Oleh Much. Khoiri
Percaya atau tidak, ada owner makanan yang arogan. Bukan sekadar karena status arogannya, melainkan makanan itu sendiri telah masuk ke dalam industri budaya populer. Makanan itu adalah piza!
Saya mohon maaf kalau saya dianggap berlebihan dalam memberikan penilaian atau kesan semacam itu. Namun, jujur, setidaknya itulah yang menggelayut dan berkumpar dalam pikiran saya tatkala saya makan piza di restonya. Anehnya, bukannya kapok, saya malah selalu datang kembali ke sana ketika saya kangen.
Coba bayangkan. Setiap kali kangen menikmatinya, pada kali itu juga saya dan keluarga datang kembali ke sana, dan mendapati kembali kearogansian itu, karena memang ia tampak mencolok di depan mata—entah dari sisi mana pun di dalam resto itu. Rasanya kami tidak berdaya dan harus memenuhi panggilan senyap itu.
Di mana letak arogansinya? Kalau Anda sendiri sedang berkuliner ke resto piza—entah di mana saja di kota Anda, perhatikan baik-baik tulisan dalam neon-box memanjang (biasanya) di atas kasir atau service counter yang berbunyi “All you need is pizza.” Maksudnya, semua yang Anda butuhkan adalah piza. Hanya piza-lah yang Anda butuhkan, bukan yang lain!
Begitu memasuki resto piza, kastamer “dilarang” untuk memikirkan atau membutuhkan makan lain—tidak boleh berpikir tentang rawon, pecel, kaylan, aneka mie, dan sebagainya. Hanya boleh fokus pada piza, dengan aneka rasa dan topping-nya. Hanya boleh fokus pada daftar menu di sana, termasuk salad buah yang menggoyang lidah.
Boleh dikata, kastamer, termasuk saya tentunya, telah dihegemoni oleh bahasa iklan yang membius. Di samping pesan yang kuat untuk mengarahkan seleranya, kastamer memang ingin (kembali) merasakan nikmatnya sajian piza. Dengan ungkapan “All you need is pizzza”, aneka menu di resto itu terangkat derajatnya lebih tinggi.
Begitulah kekuatan bahasa iklan—yang memanfaatkan (baca: memanipulasi) posisi masyarakat sebagai masyarakat konsumen. Ya, kita ini dikategorikan sebagai masyarakat konsumen, yang lebih banyak mengonsumsi produk-produk budaya lain—Amerika, Eropa, Jepang, Korea, dan sebagainya.
Tak dimungkiri, urusan mobil, kita menggunakan mobil buatan Jepang, sebagian dari Eropa. Produk-produk budaya pop pun banyak digelontor dari Amerika dan Eropa. Kita juga mendapat gelontoran musik dan drama Korea. Masih banyak lagi. Dan semua itu masuk ke negeri kita, bukan sebaliknya.
Jadi, sebagaimana fast food dan kuliner besar lain yang telah mendunia, piza telah disulap menjadi produk budaya populer yang telah diproduksi secara masif atas nama kapitalisasi. Piza telah diproduksi oleh atau terkait dalam lingkaran industri budaya berbasis kapitalisme, sehingga piza mengalami komodifikasi untuk memenuhi kebutuhan kita sebagai masyarakat konsumen.
Di tangan industri budaya, piza yang di abad ke-18 dan 19 hanya dikonsumsi di daerah asalnya—Napoli, Italia—akhirnya menyebar cepat ke seluruh penjuru dunia. Tangan-tangan industri budaya bergerak dengan kecepatan dahsyat, terlebih jika itu juga termasuk program (tersembunyi) imperialisme budaya.
Aslinya piza ya seperti itu, sejenis adonan bundar dan pipih, yang dipanggang di oven dan biasanya dilumuri saus tomat serta keju dengan bahan makanan tambahan lainnya yang bisa dipilih sesuai selera. Karena dikomodifikasi sedemikian rupa, berkembanglah menunya hingga kita dapati dewasa ini.
Pada masanya menu kuliner seperti piza itu menjadi bagian dari esktasi gaya hidup (lifestyle ecstacy). Dikit-dikit mengonsumsi makanan asing, produk luar negeri. Dengan mengonsumsi makanan luar negeri, prestise (gengsi) dirasa naik—yang dibeli bukan wujud materialnya, melainkan nilai gengsinya, nilai sosialnya.
Kalau orang sudah tergila-gila dengan ekstasi budaya, dia akan menerapkan nilai-nilai budaya yang dikandungnya: Pertama, imej lebih penting dari pada fungsi dan realitas. Kedua, penampilan lebih penting dari pada moralitas. Ketiga, kemasan (packaging) lebih penting dari pada bentuk orisinilnya.
Apakah ada yang salah dengan ungkapan “All you need is pizza”? Tentu mereka tidak salah; itu hak mereka menggunakan bahasa iklan seperti itu. Sah-sah saja—bisnis tidak harus mempertimbangkan moralitas. Andaikata ada kastamer berkesan bahwa ungkapan itu arogan dan memenjara, mereka tidak akan ambil pusing. Nyatanya, kastamer kembali lagi untuk menyantapnya.
Itulah tujuan owner piza, menguasai alam batin kastamer untuk kecanduan mengonsumsi piza, yang akan segera kembali ke resto itu untuk kembali menikmati makanan yang arogan tersebut. Dan untuk kastamer yang tingkat gaya hidupnya tinggi a-la luar negeri, mereka akan lebih mudah mengalami kecanduan!
Gresik, 2-01-2024
*Dr. Much. Khoiri, M.Si adalah dosen Kajian Sastra/Budaya dan Creative Writing di Unesa Surabaya, sponsor literasi, certified editor/writer dengan 74 buku. Tulisan ini pendapat pribadi.
Benar. Budaya food engineering sudah menjadi budaya baru dunia. Termasuk modifikasi makanan lokal. Contohnya kerupuk. Kerupuk dimodifikasi sedemikian rupa menjadi kuliner baru padahal tetap saja isinya dominan karbo. Di satu sisi kemajuan dan modernisasi kuliner tp di sisi lain terjadi ketidakseimbangan nutrisi. Thanx for sharing, Pak Haji Dr. Emcho
Jos rasanya Piza yg kulino, termasuk istri dan anak saya, tapi lidah saya tidak suka. Selamat Menikmati Abah
Semoga di suatu kesempatan, ada makan2 khas Indonesia yang “arogan” di seluruh dunia, seperti makanan asal Itali tersebut