Penulis, Teknologi, dan Karya

Oleh Much. Khoiri

PERNAHKAH kita bayangkan, apakah alat teknologi yang digunakan oleh “penulis” sebelum Masehi untuk mengabadikan hasil cipta mereka ke dalam tulisan? Bagaimana pula kita bayangkan para penulis dari generasi ke generasi memanfaatkan alat teknologi yang telah berkembang sejalan dengan peradaban mereka?

Kita mengenal karya sastra kuno semisal sastra Mesopotamia, Mesir, atau Ibrani atau sastra India, Sastra Yunani Kuno, Roma Kuno, atau China Kuno. Dalam Sastra India Kuno, misalnya, kita bisa membaca kitab epos terkenal “Ramayana” dan “Mahabharata”, bagaimana karya-karya itu pertama kali dulu (300-400 SM) telah ditulis. Atau dalam Sastra Yunani Kuno, kita bisa bayangkan bagaimana Homer menulis “Book 6: Hector Returns to Troy.”

Pengarang tua yang sedang berkonsentrasi. Foto: Depositphotos

Kemudian, marilah kita terbang ke Inggris, melesat ke masa lampau, untuk membayangkan bagaimana William Shakespeare menulis naskah drama “Romeo and Juliet”. Apakah dia menggunakan alat teknologi—baik alat tulis maupun papan tulisnya—yang sama dengan yang digunakan oleh para penulis ribuan atau ratusan tahun sebelumnya? Maksudnya, seberapa bedanya antara “Romeo and Juliet” dan “Mahabharata” ditulis untuk pertama kalinya?

Kemudian, marilah kita terbang ke Amerika Serikat, untuk menemui novelis ganteng yang salah satu novelnya adalah “The Old Man and the Sea”. Dialah Ernest Hemingway, pengarang Amerika yang memenangkan hadiah Nobel dalam Sastra. Dia menggunakan mesin tik. Mengapa yakin? Saya sendiri pernah melihat mesin tik yang dulu pernah digunakan Hemingway untuk menulis tatkala masih hidup.

Oke, sekarang marilah kita melesat ke Mesir, untuk menyapa novelis Naguib Mahfouz, juga penerima hadial Nobel dalam Sastra. Sama dengan Hemingway, Naguib Mahfouz juga masih menggunakan mesin tik untuk berkarya, baik setelah dia berjalan kaki di pagi hari, duduk di teras sambil minum kopi atau teh hangat, maupun ketika dia bertugas sebagai petugas perpustakaan.

Sekarang, kita perhatikan para pengarang Indonesia sejak zaman Pujangga Lama hingga sekarang. Tidak usah jauh-jauh ke masa lampau yang ratusan atau ribuan tahun silam, juga tak usah ke masa lampau di mana Shakespeare, Hemingway, atau Naguib Mahfouz telah melahirkan karya-karya mereka. Para penulis sastra Indonesia angkatan Pujangga Lama, balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 80, Angkatan Reformasi, serta angkatan entah apa lagi namanya telah menggunakan alat teknologi masing-masing untuk berkarya.

Marilah kita amati secara seksama. Kita pastilah mendapati, semakin ke sini teknologi yang digunakan semakin canggih. Pada satu sisi para penulis mendapatkan kemudahan; tetapi pada sisi lain mereka mendapat tantangan untuk menjaga keaslian (keotentikan) karya mereka. Bahkan, dewasa ini, alat teknologi semakin canggih dan mengancam daya kreativitas para penulis sendiri. Dalam hal ini hadirnya Artificial Intelligence (AI) telah mengubah perspektif penulis dan alat teknologi yang digunakan untuk menghasilkan karya yang dihendaki.

Namun, demikianlah, sebagaimana manusia berkembang membangun peradaban, penulis juga selalu beradaptasi terhadap tantangan teknologi yang menyertasi perkembangan peradaban itu. Kuncinya, penulislah faktor terpenting dalam adaptasi ini—meski perubahan yang ada bersifat disruptif. Sebagai manusia, penulis tentu memiliki naluri untuk selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, termasuk dengan perkembangan peradaban. Alat teknologi, dengan demikian, hanyalah sebagian kecil dari bagian perabahan yang dikembangkan dan dihayati, dan pastilah bisa ditaklukkan oleh para penulis.

Sebagai akibatnya, karya mereka juga bisa berkembang dalam hal kreativitas dan bentuknya. Dulu menulis kreatif didefinisikan sebagai karya yang merujuk karya-karya sastra seperti prosa fiksi (novel, novela, novelet, cerita pendek), puisi, dan drama. Dewasa ini menulis kreatif mewadahi karya-karya sastra dan sekaligus mewadahi karya-karya kreatif berupa tulisan perjalanan (travel writing) dan jurnalisme sastrawi (literary journalism). Genre-genre yang mereka hadirkan juga demikian beragam.

Agaknya dua konsep terakhir itu perlu dijelaskan pada tulisan tersendiri. Namun, untuk sementara, kita bisa menggarisbawahi bahwa setiap zaman penulis telah beradaptasi dalam menggunakan alat teknologi yang lazim tepat. Substansi karya mereka tetaplah sama, yakni abstraksi kehidupan manusia dan pengalaman mereka, dengan bentuk ekspresi kreatif yang sejalan dengan peradaban mereka.[]

Gresik, 11 September 2023

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

15 thoughts on “Penulis, Teknologi, dan Karya”

  1. Chamim Rosyidi Irsyad (Chrirs Admojo) says:

    Tulisan daging nan bergizi. Sepakat: “… bahwa setiap zaman penulis telah beradaptasi dalam menggunakan alat teknologi yang lazim tepat. Substansi karya mereka tetaplah sama, yakni abstraksi kehidupan manusia dan pengalaman mereka, dengan bentuk ekspresi kreatif yang sejalan dengan peradaban mereka.” (Much. Khoiri, 11 Sep 2023)

    1. admin says:

      Terima kasih banyak, Abah Chamim. Ini komentar yang bagus

  2. Tekky D says:

    Karya2 monumental justru lahir ketika teknologi belum secanggih ini.
    Menguatkan bhw teknologi semata- mata hanya alat saja bagi penulis . 🙏🏻🙏🏻🙏🏻terima kasih

    1. admin says:

      Begitulah adanya, teknologi hanyalah alat semata.

  3. N. Mimin Rukmini says:

    Mantap! Menjelajah ke arah Inggris, Mesir, Amerika, mengerucut ke Sastrawan Indonesia. Teknologi dan budaya menulis seiring zamannya. Tulisan kapan pun akan tetap membangun kreativitas dan akan abadi, melebihi umur yang kita miliki. Terima kasih Abah! Selalu memberi nutrisi yang bergizi tinggi. Alhamdulillah!

    1. admin says:

      Terima kasih banyak, Bu Mimin, telah berkunjung ke sini

  4. Mukminin says:

    Sangat bergizi artikel Abah. Teknologi hanya sebagai alat. Tinggal mau dan mampu tidak kita memamfaatkannya. “Substansi karya mereka tetaplah sama, yakni abstraksi kehidupan manusia dan pengalaman mereka, dengan bentuk ekspresi kreatif yang sejalan dengan peradaban mereka”. Saya sangat setuju sekali

    1. admin says:

      Terima kasih atas tanggapan yang ciamik.

  5. Muhammad Helmi says:

    Mencerahkan😍

    1. admin says:

      Makasih, ustadz Helmi

  6. Supardi Harun says:

    Sebelum ada alat tulis yang canggih, ternyata penulis zaman dulu pun sangat produktif.

    Keren pak doktor.

    1. admin says:

      Betul sekali, Pak. Ada masanya masing2

  7. Eka Rosmawati (Eka Ros) says:

    Penulis merupakan faktor terpenting dalam adaptasi. Penulis harus menjadi penakluk alat teknologi, karena pikiran penulis akan menembus jalan untuk senantiasa bisa menuangkan ide kreatifnya. Tulisan sebagai penggambaran kecerdasan Pak Dosen 🌹💕

  8. Elmiya Sari says:

    Masha Allah, benar sekali pak Khoiri. Seiring perkembangan jaman. Dari mesin tik jadul hingga AI, kesemuanya mempermudah penulis sesuai konsep buku yang diinginkan. Terimakasih pak Khoirih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *