Oleh Much. Khoiri
DENGAN kesengajaan saya membuat judul di atas. Namun, perlu saya tegaskan, bahwa konsep warisan dalam konteks ini tidaklah merujuk kepada warisan materiil atau finansial. Lebih dari itu, warisan di sini mengacu ke warisan imaterial, yakni warisan ilmu atau pengetahuan yang dikandung di dalam buku ini. Sementara itu, ahli warisnya bukan terbatas pada keluarganya, melainkan juga masyarakat pembaca.
Di mata penulis, buku adalah hasil permenungan dan pemikiran yang telah dilakoninya dalam rentang waktu tertentu. Dengan buku penulis menyampaikan sesuatu pesan penting kepada pembaca, dengan harapan bahwa kandungan ilmu atau pengetahuan dalam buku itu berkembang dan meluas secara berkesinambungan di kalangan pembacanya—baik keluarga maupun pembaca umum.
Dengan kalimat lain, lewat bukulah penulis beramal jariyah, suatu amal yang pahalanya terus mengalir selama amal itu tetap bekerja atau dikerjakan oleh orang lain. Bahkan, alirannya akan semakin menderas jika amal jariyah ilmu dalam buku itu dikembangkan lebih bermanfaat lagi—dan oleh lebih banyak orang lain yang mengembangkannya.
Bagi yang mampu menulis, penting kiranya menulis buku untuk warisan bagi anak cucu. Bila warisan harta benda kerap mendatangkan perpecahan dan malapetaka, maka percayalah: warisan buku tidaklah demikian. Setidaknya, jika hanya untuk dibaca dan dipelajari, buku bisa digandakan atau dicetak dalam jumlah besar, sehingga tidak perlu menjadi bahan perebutan satu sama lain. Perebutan buku hanya ada dalam dunia persilatan.
Dalam bukunya Buku-Buku Pengubah Sejarah, Robert B. Downs (2001) mengilustrasikan begini: Sepanjang sejarah dapat kita temukan bukti yang bertumpuk-tumpuk yang menunjukkan bahwa buku-buku bukanlah benda-benda yang remeh, jinak, dan tak berdaya, malah sebaliknya buku-buku seringkali adalah biang yang bersemangat dan hidup, berkuasa mengubah arah perkembangan peristiwa kadang-kadang demi kebaikan kadang-kadang demi keburukan. Buku juga menguatkan adanya kontinuitas pengetahuan dari masa ke masa.
Marilah kita teladani tokoh-tokoh negeri ini yang telah mewariskan buku-buku mereka kepada bangsa kita. Hamka telah mewariskan lebih dari 100 buah buku kepada kita, di antaranya Di Bawah Lindungan Ka’bah. Gus Dur juga mewariskan puluhan buku, dan pendapatnya dibukukan ke dalam banyak buku. Iwan Simatupang mewariskan Merahnya Merah, demikian pula Budi Darma dengan Olenka-nya, atau Emha Ainun Nadjib dengan Seribu Masjid Satu Jumlahnya.
Di luar sana kita juga bisa meneladani ‘kekekalan nama’ para penulis seperti Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu taimiyah, Ibnu Khaldun, dan sebagainya. Dalam dunia sastra ada nama-nama mendunia seperti William Shakespeare, Albert Camus, Robert Frost, William Faulkner, Emily Dickinson, Naguib Mahfouz, Toni Morrison, dan masih banyak lagi. Dari mereka kita akan banyak berguru atau memetik inpsirasi.
Jadi, rahasia besar dari menulis buku sebagai warisan ada di sini: Bahwa apa pun yang kita tulis dalam buku akan dipahami dan akhirnya dikembangkan secara luas oleh generasi kita. Benih-benih ilmu atau pengetahuan yang kita tanam akan tumbuh dan berkembang. Maka, tidak ada pilihan lain, marilah menulis buku yang isinya benih-benih kebaikan, agar di kemudian hari tumbuh dan berkembang yang baik. Ia akan menjadi sebaik-baiknya warisan untuk anak-cucu.
***
Sebagai penguat sebuah refleksi, saya perlu menekankan bahwa dalam kerangka pikir itulah buku yang Anda pegang ini ditulis. Penulis buku ini, Puang Bapak—panggilan akrab untuk Drs. H. M. Dachlan S. (93 tahun)—telah menulis kiat-kiat jitu membentuk keluarga bahagia, yang dipersembahkan bukan hanya untuk keluarga besar Tompo Tikka, melainkan juga untuk masyarakat luas yang hendak meneladani bagaimana penulis buku ini telah mempraktikkan seluruh isi buku.
Memang, jika dicermati, buku ini menghimpun pemikiran dan pengalaman penulis dalam membangun keluarga yang bahagia dalam akronim Tompo Tikka—sepuluh huruf yang merepresentasikan sepuluh kiat jitu. Sebab itu, dapat dipahami bahawa buku ini diberi judul Sepuluh Kiat Jitu Membentuk Keluarga Bahagia. Apa saja isinya masing-masing, saya persilakan Anda menyelaminya sendiri dengan sepenuh cinta dan kegembiraan.
Mengapa demikian? Anda akan menemukan bahwa buku ini ditulis lebih berdasarkan pengalaman—bahkan sari pati pengalaman—dalam mendidik keluarganya. Sebagai himpunan pengalaman, berarti isi buku ini merupakan pengetahuan yang telah teruji kesahihan dan kebermanfaatannya. Sebab, baginya, keluarga adalah institusi mulia untuk mendidik anak sebaik-baiknya.
Itu keistimewaan pertama dari buku ini. Yang kedua, buku ini ditulis oleh penulis yang telah menginjak usia 93 tahun—suatu usia yang tidak muda lagi. Dari berbagai referensi yang saya pahami, bisa dikatakan bahwa hanya orang-orang yang bahagia saja yang memiliki usia panjang—kebutuhan material terpenuhi dan kebutuhan spiritual terpenuhi dengan baik. Tentu, itu hitung-hitungan manusia. Ada keseimbangan yang indah antara kebutuhan jasadiyah dan ruhaniah, sehingga hidup dipasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada titik itulah penulis ini, selain banyak berdzikir, juga aktif berpikir dengan membaca dan menulis—di antaranya menulis buku ini.
Yang ketiga, dalam buku ini tersiratkan, bahwa penulis mendidik keluarganya dengan model pendidikan berbasis agama dan bermisi visioner. Maklum, beliau sejatinya adalah seorang pendidik yang selalu bergerak dalam dunia pendidikan, tak terkecuali pendidikan keluarga. Sebab itu, materi di dalam buku ini telah dijadikan semacam modul pelatihan bagi keluarga besarnya—yang dilaksanakan pada musim tertentu.
Yang keempat, penulis ini mendidik keluarga dengan keteladanan. Penulis tidak hanya menyampaikan lewat lisan dan tulisan, melainkan juga menunjukkan keteladanan yang tinggi. Action speaks more loudly than words, tindakan lebih lantang dari pada kata-kata, demikian keteladanan bekerja. Catatan refleksi yang ditulis oleh Djunaidi Mahdar Dachlan di bagian akhir buku ini menunjukkan bagaimana keteladanan penulis dapat dibuktikan dan dirasakan oleh keluarga.
Terakhir, model pendidikan yang diterapkan oleh penulis—dan sekaligus ditulis dalam buku ini—telah berdampak besar bagi keluarga besarnya. Anak dan cucunya telah merasakan dampak baiknya. Di antaranya tercermin dari tulisan refleksi Djunaidi Mahdar Dachlan, juga dari buku-buku yang ditulis oleh Telly Dachlan—sapaan akrab Dr. Daswatia Astuty, M.Pd.—misalnya Kepala Bukan Ekor: Kenangan Ketika Ayah Mendidikku (2019) dan Ibu adalah Sekolah: Memoar Indah Bersama Sosok Pemilik Samudera Kasih (2023).
Dari beberapa keistimewaan di atas, buku ini hadir bukan hanya sebagai warisan bagi keluarga penulis, melainkan juga bagi masyarakat mana pun yang ingin meneladaninya. Setidaknya, sepuluh kiat jitu membangun keluarga bahagia dalam buku ini menjadi referensi tambahan bagi Anda yang telah membaca dan menyelaminya.
Tentu saja, apa yang diteladankan oleh penulis buku ini tidak sepadan dengan kisah keteladanan mendidik keluarga oleh Ali Imran yang telah tertuang di dalam Al-Quran, atau kisah keteladanan mendidik keluarga oleh manusia agung Rasulullah SAW. Namun, itu terjadi di masa lampau. Sementara itu, keuntungan buku ini adalah Anda sebagai pembaca dapat melihat bukti-bukti nyata hasil didikannya di masa kini.
Akhirnya, selamat membaca dan menyelami buku ini dengan segenap hati. Semoga Anda menemukan hikmah, inspirasi, dan manfaat sebesar-besarnya. Tatkala hal itu terjadi, harapan penulis mewariskan pengetahuan dan pengalamannya lewat buku kepada pembaca menjadi kenyataan. Mudah-mudahan Anda meneruskannya kepada pembaca lainnya.[]
Gresik, 3 Desember 2023
*Dr. Much. Khoiri, M.Si adalah dosen Kajian Sastra/Budaya Universitas Negeri Surabaya (Unesa), penggerak literasi, certified editor & writer dengan 74 buku. Lulusan International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993) dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996). Tulisan ini pendapat pribadi. Bisa dihubungi di muchkoiri@unesa.ac.id. WA: 081331450689.
Pengantar sekaligus mencerahkan. Terimakasih Abah.
Salam
Terima kasih banyak, Abah Hariyanto
Sebuah kata pengantar yang isinya daging semua. Berharap saya juga bisa membaca buku karya Puang Bapak.
Semoga itu membahagiakan, Bu hajjah
Gambaran isi buku yang luar biasa. Akan menjadi buku yang sangat berharga bagi para ortu untuk mencetak keluarga dan keturunannya sebagai keluarga besar yang utuh, bersatu, dan kuat. Keluarga yang menghadirkan keberkahan.
Amin….
Aamiin YRA. Barakallah
Setuju dengan komen Pak Hariyanto di atas. Sebuah pengantar yang sekaligus sebagai pencerahan.
Jazakallah khair, Pak Doktor. Semoga menjadi tambahan amal ibadah. Aamiin
Saya mengaminkannya. Aamiin YRA
Pengantar Abah Khoiri mengantarkan buku Puang Bapak Sepuluh Kiat Jitu Membentuk Keluarga Bahagia sangat lengkap dan bagus sekali. Matur nuwun Bah.
Inggih siap, sami2
Keteladanan yg pas untuk diterapkan selama hayat masih dikandung badan… Jadi kepingin cepet membaca bukunya…Sebuah pengantar yang jos kotos-kotos…
Semoga berkah…Aamiin…
Sangat menyenangkan bsa membuat kata pengantar untuk buku yang luar biasa manfaatnya
Pengantar yang luar biasa. Membuat buku jadi menarik . 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Insyalalah, makasih
Sebuah paparan yang selalu menginspirasi semua pembaca.
Mantap pak 👍
Terima kasih banyak, Pak