Oleh Much. Khoiri
DULGEMUK geleng-geleng kepala dan berdehem-dehem. Seperti lagu yang disetel ulang, setiap saat menjelang pemilu, gelar akademik dan gelar nonakademik bertebaran di baliho-baliho, di sepanjang jalan protokol. Di baliho-baliho yang kadang menyesaki tepi jalan itu, terpajang nama-nama calon legislatif (caleg) lengkap gelar sarjana dan gelar haji atau hajjahnya.
Dalam amatan Dulgemuk, ada yang memasang gelar sarjana, gelar master, gelar doktor—bahkan gelar profesor. Orang menjadi tahu, caleg di baliho itu tingkat pendidikannya apa. Di mata masyarakat awam, orang yang bergelar (baca: bertitel) adalah yang pernah “makan kampus”.
Kemudian, ada gelar haji (H) atau hajjah (Hj) yang ditempelkan pula di sana, mungkin untuk memaklumkan kepada publik bahwa mereka orang yang layak dipilih; setidaknya, mereka sudah menunaikan ibadah haji, yang berarti bahwa mereka termasuk masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Gabungan gelar akademik dan gelar nonakademik yang dilekatkan pada nama aslinya, tentu membuat nama caleg itu tampak berbeda, lebih keren dan meyakinkan. Ditambah foto yang paling bagus (termasuk editan), caleg akan tampak lebih ganteng atau cantik. Mereka pastilah meras siap untuk dipilih.
Memasang gelar memang hak si empunya gelar. Ada yang mewajibkan diri memasang gelar, ada pula yang tak mau memasang gelarnya—kecuali untuk urusan-urusan resmi. Sayangnya, saking senengnya gelar, ada orang yang memasang gelarnya secara komplit—mulai gelar sarjana sampai guru besar, plus gelar haji atau hajjah—sehingga gelarnya jauh lebih panjang dari pada namanya! Ada, tapi tidak perlu disebutkan di sini.
Memasang gelar yang sesuai tuntutan konteksnya tidaklah apa. Tetapi, jika gelar digunakan tidak pada tempatnya, kesannya lucu, justru menunjukkan bahwa si empunya dikesankan tidak tahu kapan menggunakan gelar. Menulis buku atau artikel, misalnya, kaidahnya tidak menuntut author untuk menyertakan gelar; namun, banyak pula author yang ngotot minta namanya disertai gelar.
Untuk gelar yang melengkapi nama, menjelang kampanye, tentu bukan tanpa alasan. Apakah itu sah-sah saja? Mengapa tidak? Baliho itu alat kampanye, yang telah dipasang jauh-jauh hari sebelum dimulainya masa kampanye. Masak orang jualan tidak boleh memamerkan produknya? Nyaleg ya perlu mempromosikan diri, setidaknya lewat foto diri dan gambar partai, agar laku alias dipilih tatkala pemilu berlangsung.
Sementara itu, Dulgemuk sendiri tidak suka memasang gelar. Dia punya gelar sarjana muda, sarjana, magister, dan doktor. Belum lagi gelar akibat kompetensi tambahan. Namun, dia tidak memasang gelar-gelarnya. Bahkan, andaikata suatu saat dia memperoleh glar guru besar, dia tidak suka memasang gelarnya, kecuali situasi menuntutnya.
Kali ini termasuk situasi yang pas. Dia tidak perlu memasang gelarnya, sebab dia memang tidak mencalonkan diri menjadi caleg. Baginya, biaya untuk nyaleg (tentu mahal) lebih baik digunakan untuk investasi sebuah usaha yang riil, sedangkan investasi nyaleg belum tentu membuahkan hasil. Kuat-kuatan dana, kuat-kuatan intrik, barulah akan menjadi pemenang—dan itu tidak bisa dilakoni Dulgemuk.
Doktor Dulgemuk, coba dengarkan sekali lagi: Doktor Dulgemuk. Andaikata nama itu disebutkan lewat pengeras suara di bandara atau stasiun kereta api saja, rasanya kok tidak pantas. Maka, jauh lebih baik untuk menggunakan panggilan Mas, Pak, Bapak, dan sebagainya. Ah, enakan tidak nyaleg, dipanggil apa pun cocok-cocok saja, terdengar nyaman di telingan, adem di hati.
Tentu saja, itu berbeda pandangan dengan para caleg. Berbeda dengan Dulgemuk, para caleg yang di baliho-baliho itu memang sengaja memasang gelar, sekomplit-komplitnya. Bahkan, ada yang semula belum punya gelar, berupaya memperolehnya: Kalau belum punya ijazah sarjana, segera menyelesaikan ijazah, jika perlu di negeri tetangga, agar lebih keren. Jangan lupa, gelar itu modal sosial (social capital) yang penting.
Untuk urusan gelar haji, itu juga modal sosial, sama dengan gelar akademik. Bahkan di lingkungan yang Islam-nya kental, gelar haji menjadi modal sosial yang sangat penting. Bukan hanya modal sosial, gelar haji menjadi indikator nyata bahwa pemakainya beragama Islam. Sebab itu, biarlah para caleg menggunakannya. Mudah-mudahan mereka terhindar dari riya’ alias pamer.
Beruntung, Dulgemuk bukanlah caleg, jadi dia bebas untuk tidak mencatumkan gelar haji di depan namanya. Haji Dulgemuk, ah, rasanya juga sangat tidak enak didengar—berbeda dengan Haji Ahmad, Haji Baidhowi, Haji Ihsan, dan sebagainya. Ibarat kaleng, cempreng! Benar-benar tidak pantas rasanya.
Namun, Dulgemuk merasa beruntung atas ketidakpantasan itu. Itu menghindarkan dia dari perbuatan riya’. Lha wong para sahabat Nabi saja tidak ada yang menggunakan gelar haji, padahal dulu mereka berhaji (hampir) setiap tahun. Mana ada sejarah yang menulis ada nama H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Utsman bin Affan, H. Ali bin Abi Thalib. Andaikata Dulgemuk memasang gelar hajinya, kok rasanya tidak ada tawadlu’nya di depan para khulafaur-rasyidin itu.
Oleh karena itu, kali ini tinggal menghitung pekan dan hari, menjelang pemilu. Tentu masyarakat akan memilih nama-nama calon yang dikenalnya baik. Apakah gelar-gelar caleg membantu masyarakat menentukan pilihan? Jangankan Dulgemuk, lembaga-lembaga survei poling saja tidak bisa memastikan hasil akhirnya.
Gresik, 24/11/2023
Ihhh cocok dg kondisi yg ada. Kepingin ngakak membacanya. 👍👍👍
Ngrasani diri sendiri
Membangun persepsi positif sah-sah saja, asal realita aktualisasinya juga sejalan. Keren Tulisannya
Terima kasih banyak, Pak Kepala
Kadang orang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan gelar, namun banyak juga yang merasa kurang pantas dengan gelar yang telah didapatkan. Saya sendiri jarang menggunakan gelar, malah lebih suka di panggil Buk i, oleh kerabat dan tetangga saya
Tawadlu dalam gelar
Penulisan gelar seperti itu tdk terlepas dr “social culture” kita yang masih menganggap orang-orang yg memiliki gelar seabrek abrek punya derajat sosial yg lebih. Suka dengan tulisan ini mewakili pikiran sy ketika melihat baliho” itu 😁😆
Betul sekali, itu berakar dari budaya kita, yang masih menganggap gelar sebagai sesuatu yang penting
Ada juga yang unik: kelahiran di atas tahun 1985, namun gelar kesarjanaannya ditulis Drs.
Yang tak kalah unik, ada pengalaman seorang sahabat bahwa daftar kontak sahabat-sahabat lelakinya dari Penang, dari Balik Pulau, Kualalumpur, Selangor, dan Johor pada dihapusi dan diblokiri semua oleh istrinya gegara di depan nama sahabat-sahabatnya itu sebagian besar dilekati gelar Hj.
Di Malaysia predikat Haji disingkat menjadi Hj., sedangkan Hajjah disingkat menjadi Hjh.
Matur nuwun komentar yang bergizi ini
Dul Gemuk memang Oye. Fakta di lapangan dideskripsikan dg Apik. TABIK
Matur nuwun, Abah Inin