajikan tulisan yang luar biasa!
Terima kasih, Bu Mimin