Oleh Much. Khoiri
Membaca manuskrip buku bertajuk Guru Besar di Mata Guru Kecil ini mempelantingkan saya pada sosok Sisyphus, nama yang tak asing lagi dalam mitos Yunani, sebagaimana dikisahkan oleh Albert Camus dalam kumpulan esai filsafat Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus, 1955)—sebuah buku yang menghimpun pandangan filsafat Camus, yang kemudian juga direpresentasikan di dalam karya sastranya semisal novel The Stanger dan drama Calligula.
Dalam kisah tersebut, akibat kesalahan melanggar tatanan alam, Sisyphus dikutuk Zeus untuk mendorong batu besar ke atas bukit hanya untuk menggelindingkannya kembali ke bawah ketika ia mencapai puncak. Sisyphus dikutuk untuk mengulangi tugas yang tidak berarti dan sewenang-wenang itu selamanya. Tentu, Sisiphus berjuang keras tanpa mengeluh untuk semua itu. Esai Camus menyimpulkan, “Perjuangan itu sendiri… sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisyphus bahagia.”
Demikianlah, menurut Camus, Sisyphus adalah seorang pahlawan absurd yang ideal dan hukumannya mewakili manusia: Bahwa Sisyphus harus berjuang terus-menerus meski tanpa harapan tertentu untuk berhasil. Selama dia menerima bahwa hidup tidak lebih dari perjuangan (meski mungkin tidak masuk akal), dia menemukan kebahagiaan di dalamnya.
Lewat ilustrasi kisah Sisyphus, Camus hendak menyampaikan pandanganya terhadap absurditas, dan mengidentifikasi tiga aspek kehidupan yang absurd, yakni pemberontakan (kita tidak boleh menerima jawaban atau rekonsiliasi apa pun dalam perjuangan kita), kebebasan (kita benar-benar bebas berpikir dan berperilaku sesuai pilihan kita), dan gairah (kita harus mengejar kehidupan, dengan pengalaman yang kaya dan beragam).
Sekarang, saya terbang kembali ke manuskrip buku ini. Mengapa kisah Sisyphus menjadi penting di sini? Sebab, Sisyphus bisa jadi simbol perjuangan manusia untuk menyikapi kehidupan yang absurd, dan kisahnya memiliki relevansi dengan sosok utama yang dibahas di dalam buku ini. Baginya, adalah sesuatu yang absurd ketika dia dihukum oleh Zeus atas kesalahan yang mungkin tak diketahuinya, dan hukumannya juga absurd ketika dia harus mendorong batu ke atas bukit dan kemudian menggelindingkannya kembali ke bawah.
Sisyphus tidak menyerah dan pasrah, terbelenggu, dan kehilangan semangat—melainkan memiliki jiwa pemberontakan (baca: perjuangan), memiliki kebebasan (berpikir dan memilih cara) menjalani hukuman, serta menguatkan diri dengan gairah atau passion untuk mengejar kehidupan. Justru karena sikap inilah Sisyphus akhirnya mampu menemukan kebahagiaan.
Prof. Yaya—sapaan akrab penulis buku ini untuk Prof. Dr. Nurhidayah—memang bukanlah sosok Sisyphus yang menjalani hukuman Tuhan akibat kesalahan dalam hidupnya. Namun, sebagaimana Sisyphus, juga manusia pada umumnya, Prof. Yaya hakikatnya juga menghayati hidup yang absurd. Manusia itu makhluk yang dhaif (lemah) yang tak sedikit pun tahu apa rencana Tuhan terhadapnya. Prof. Yaya juga tidak tahu mengapa dia terlahir dari ayah yang seorang guru besar, mengapa dia tergerak untuk mengikuti langkah ayahnya, mengapa dia harus meniti jalan hidupnya untuk meraih jabatan guru besar.
Justru karena Prof. Yaya tidak tahu apa yang direncanakan Tuhan, dia tidak menyerah dan pasrah, terbelenggu, dan kehilangan semangat—melainkan harus memiliki jiwa perjuangan, memiliki kebebasan berpikir dan memilih cara menjalani ujian demi ujian, serta menguatkan gairah atau passion untuk membangun hidupnya lebih baik. Dia berjuang dengan segala passion tanpa kenal lelah, yang pada hakikatnya sama dengan perjuangan Sisyphus mendorong batu ke atas bukit dan menggelindingkannya kembali ke bawah. Dia menikmati proses itu, karena hanya itu yang bisa dilakukannya. Di situlah dia menemukan penghargaan dan kebahagiaan: jabatan akademik guru besar atau profesor.
Semua itu tercermin dari Bagian 1 buku ini, dengan 9 (sembilan) narasi literasi Prof. Yaya, tentang jatuh bangun Prof. Yaya menuju guru besar. Penulis buku ini cermat dan cerdas menarasikan mengapa jabatan guru besar itu penting bagi Prof. Yaya, siapa motivator yang menggerakkan, bagaimana menjaga marwah menuju guru besar itu, bagaimana perjuangan menembus jurnal dan nonjurnal. Lebih dari itu, bagian ini juga memaparkan bagaimana Prof. Yaya menghayati kegiatan pengabdiaan kepada masyarakat, bagaimana dia mengukir aneka prasasti prestasi, berbagi refleksi dan pesan, serta membangun impian ke depan.
Tampaknya tidak semua mengetahui betapa berlikunya perjuangan Prof. Yaya menuju guru besar. Mungkin hanya sebagian kolega yang menyaksikan sepak terjangnya dalam berkolaborasi dalam penelitian dan publikasi ilmiah, baik lewat jurnal (dalam dan luar negeri) maupun nonjurnal (seminar, diskusi, dan sebagainya). Mungkin ada yang tidak memperhatikan bahwa Prof. Yaya juga telah membangun jaringan kolaboratif dengan berbagai pihak, baik untuk kepentingan pengabdian maupun untuk peningkatan kualitas keilmuan dan kerjasama lembaga. Prestasi-prestasi yang telah diukir oleh Prof. Yaya, sebagaimana juga dipaparkan pada Biodatanya, merupakan bukti tak terelakkan. Sayangnya, Prof. Yaya bukan tipe orang yang suka pamer, sehingga di mata orang lain dia seakan tidak banyak memiliki prestasi.
Sementara itu, mengikuti narasi literasi di dalam Bagian 1, saya justru menjadi paham dan tidak meragukan lagi bahwa Prof. Yaya memang layak dan pantas untuk memperoleh anugerah jabatan guru besar. Dari penelusuran, sejak dosen muda Prof. Yaya telah membangun keinginan besar untuk kelak menjadi seorang guru besar—itu sangat masuk akal, mengingat ayahnya, role model-nya, juga seorang guru besar. Motivasi awalnya sudah kuat, lingkungan belajarnya kondusif, perjuangan nyata yang berkelanjutan, serta kebersandaran kepada Tuhan dan ridha-Nya, mana yang bakal mustahil?
Dengan kalimat lain, Prof. Yaya merupakan guru (merasa) kecil—sebagaimana pengakuannya, yang tercermin dari judul dan Prakata buku ini—yang berjiwa besar yang berjuang dengan segala gairah (passion) tinggi. Tetap merasa kecil itu perwujudan jiwa besar seseorang, tidak memamerkan arogansi akademik, melainkan menunjukkan sikap tawadlu terhadap guru-guru dan kaum cendekia yang lebih senior. Dalam Prakata tertulis begini: “Yaya yakin bahwa guru besar dan guru kecil bukan semata terletak pada menterengnya gelar itu sendiri, melainkan lebih pada bagaimana kontribusinya bagi keilmuan dan masyarakat.
Yang menarik, di Bagian 2 buku ini menyuguhkan sejumlah pandangan Prof. Yaya tentang dunia akademik dan bidang ilmu yang ditekuninya. Prof. Yaya memaparkan pandangannya tentang universitas berbasis riset menuju kampus berperadaban, dan tentang institusi pendidikan, perdamaian dan tolerasi. Dia juga membahas tentang urgensi keperawatan forensik di Indonesia, era pengobatan ke era kesadaran, sekilas sejarah Bioterorisme, implikasi sosial Bioterorisme, dan sebagainya. Tulisan-tulisan di bagian ini sejatinya merupakan tulisan lepas, tetapi justru mengandung pemikiran yang otentik dan layak untuk dikembangkan lagi.
Jika dicermati, Bagian 1 maupun Bagian 2 buku ini merupakan bukti tertulis tentang siapa Prof. Yaya dan apa saja yang telah dikreasikan dan dihasilkannya dalam posisinya sebagai dosen di UIN Alauddin Makassar. Boleh dikata, perbuatan lebih nyaring dari pada kata-kata yang diucapkan. Apa yang telah dihasilkan Prof. Yaya lebih sah dan meyakinkan dari pada apa yang diucapkannya; juga lebih nyaring dari pada ucapaan (berbasis prasangka atau persepsi) orang lain terhadapnya. Tampaknya, Prof. Yaya begitu yakin, bahwa kebenaran tetap akan menunjukkan substansinya.
Yang lebih menarik adalah dihadirkannya Bagian 3: Guru Kecil di Mata Sahabat. Jika Bagian 1 dan 2 merupakan literasi diri dan sumber rekognisi, maka Bagian 3 buku ini menghimpun aneka testimoni dan penghargaan (komplimen) para sahabat Prof. Yaya. Ada teman kuliah, dosen, teman kolaborasi riset dan publikasi, pejabat kampus, dan sebagainya—tentu dengan gaya penyampaian yang berbeda-beda. Penyusun buku ini sengaja membiarkan testimoni para sahabat otentik, termasuk yang tertulis dalam bahasa Inggris. Dari lebih dari duapuluh testimoni itu, mereka mempredikasi Prof. Yaya dengan “Profesor Motivator”, “Pribadi yang Menginspirasi”, “One Complete Package”, “Pejuang Perdamaian dan Dialog Antaragama”, “Penyemai Narasi Lintas Dimensi”, dan sebagainya.
Bagian 3 inilah kesaksian masyarakat terhadap sosok dan perjuangan Prof. Yaya. Prof. Yaya tidak perlu berkoar-koar sendiri tentang dirinya. Dia cukup menyuguhkan bukti nyata berupa karya-karya akademik, pengabdian, dan kelembagaan. Puluhan testimoni ini bisa jadi representasi dari para saksi yang mengetahui tentang sepak terjang Prof. Yaya yang bersedia membuatkan testimoni. Amat boleh jadi masih banyak sahabat yang sejatinya memiliki kesan testimoni yang sama; hanya saja, mereka tidak sempat menuliskannya.
Secara simultan ketiga bagian buku ini mengarah ke suatu entitas pemakluman kepada pembaca: Ini loh penjelasan dan bukti yang nyata siapa Prof. Yaya. Setidaknya, inilah pintu gerbang awal untuk mengenal sosok guru kecil berjiwa besar yang telah berjuang dengan segala passion itu. Selanjutnya, siapa pun pembaca bisa menindaklanjutinya dengan cara masing-masing, terutama dalam bidang keilmuan yang di dalamnya mengandung kepakaran Prof. Yaya.
Akhir kata, saya pribadi ingin menjumpai Prof. Yaya dan mengenalnya lebih dekat, selain untuk bersinergi dan berkolaborasi, juga untuk membuktikan apakah Prof. Yaya merupakan guru kecil berjiwa besar yang sederhana, tawadlu, dan telah berjuang dengan segala passion yang menyala. Saya harus menemukan bukti yang menguatkan untuk membayar lunas keingintahuan saya ini. Jika semua itu benar, pantaslah digarisbawahi bahawa Prof. Yaya itu satunya kata dan perbuatan. Di situ Prof. Yaya layak disebut guru besar yang sesungguhnya!
Surabaya, 15 September 2023
*Dr. Much. Khoiri, M.Si adalah dosen Kajian Sastra/Budaya Universitas Negeri Surabaya (Unesa), penggerak literasi, certified editor & writer dengan 74 buku. Lulusan International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993) dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996). Tulisan ini pendapat pribadi. Bisa dihubungi di muchkoiri@unesa.ac.id.