Oleh Much. Khoiri
Selasa, 26 Desember 2023, kemarin, kami kehilangan paman. Beliau berpulang dengan tenang, setelah menuntaskan semua urusan, bahkan dalam keadaan bersih setelah beliau menunaikan shalat. Senin malam beliau masih mengajak mengaji cucu-cucunya, dan pada sat sama beliau dikunjungi anak-anaknya. Sempat beliau minta didoakan agar dikaruniai umur panjang. Namun, Selasa pagi beliau sudah tiada.
Kehilangan, ya kehilangan, itu sebuah keniscayaan bagi kita yang pernah mendapatkan (sesuatu), sebagaimana kami kehilangan paman kami pada usia 80-an. Itu sunnatullah. Kita pernah bertemu dan berteman dengan nama-nama tertentu dalm kehidupan kita; dan akhirnya kita kehilangan karena kepergian mereka. Itu keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Ada orang bilang, dunia ini panggung sandiwara, dengan cerita yang kita mainkan. Kita dapatkan teman dan/atau lawan main dalam peran yang kita lakukan. Namun, toh cerita harus berakhir, dan itu berarti relasi antar pemain harus dihentikan—dan terjadilah keniscayaan itu: kehilangan teman/lawan main!
Habisnya cerita dalam hidup seseorang, yang menyebabkan orang lain kehilangan, tidak lain dan tidak bukan adalah kematian (maut). Kehadirannya tak disangka-sangka, tak bisa dimajukan, tak bisa pula dimundurkan. Kehadirannya on time, tepat waktu.
Barangkali inilah hikmahnya: bagaimana memposisikan diri sebagai insan yang selalu siap menjalani maut. Maut itu pantas untuk siapa pun; tak peduli usia—semua pantas menjalaninya.
Memang ada orang-orang yang awet umurnya semisal Kamato Hongo, Carrie C. White, Elizabeth Bolden, Tane Ikai, Maria Esther Heredia de Capovilla (masing-masing 116 tahun); Marie-Louise Meilleurr dan Lucy Hannah (masing-masing 117 tahun); Sarah Knauss (119 tahun); Shigechiyo Izumi (120 tahun), dan Jeane Calment (122 tahun). (http://www.uniknih.com).
Bahkan ada yang lebih panjang umurnya daripada mereka. Mbah-De Buyut saya dulu seda (wafat) dalam usia 128 tahun. Kemudian, yang mencengangkan, Mbah Canggah dari isteri adik saya mencapai usia 197 tahun (yang seda ketika tak satu pun anak-anaknya masih hidup).
Ayahanda Yu Shi Gan Xian Shen (Pak Dahlan Iskan), seperti dituturkan dalam buku Ganti Hati, juga mencapai 93 tahun. Itu salah satu penyemangat bagi Pak DI untuk menjalani serangkaian proses operasi transplantasi hati dengan pikiran dan perasaan tenang dan pasrah.
Sebaliknya, yang lebih muda pun juga pantas meninggal. Beberapa teman dan tetangga—yang tak perlu saya sebutkan satu persatu di sini— telah menunjukkan kepada kita akan kepantasan itu. Bukan itu saja. Balita, bayi, atau calon bayi pun juga pantas saja. Sekali lagi, maut itu pantes untuk sebarang usia.
Masalahnya, seberapa siap kita menghadapinya? Dalam sebuah puisi “Senandung Kematian” (New York, 1993), saya pernah mengajak (diri sendiri, setidaknya) untuk tak usah menjeratkan simpul ajal di ujung belati atau bersloki-sloki racun, sebab tanpa kita panggil dan tanpa kita sadari pun kematian pasti akan rela-sabar menghampiri kita, untuk menutup buku tua dan membuka buku baru.
Mengapa demikian? Kematian bukanlah terminal paling purna kita dari mata rantai petualangan panjang berpeluh, melainkan pintu gerbang ke galaksi akhirat kita, menuju jembatan berteka-teki untuk kita tempuh: satu sambungan abadi siklus Realitas kita yang utuh.
Lebih jauh, tak usah pula kita hindari ajal kita dengan berjuta laku dan cara; sebab kematian akan menemukan dan menggamit kita meski kita bersembunyi diri di bilik baja sekalian; sebab kematian nyata—senyata kehidupan fana yang merentang setia bersama desah-desuh napas.
Kematian bukanlah lorong bagi pelarian diri dari rel Realitas yang sebagian telah kita telusuri—melainkan “hadiah sempurna” dari kayuhan-roda kita yang menggelinding pasti dalam kesaksian sang waktu. Pun kematian bukanlah penolakan dari realitas kita, melainkan kewajiban ruh kita berpetualang selalu.
Lalu, mitraku, hanya pendamlah jauh di lubuk kalbu:
Kematian berdiri tegar dan sabar dekat dengan akhirmu
dan dekat awal-barumu—entah putih entah kelabu,
tapi tak tahu-menahu tentang panenan “tanaman”-mu.
Mudah-mudahan kita memperoleh kesempatan untuk mengumpulkan bekal akhirat yang memadai. Jika waktunya memang sudah tiba, mudah-mudahan kita dimatikan Allah dalam keadaan akhir yang baik (husnul khotimah).*
Gresik, 27-12-2023
Aamiin Yra. Tulisan bergizi mengingatkan pembaca (diri) Mati itu pasti maka harus mencari bekal kebajikan untuk sangu mati. matur nuwun Bah.
Matur nuwun, Bah, telah berkenan pinarak dan memberikan tanggapan.
Tulisan penuh makna. Isi pesan yang mendalam dalam goresan pilihan kata yang indah.
Twerima kasih banyak, Mas Makhrus. Salam kreatif.
Tulisan yg menyadarkan bhw kematian hal yg pasti akan datang, shg mari mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangannya dan memiliki bekal untuk berjalan dan berpindah ke alam lain . Tulisan yg dangat mencerahkan . 👍👍👍
Terima kasih banyak atas tanggapan bagus ini.
Amin….
Jadi ingat beberapa murid yang sudah berpulang mendahului gurunya.
Begitulah, murid pun sudah ada yg mendahului kita.
Akan tiba saatnya kita pun memenuhi panggilan-Nya.
Betul, betul, betul
Aamiin…Jadi merinding membacanya…
Setiap kali melakukan perjalanan ke luar rumah, saya selalu bersiap dengan doa-doa…sementara kalau di rumah kadang lalai berdoa…Yaa Allah…ampuni sesalah dan khilaf hamba dan sahabat2 hamba…hik…hik…hik…jadi pingin nangis Pak…
Overall…good writing…
Barakallah…
Makasih banyak, jengAyu. Matur nuwun atas kunjungannya
Aamin Yaa Robbal Aalamiin
Subhanallah!
…
Mengapa demikian? Kematian bukanlah terminal paling purna kita dari mata rantai petualangan panjang berpeluh, melainkan pintu gerbang ke galaksi akhirat kita, menuju jembatan berteka-teki untuk kita tempuh: satu sambungan abadi siklus Realitas kita yang utuh. Luar biasa, Abah! Mtr nuwun! Jadi pembelajaran diri.
Terima kasih banyak, Bu Mimin.