Menuju Kemampuan Optimal dalam Menulis

Oleh Much. Khoiri

SEBAGAIMANA orang menguasai naik sepeda, kita juga perlu berniat untuk berproses menuju kemampuan optimal dalam menulis. Optimal di sini bukan mengacu ke kondisi maksimal standar yang berlaku untuk semua orang, melainkan lebih mengacu ke kondisi spesifik diri terbaik kita masing-masing.

Dalam hal belajar naik sepeda, Joni Gudel dan Dulremek memulainya pada saat yang sama, pas hari Jumat Legi. Dalam rentang satu bulan, diadakan semacam tes kemahiran bersepeda. Hasilnya, Joni Gudel mampu bersepeda dengan kecepatan sedang dan masih kelihatan kaku dan terlalu berhati-hati. Dulremek bisa mengatur kecepatan dengan baik, sekaligus menguasai haluan dengan sangat baik—bahkan sekali tempo bermanuver lepas setir; karena dia yakin dia menguasai setir sepeda itu.

Membaca Pagi Pegawai Petang Pengarang, Gambar: Dok. Pribadi

Praktisnya, kemahiran mereka bisa dijadikan ilustrasi untuk dunia menulis. Dalam dunia menulis, kemampuan menulis Joni Gudel pada kondisi maksimal mencapai skor 80, itulah kemampuan optimalnya. Sementara itu, Dulremek bisa mencapai skor 90, dan itulah kemampuan optimalnya. Itu capaian paling mentok yang bisa mereka ukir, dan mereka tidak bisa melampauinya lagi.

Mengapa saya menekankan pentingnya menuju kemampuan optimal? Pertama, kita harus mendidik diri untuk naik kelas pada genre tulisan tertentu. Jika kita belajar menulis genre reportase, feature, puisi, pentigraf, cerpen, catatan perjalanan, misalnya, kita harus meningkatkan kualitas tulisan reportase, feature, puisi, pentigraf, cerpen, catatan perjalanan hingga pada kualitas terbaik versi kita. Jangan pancet alias stagnan, seperti jalan di tempat.

…kita harus mendidik diri untuk naik kelas pada genre tulisan tertentu.

Kuantitas penting dalam berkarya, namun tujuannya adalah kualitas karya itu sendiri. Ada pakar penulis dunia yang menyatakan bahwa “quantity produces quality,” kuantitas menghasilkan kualitas. Artinya, kuantitas karya berarti menyiratkan banyaknya latihan menulis yang dijalani, dengan produk tulisan yang nyata. Semakin banyak latihan yang dijalani, kualitas karya akan semakin baik dari waktu ke waktu. Di sini proses menulis hakikatnya proses naik kelas.

Meski demikian, marilah hindari menulis hanya berdasarkan kuantitas yang tidak dilambari keinginan untuk meningkatkan kualitas. Mari ingat perjalanan belajar kita di sekolah dasar: kita naik kelas dari kelas satu, dua, dan seterusnya hingga kelas enam. Kemampuan Matematika kita sewaktu kelas lima, haruslah jauh lebih baik dibandingkan dengan kemampuan kita sewaktu kelas satu. Pengetahuan umum kita sewaktu kelas enam jauh lebih baik dari pada sewaktu kita kelas dua.

Yang konyol adalah andaikata kita sudah menjadi mahasiswa, ternyata kemampuan kita sama dengan kemampuan kita sewaktu jadi siswa SD. Sejatinya, dalam hal ini, kita tidak lulus nilai kelulusan minimum. Kita hanya memaksakan diri menjadi mahasiswa, padahal sejatinya kita hanyalah anak SD. Hal ini jangan sampai terjadi pada kita yang meniti dunia menulis. Kita harus naik kelas!

Kedua, setiap kita memiliki potensi diri masing-masing. Pendidikan diri tidak mungkin menyulap yang berpotensi rendah melampaui yang berpotensi tinggi. Tidaklah bisa dipaksakan agar Joni Gudel memiliki nilai 90, padahal kemampuan optimalnya hanya 80. Pendidikan diri hanya membantu meningkatkannya dari posisi sebelumnya ke posisi paling bagus. Itulah keunikan kita.

Selain ilustrasi berlatih sepeda antara Joni Gudel dan Dulremek, kita bisa mengamati para legenda sepakbola. Meski dalam tim-tim sepakbola dunia terdapat pemain-pemain andal, kita bisa saksikan ada di antaranya yang mahir jadi kiper, back, gelandang, dan sebagainya. Tidak ada pemain yang mahir di segala lini permainan. Lionel Messi, misalnya, pastilah tidak mahir menjadi goal keeper.

Hal itu menandaskan betapa individu itu unik dalam suatu kemampuan. Keunikan tidak bisa disamakan antara orang satu dan orang lain. Justru karena itulah pendidikan mengharuskan guru memberikan treatment yang tidak sama kepada murid. Nah, untuk pendidikan menulis bagi diri sendiri, kita pastilah memahami bagaimana kondisi kita masing-masing, dan bagaimana sebaiknya paket pendidikan diri yang perlu dijalankan.

… kemampuan optimal dikuasai dengan latihan intensif yang dilakoni sendiri oleh individu. Kita mahir bersepeda karena latihan habis-habisan; demikian pula kemahiran dalam bidang lain.

Ketiga, kemampuan optimal dikuasai dengan latihan intensif yang dilakoni sendiri oleh individu. Kita mahir bersepeda karena latihan habis-habisan; demikian pula kemahiran dalam bidang lain. Jika ada guru yang memberikan teori dan praktik sederhana, kitalah sebagai murid yang harus lebih banyak berlatih. Dengan begitu, ilmunya manjing (merasuk) ke dalam diri kita.

Kita perhatikan dunia sepakbola lagi. Dalam tim Brazil, kemahiran legenda Pele jangan disamakan dengan pemain lain. Teori dan praktik sederhana yang ditunjukkan coach pastilah sama untuk semua pemain. Namun, Pele bisa berlatih jauh lebih keras dari pada yang lain. Hasilnya, Pele jadi legenda, sementara lainnya bukan legenda. Demikian pun dalam tim Argentina, kemahiran Maradona dan Lionel Messi tidak bisa disamakan dengan pemain lain, berkat intensitas berlatih yang berbeda.

Dalam dunia persilatan juga demikian. Sesama murid perguruan, ilmu bela diri yang diwejangkan kepada murid-murid padepokan pastilah sama, namun Gadjah Mada paling menonjol di antara murid-murid lainnya berkat latihan kanuragan yang sangat keras. Arya Kamandanu juga lebih sakti mandraguna dari pada murid-murid lainnya berkat latihan yang sangat keras. Demikian pun Saridin, di antara murid Sunan Kalijaga, dia termasuk murid yang menonjol.

Kita memang harus naik kelas. Namun, kerja keras kita tidaklah sama antara satu dan lainnya. Dan karena itu, hasilnya pun amat mungkin juga tidak sama. Cara mengukurnya adalah seberapa kita meningkat pada hari ini dibandingkan bulan lalu, bukan membandingkannya dengan penulis lain. Penulis lain hanyalah bahan becermin.

Kita memang harus naik kelas. Namun, kerja keras kita tidaklah sama antara satu dan lainnya. Dan karena itu, hasilnya pun amat mungkin juga tidak sama. 

Dalam konteks demikian, kita tidak harus menyamakan capaian kemahiran kita dengan penulis-penulis senior Indonesia semacam HB Jasin, Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, Chairil Anwar, WS Rendra, dan sebagainya. Kita optimalkan kemahiran kita pada beberapa layer di bawahnya pun tidak apa-apa. Syukur-syukur suatu saat ada keajaian, bahwa ada di antara kita yang sejajar dengan mereka. Biarlah sejarah kepenulisan yang bakal mencatatnya.

Sekarang, marilah mulai dari yang kecil saja. Konsisten belajar menulis sesuai target capaian dan waktu. Bukan hanya satu genre tulisan, melainkan beberapa genre tulisan, entah mana yang kita tentukan. Semua itu diarahkan untuk menuju kemampuan atau kemahiran optimal yang mampu kita capai. Marilah buktikan kemampuan optimal kita dengan karya nyata.

Gresik, 3/12/2023

Baca pula:

  1. Persistensi dalam Menulis
  2. “Diam Itu Emas” Bukan untuk Komunitas Penulis
  3. Proses Menulis Kreatif Itu Tidak Instan

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

16 thoughts on “Menuju Kemampuan Optimal dalam Menulis”

  1. N. Mimin Rukmini says:

    Menuju kemampuan optimal menulis. Keren! Pertama, tingkatkan! Kedua, unik masing- masing penulis punya keunikan. Ketiga, latihan intensif. Terimakasih Abah! Selalu memberi kekuatan, menulis, menulis, dan menulis. Bismillah! Harus bisa, minimal punya target.

    1. admin says:

      Betul sekali, Bu Mimin, kita harus punya target utk dituju

  2. Mukminin says:

    Siap Bah belajar menulis beberapa genre. Matur nuwun wejangannya

    1. admin says:

      Kita mesti memiliki target yang harus dicapai

  3. Florentina Winarti says:

    Penjelasan yang sempurna, tapi sulit untuk dijalani😚

    1. admin says:

      Mudah2an ada kemudahan untuk menjalaninya.

  4. Susanto says:

    Kuantitas penting dalam berkarya, namun tujuannya adalah kualitas karya itu sendiri. Ada pakar penulis dunia yang menyatakan bahwa “quantity produces quality,” kuantitas menghasilkan kualitas.
    Menjadi kutipan yang menarik.

    1. admin says:

      Oke, terima kasih kasih, PakDe

  5. Menarik sekali Abah Master, Siap menuju naik kelas. mohon doa dan bimbingannya.

    1. Mustajib says:

      Masha Allah. Sangat menginspirasi. Terima kasih2

      1. admin says:

        Sam-a-sama, ust Mustajib. Selamat berkarya

    2. admin says:

      Ayo naik kelas, Mas Makhrus. Harus berusaha keras

  6. Telly D says:

    Tidak ada kata lain selain” menulis “ utk mencapai yg optimal itu.

    1. admin says:

      Mencapai posisi tertentu dlm kualitas menulis ya harus ditempuh dengan banyak menulis

  7. Abdisita says:

    Inspiratif. Terima kasih pak Emcho. Barakallah lak.

    1. admin says:

      Terima kasih banyak, Bu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *