Oleh Much. Khoiri
Dr King—panggilan akrab Martin Luther King Jr—menyampaikan pidato “I Have a Dream” pada 1963, di depan 250 ribu massa yang berbondong ke Washington dalam upaya mendukung Civil Rights Act. Pidato itu sangat bersejarah dan menumental. Mengapa pidato Dr King itu penting dibincangkan dalam tulisan ini?
Itulah pidato yang memberikan suara besar untuk menuntut pergerakan hak sipil—hak yang setara bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang terlahir hitam dan cokelat. Itu merupakan salah satu momen langka di dalam sejarah Amerika yang mampu mengubah sebuah bangsa—merintis jalan bagi transformasi hukum dan hidup bangsa Amerika.
Itulah mengapa suatu ketika—beberapa tahun silam—pejabat Konjen AS di Surabaya juga menegaskan, para pecinta dunia pendidikan layak diajak untuk berbagi dan mendiskusikan warisan Dr King dan pentingnya cita-cita kesetaraan, akses yang sama dan setara terhadap pendidikan, kebebasan bicara, dan kebebasan berserikat sebagaimana senantiasa Dr King promosikan dan teladankan selama hidupnya.
Dalam dunia pendidikan pun, Dr King memiliki tempat tersendiri di hati bangsa Amerika. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena Dr King memiliki impian yang besar—sebuah impian yang menggetarkan hati bangsa Amerika, dan bahkan mencerahkan dan menggugah kesadaran. Salah satu jalur penting untuk semua itu adalah jalur pendidikan. Dan sejarah membuktikan, impian Dr King menginspirasi demikian banyak bangsa Amerika, termasuk etnis Afrika-Amerika untuk bangkit memperjuangkan hidupnya.
Tampaknya inilah pelajaran yang perlu kita ambil hikmahnya. Dunia pendidikan memang harus memiliki impian besar. Kalau Amerika memiliki Dr King, Indonesia sebenarnya juga memiliki Ki Hajar Dewantoro—yang semboyan besarnya “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani” dalam dunia pendidikan telah mengilhami demikian banyak penerusnya, dan telah mendarahdaging dalam dunia pendidikan kita. Tak dapat dimungkiri, Ki Hajar Dewantoro, sebagaimana Dr King, adalah sosok pahlawan yang akan selalu dikenang sepanjang jaman.
Apakah kita juga memiliki impian besar dalam dunia pendidikan? Ataukah kita hanya memiliki impian yang kecil dan kerdil saja? Tidak! Kita wajib memiliki impian besar, dan diwujudkan dengan langkah-langkah yang besar dan nyata. Kita harus mengejar ketertinggalan beberapa langkah apa yang telah ditempuh negara-negara tetangga—yakni negara-negara yang pada tahun 1960-an telah menstudikan pemudanya ke UGM atau UI dan sekarang telah menjadi tempat studinya para pemuda Indonesia. Kesalahan langkah di masa lampau harus dibayar sekarang ini dengan impian besar dan langkah besar.
Impian itu, antara lain, mengarus ke terbentuknya manusia yang seutuhnya: yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli—serta sederet karakteristik lain turunannya. Dan hal ini tentu sudah dipikirkan oleh para otoritas negeri ini yang berkecimpung dalam pengambilan kebijakan. Kita tinggal menunggu implementasinya, sambil mengawalnya dengan kebeningan nurani serta kecerdasan pikiran dan emosi.
Mengapa kita harus optimistis mengenai impian dunia pendidikan kita? Pendidikan selalu menjalani proses panjang dan berkelanjutan, terlebih untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Ini masalah character building, dan memang harus berproses cukup panjang. Dan itu harus dimulai oleh masing-masing warga dunia pendidikan: pejabat, guru, dan siswa. Tanpa tindakan nyata di masa kini tak akan membuahkan apa pun di masa depan. Tindakan kita merupakan investasi kita untuk masa depan, sebagaimana kita menginvestasikan harta, energi, pikiran, dan waktu—yang pada suatu ketika akan kita panen hasilnya.
Ketika Dr King menyampaikan pidatonya pada 1963, dia memang “membakar” semangat massa untuk aksi besar—akan tetapi, dia mungkin malah tak pernah membayangkan bahwa pidatonya telah mengilhami demikian banyak manusia Amerika untuk menjolok dan memperjuangkan cita-cita kesetaraan, akses yang sama dan setara terhadap pendidikan, kebebasan bicara, dan kebebasan berserikat. Meski demikian, dia pastilah memiliki impian bahwa bangsa Amerika harus mampu mengalami perubahan yanglebih baik kelak di masa depan.
Dr King itu beretnis Afrika-Amerika, sebutan yang halus untuk keturunan kulit Hitam atau Negro. Akan tetapi, karena isi pidatonya, beserta sepak terjang perjuangannya, yang melintas batas etnis, dampaknya begitu luar biasa. Tidak hanya bangsa kulit hitam saja yang merasakan dampaknya, melainkan juga etnis kulit putih, hispanik, cokelat, dan sebagainya. Isu kesetaraan, termasuk di dunia pendidikan, telah menghapus perbedaan dan diskriminasi etnis.
Itu terbukti nyata. Setelah puluhan tahun sepeninggal Dr King, kata-katanya bertebaran di berbagai forum pidato, menyelinap di banyak buku, diabadikan di buku-buku harian, dan bersemayam di hati sekian banyak bangsa Amerika. Dalam catatan saya, sangat boleh jadi Presiden Barrack Obama terinspirasi juga oleh Dr King ketika beliau berpidato pada Konvensi Nasional Demokrat 2004, “Tidak ada Amerika hitam, Amerika putih, Amerika Latino, atau Amerika Asia; yang ada Amerika Serikat… Kita adalah satu bangsa…”
Juga setelah puluhan tahun sepeninggal Dr King, jasanya dikenang dengan berbagai kegiatan pendidikan yang mencerahkan, tidak hanya di dalam negeri, melainkan di luar negeri AS. Di luar negeri AS, sebagaimana di Surabaya, kedutaan atau konsulat AS menggelar acara mengenang Dr King, seperti tugas wajib yang tak boleh dilewatkan. Itulah mengapa Konjen dan RELO mengirimkan 14 dosen bahasa Inggris dan 44 asisten untuk memberikan workshop tentang materi-materi kreatif dalam pengajaran bahasa Inggris melalui lagu, file gambar, dan surat kabar di tujuh universitas dan 14 sekolah menengah di Surabaya.
Efek karambol itulah yang sangat luar biasa. Impian Dr King menggelinding terus lewat jiwa-jiwa pendidikan yang dinamis dan suka tantangan untuk mewujudkan kehidupan lebih baik. Ibaratnya, impian Dr King diemban secara estafet oleh generasi AS, dan bahkan virus perubahannya hendak ditularkan ke guru-guru bahasa Inggris di Surabaya dan sekitarnya. Itu memberikan makna yang mendalam dan luar biasa.
Dan jika sesuatu “kesan dan pesan” telah dititipkan kepada guru, ke manakah mengarusnya kalau bukan kepada siswa? Entah seberapa persen, entah kapan nanti, guru mungkin akan mengutip ungkapan-ungkapan Dr King, memujinya, mengambil biografinya untuk contoh, atau mengkritiknya tapi dengan santun (proporsional), dan sebagainya. Guru menjadi medium perantara untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam pidato-pidatonya kepada siswa. Cepat atau lambat proses itu akan berjalan; itu hanya masalah waktu saja.[]
Gresik, 28-12-2023
*Dr. Much. Khoiri adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, certified editor and writer, Founder RVL (Rumah Virus Literasi). Telah menerbitkan 74 buku.
Dan jika sesuatu “kesan dan pesan” telah dititipkan kepada guru, ke manakah mengarusnya kalau bukan kepada siswa?
Sangat setuju. Jadilah guru penulis sehingga akan mengarus siswa penulis 💪💪💪💪👍👍
Mantaps, semoga semua itu teewujud nyata
Setuju pesan dan pesan Dr. King akan lebih berkesinambungan dengan diajrakan lewat tulisan guru yang dibukukan.
Bahkan dalam skala luas.
Inspiring
Thanks so much.
Semoga saya sebagai guru dapat mewujudkannya, walau tinggal 4 th lagi…masih cukup waktu…matur nuwun Master…
Barakallah…
Aamiin YRA