Bimbingan Menulis, Dengan Cara Keras atau Lembut?

Oleh Much. Khoiri

Saya memiliki dua kelompok teman penulis yang boleh dikata penulis bimbingan—entah berapa jumlahnya, tidak perlu saya sebutkan di sini tetapi tersebar di berbagai sudut negeri. Dua kelompok itu adalah teman penulis yang memilih pembimbingan dengan ‘cara keras’, dan teman penulis yang memilih ‘cara lembut’.

‘Cara keras’ di sini merujuk ke bagaimana saya membuat mereka bisa menguasai genre tulisan sesuai kaidahnya, mulai ide, pengorganisasian ide, hingga penggunaan bahasa. Jika idenya jelek, saya katakan jelek dan harus ditemukan ide lagi yang lebih bagus. Pengorganisasian ide, jika belum tertata baik, saya katakan ‘masih kacau, sebaiknya begini dan begitu’. Bahasa pun demikian, jangankan kalimat, penulisan kata bentukan, ejaan, tanda baca, pasti saya komentari—ada yang menyebutnya saya ‘kemplang’.

Menjadi Blantik Literasi, berbagi sesama penulis. Gambar: Dok pribadi

Sebaliknya, ‘cara lembut’ merujuk ke bagaimana saya lebih lunak dan lembut dalam memperlakukan mereka—tetap mengarahkan mereka untuk menguasai genre tulisan sesuai kaidahnya, namun pujian lebih banyak dari pada kritik. Boleh dibilang, dalam memberikan review dan masukan kepada tulisan mereka, saya lebih santun, kadang eufimistis. Dengan begitu, mereka bisa menjaga motivasi menulisnya. Semangatnya tidak lekas padam di tengah proses.

Mengapa saya menerapkan dua cara tersebut? Tentu, saya bertanya kepada mereka, apakah ingin bimbingan dengan cara keras atau cara lembut? Sebagian mereka ingin cara keras, sebagian lain ingin cara lembut. Jadi, sejak awal mereka telah mengelompokkan diri. Penyebab dasarnya, mereka suka cara-cara itu bergantung pada kesiapan atau ketidaksiapan mereka secara mental dan personal dalam bergerak cepat menindaklanjuti masukan dan tantangan saya.

Manakah yang lebih cepat menguasai keterampilan menulis yang dipelajari dan dipraktikkan: mereka yang belajar dengan cara keras ataukah mereka yang belajar dengan cara lembut? Saya sudah memiliki catatan dan bukti empirik untuk dua kelompok ini, namun saya tidak membeberkan hasilnya di sini. Saya hanya memberikan analoginya berikut ini.

Syahdan, ada petinju legendaris, Muhammad Ali—nama baru dari Cassius Marcellus Clay Jr. Pada usia 12 tahun, Clay Jr. melapor kepada polisi Joe Martin bahwa sepeda BMX barunya dicuri orang. Joe Martin, yang juga seorang pelatih tinju di Louisville, mengajari Clay kecil cara bertinju agar dapat menghajar si pencuri sepeda. Clay kecil sangat antusias berlatih tinju di bawah bimbingan Martin.

Clay berlatih dengan sangat keras, di samping punya niat kuat untuk menguasai tinju dan menghajar si pencuri sepedanya, dia punya coach Martin yang melatihnya dengan sangat keras. Martinlah peletak teknik dasar bertinjunya, dan Clay mengasahnya dengan sungguh-sungguh. Nah, setelah melalui sekian waktu, dia menjadi petinju profesional yang mendunia.

Lalu kita bertemu Dre Parker, tokoh 12 tahun dalam film Karate Kid. Karena Dre di-bully oleh Cheng yang ganas (murid Master Li), dia mendesak Mr Han untuk diajari kungfu. Akhirnya Mr Han mengajari Dre Kung Fu dengan menekankan gerakan-gerakan yang berlaku dalam kehidupan. Menurutnya, ketenangan dan kedewasaan—bukan pukulan dan kekuatan—adalah kunci sebenarnya menguasai kungfu. Mr Han menyuruh Dre berulang kali melepas dan mengambil jaketnya. Dengan ini, Dre mengembangkan memori otot. Mr Han melatih Dre sedemikian ini selama berminggu-minggu, untuk menghadapi kompetisi terbuka. Akhirnya, Dre mengalahkan Cheng dan jadi juara 1.

Kemudian, kita melesat menemui Arya Kamandanu dalam kisah Tutur Tinular. Setelah Arya Kamandanu digigit oleh ular siluman naga puspa, dia bertapa hingga 40 hari lamanya dan mampu menyempurnakan jurus naga puspanya sampai ke tahap akhir, dan dengan bantuan Keris Mpu Gandring, barulah ia bisa merebut kembali Pedang Pusaka dari tangan musuhnya. Kemudian dengan kekuatan ghaib ular Naga Puspa yang sudah mengalir dalam tubuhnya, Kamandanu bisa menaklukkan keganasan pedang ini, yang pamornya berubah kebiru-biruan.

Terakhir, kita belajar pada kisah Sunan Kalijaga. Raden Said—nama muda Sunan Kalijaga—ingin menjadi murid Sunan Bonang. Dia disuruh berzikir sambil menjaga tongkat yang ditancapkan ke tepi sungai. Dia tidak boleh beranjak sebelum Sunan Bonang datang. Dia melaksanakan perintah itu. Saking khusyu’nya, dia tampak tertidur lama, hingga tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkannya. Sejak itu dia diberi nama Sunan Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Dia dididik adabnya dulu, barulah masuk ilmu syariahnya.

Nah, fragmen-fragmen kisah hidup Clay ‘Muhammad Ali’, Dre Parker, Arya Kamandanu, dan Sunan Kalijaga di atas hanya sekelumit suri teladan tentang bagaimana guru mendidik atau melatih murid mereka, serta bagaimana murid-murid itu memiliki kegigihan dan kesiapan untuk memenuhi harapan guru dalam berlatih. Mereka dididik atau dilatih dengan cara keras, dan mereka pun gigih berlatih untuk menguasai apa yang ingin dikuasainya.

Ali tidak akan menjadi petinju legendaris jika sejak awal dia tidak bertemu Martin, dan dia sendiri tidak mendidik diri secara keras. Dre Parker juga tidak akan menguasai kung-fu Mr Han jika dia tidak berlatih keras di bawah bimbingan keras dari Mr Han. Arya Kamandanu tidak akan menguasai ilmu kanuragan jika tidak digembleng secara keras. Sunan Kalijaga juga demikian—berzikir selama tiga tahun itu bukan proses pendidikan yang enteng.

Jika fragmen-fragmen kisah tersebut kita bawa ke dunia menulis, kita akan menemukan hikmah pelajaran yang berharga. Untuk menjadi penulis yang benar-benar penulis, kita musti belajar dan berlatih keras—juga dalam pengawasan penulis berpengalaman, dengan cara keras! Ada baiknya kita tidak bermanja-manja, atau memilih dilembuti ketika meminta masukan dari penulis berpengalaman. Bahkan, kita perlu lebih rajin menolong diri sendiri.

Akhirnya, marilah camkan ungkapan bagus ini: If you are soft to life, life will be hard to you. If you are hard to life, life will be soft to you. Maksudnya, jika Anda lembut terhadap hidup, maka hidup akan keras terhadap Anda. Sebaliknya, jika Anda keras terhadap hidup, maka hidup akan lembut terhadap Anda. Sekarang, jika Anda sejalan dengan saya, pastikan Anda memilih opsi kedua.[]

Gresik, 01-01-2024

*Dr. Much. Khoiri, M.Si adalah dosen Kajian Sastra/Budaya, sponsor literasi, certified editor/writer dengan 74 buku. Tulisan ini pendapat pribadi.

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *