Oleh Much. Khoiri
UNGKAPAN “diam itu emas” (silence is gold) kerap kita dengar, guna menyiratkan, bahwa lebih baik diam dan tidak boros bicara dari pada tidak bisa berbicara yang bagus dan bermanfaat. Ungkapan itu juga memberi pesan untuk tidak meremehkan orang yang diam, sebab amat mungkin dia orang yang berilmu atau tawadhu’.
Makna pertama tampak berkaitan dengan kebiasaan orang tertentu yang hanya suka bicara tetapi kosong isinya. Istilahnya, “tong kosong berbunyi nyaring.” Sebuah tong kosong akan nyaring dan keras bunyinya ketika dipukul. Ini bukan isapan jempol, melainkan telah “dititeni” (diidentifikasi) sebagai fenomena berulang dari masa ke masa—sehingga ia diterima sebagai sebuah kebenaran.
Oleh sebab itu, tidak usah meniru sifat tong kosong. Sebaliknya, dari pada berbicara kosong, lebih baik diam, sebab diam itu emas. Diam itu emas, sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi meski tidak memperoleh perlakuan apa pun. Didiamkan saja emas tetaplah emas.
Meski demikian, tidaklah mudah menjelaskan makna kedua, yakni tidak meremehkan orang diam sebab mungkin dia bukannya tidak memahami melainkan hanya menunjukkan ketawadhu’an. Lebih sulit lagi jika kedudukan sosial satu orang dan lainnya bersifat subordinatif, misalnya antara penguasa dan rakyat, atau antara juragan dan pembantu.
Dalam dunia pendidikan pun, keterdiaman siswa di sekolah atau santri di pesantren tidaklah mudah dibaca atau ditafsirkan. Setelah pemberian materi atau pengajian, lalu ada sesi tanya jawab, kebanyakan siswa atau santri hanya diam. Kendati mungkin ada yang ingin ditanyakan, kebanyakan mereka tidak berani menyatakannya.
Di mata guru atau ustadz, keterdiaman siswa atau santri tentu sebuah teka-teki tersendiri. Dalam benaknya, apakah siswa atau santri diam karena mereka memang sudah memahami materi yang disampaikan, ataukah mereka enggan bertanya karena tidak ingin dianggap bodoh. Dalam hal ini, guru atau ustadz perlu rajin memberikan pertanyaan-pertanyaan penguatan yang hanya membutuhkan afirmasi siswa atau santri.
Pertanyaannya, komunitas penulis perlu “Diam Itu Emas”?
Setiap komunitas penulis tentu memiliki tujuan pembentukannya. Ada komunitas penulis yang dibentuk untuk menjalin silaturahmi saja, yang tidak diikat dengan unjuk karya secara rutin. Karena tidak diikat dengan kerutinan dalam unjuk karya, hadirnya anggota-anggota yang hanya diam tidaklah mudah dideteksi apakah mereka itu “diam itu emas” ataukah mereka tidak pernah mengunjungi komunitas.
Namun, untuk komunitas yang dibentuk untuk memperkuat silaturahmi dan sekaligus untuk unjuk karya alias berbagi tulisan, anggota komunitas yang diam menyiratkan tiga makna saja: (1) lunturnya komitmen untuk berkarya sebagai anggota, (2) ketidakpedulian anggota itu terhadap komunitas, sehingga tidak lagi mengunjungi komunitas, dan (3) enggan untuk berbagi tulisan karena dia merasa tulisannya kurang bagus. Khusus poin (3) ini, ia otomatis batal, ketika di dalam komunitas telah ada keterbukaan dan saling-komentar.
Komunitas penulis kita ini menganut “aliran” kedua ini, yakni kita menulis bukan hanya memperkuat silaturahmi, melainkan juga memanfaatkan komunitas untuk mendidik diri menjadi penulis yang siap menjadi virus literasi. Mendidik diri dalam menulis tentu menulis dan berbagi tulisan—dan komunitas adalah tempat terbaik untuk berbagi tulisan.
Dengan perspektif demikian, komunitas kita ini tidak membutuhkan keterdiaman kita sebagai anggota. Ketika kita diam dan tidak memunculkan karya, kita bukanlah emas, bukan pula kita sedang menjadi manusia tawadhu’—tetapi sebenarnya komitmen kita telah luntur, kepedulian kita telah merosot, dan kemauan menulis kita telah lemah. Komunitas kita ini tidak membutuhkan itu.
Sebaliknya, jika kita masih ingin menjadi anggota komunitas penulis, tentu saja kita kembali ke posisi semula: Menulis dan berbagi karya! Marilah kita terus bergerak dalam pikiran dan karya, berliterasi membangun negeri. Kita perkuat kembali komitmen kita, kita naikkan kembali kepedulian kita, dan kita perkuat kembali kemauan menulis kita.
Kita hancurkan keengganan berbagi tulisan. Tulisan sampah pun tidak apa-apa, sebab tulisan sampah akan menjadi kompos jika diopeni sepanjang waktu. Jika gara-gara tulisan kita dicap sebagai orang yang tong kosong berbunyi nyaring, ya kita terima dengan tersenyum saja. Terlebih, jika yang memberi cap itu orang yang tidak pernah menulis, maka kita tersenyum lagi seraya mendoakan dia saja agar dia mendapatkan hidayah dari Allah.
Tatkala kita melahirkan tulisan, kita memang bekerja dalam diam, kita berpikir di atas kertas atau layar device (laptop atau ponsel) kita; namun karya tulisan kitalah yang berbicara atau berteriak lantang. Kata Bud Gardner: “Jika kita bicara, kata-kata kita hanya bergema di dalam ruangan atau aula; tapi jika kita menulis, kata-kata kita akan menembus batas waktu.”
Oleh karena itu, marilah camkan ungkapan ini: Kita lanjutkan menulis dan berbagi tulisan di dalam komunitas kita, sebab dengan cara itulah kita dikenal sesama kita sebagai penulis—bahkan dikenal dunia yang lebih luas. Dengan menulis pula, kita akan menyejarah dan hidup lama bersama karya kita.
Gresik, 19/11/2023
Sangat setuju:
marilah camkan ungkapan ini: Kita lanjutkan menulis dan berbagi tulisan di dalam komunitas kita, sebab dengan cara itulah kita dikenal sesama kita sebagai penulis—bahkan dikenal dunia yang lebih luas. Dengan menulis pula, kita akan menyejarah dan hidup lama bersama karya kita.
Terima kasih banyak, abah Inin
‘Tulisan sampah pun tidak apa-apa, sebab tulisan sampah akan menjadi kompos jika diopeni sepanjang waktu” siap menjadi Pemalang tulisan sampah.
Yang penting tetap memberi treatment kepada tulisan2 yang mungkin kurang bagus
InsyaAllah Pak…
Saya hadir kembali untuk tidak diam….
Lanjutkan, Bu Mien, tugas kita memang menulis dan menulis untuk kebaikan
Sebuah penerimaan yang disinari nur Ilahi : Tulisan (sekualitas) sampah, tak masalah. Jika terus diopeni — disebarkan dan diterima semua komentar perbaikan — akan menjadi “kompos” yang mejegarkan fisik, mental dan spiritual.
Barakallah, semoga motivasi Pak Doktor menjadi tambahan amal ibadah. Aamiin
Aamiin YRA