Oleh Much. Khoiri
SEKUMPULAN kunang-kunang dari balik kegelapan terbang mendekati lampu. Mereka ingin tahu apakah lampu itu sama dengan “sinar tubuh” mereka yang berkerlap-kerlip. Mereka tidak menyadari bahwa lampu yang panas akan membakar dan menghanguskan mereka sewaktu-waktu. Mereka hanya terbang mendekat dan semakin dekat lagi.
Laron juga demikian. Mereka berdesakan keluar dari lubangnya, lalu beterbangan dengan gembira menuju lampu yang panas. Dengan keingintahuan yang utuh, mereka bahkan sesekali menempel di bagian-bagian pinggir lampu. Akibatnya bisa ditebak: sayap mereka terkena panas dan patah, bahkan copot dari tubuh. Mereka terjatuh ke tanah tanpa sayap—kini kehilangan kebanggaan, kekuatan, dan jati diri. Sebuah kebangkrutan yang sempurna.
Ada juga rombongan semut, yang berbondong-bondong merayap menuju seonggok gula (merah) Jawa yang meleleh. Mereka hanya tahu bahwa gula merah itu akan menjadi santapan yang aduhai—bukankah di mana ada gula, di situ pula ada semut? Mereka tidak sadar akan bahaya “lengket”-nya gula meleleh. Maka, bisa dibayangkan: Ada semut yang terperangkap gula, entah kakinya lengket dengan lelehan gula, entah seluruh tubuhnya terjatuh di dalamnya.
Kunang-kunang, laron, dan semut di atas hanyalah ilustrasi bahwa karena keingintahuan yang besar, mara bahaya pun tak diperhitungkan sama sekali. Yang tampak hanyalah jawaban terbaik atas keingintahuan yang disuburkan. Sementara itu, bahaya yang sewaktu-waktu dapat menerkam malah diremehkan. Justru karena meremehkan bahaya itulah, mereka terjatuh dan menyesal.
Tentu saja, tidak semua kunang-kunang, laron, dan semut mengalami musibah yang sama. Di antara sebagian kunang-kunang, laron, dan semut yang mengalami musibah, ada sebagian lain yang berhasil melewati ujian hidup yang sama. Tidak serta merta mereka semua terbakar lampu, atau terjebak dalam lelehan gula merah yang mematikan. Musibah itu terjadi hanya pada sebagian saja.
Kasus semacam itu bisa terjadi pada siapa pun juga—terlebih pada mansia, yang memiliki akal dan nafsu. Manusia memiliki kesempurnaan, sekaligus ketidaksempurnaan, dalam beribadah di dunia ini. Keingintahuan besar, yang dilandasi nafsu diri yang sulit dikendalikan, akan menghancurkan seseorang apabila akal tidak difungsikan dengan sebaik-baiknya. Setidaknya, jika akibat buruk telah terjadi, hanya penyesalan yang dirasakan.
Ingatkah kasus body checking yang dipolisikan oleh beberapa peserta Miss Universe Indonesia 2023? Tanpa berpretensi negatif terhadap kasus itu—dan mudah-mudahan segera terang benderang—kasus itu menggambarkan betapa pelapor itu sangat ingin tahu dan bahkan menang dalam kontes Miss Universe Indonesia. Namun, mereka malah terjebak dalam kasus body checking, mungkin akibat yang tidak diperhitungkan atau malah diremehkan saat mendaftarkan diri.
Dari berbagai sumber, body checking dilakukan di sebuah ballroom hotel. Prosesnya hanya tertutup banner dan gantungan baju. Mulanya para finalis hanya diberi tahu akan melakukan fitting busana. Namun, tanpa pemberitahuan, mereka justru dipaksa menjalani body checking dan difoto tanpa busana. Polisi mengatakan hal tersebut dilakukan bukan oleh ahli, melainkan orang yang tidak berkapasitas. Mereka khawatir, momen tersebut tertangkap CCTV dan tersebar.
Sungguh, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mencampuri berjalannya proses hukum yang sedang berjalan. Biarlah hukum berjalan sesuai porsinya, dan para pihak yang terlibat kasus itu mendapatkan keadilan yang diharapkan. Saya justru ingin mengajak pembaca untuk memetik hikmahnya.
Saya hanya prihatin dan sedih akan nasib para korban. Saya justru sangat menyayangkannya. Mereka seharusnya sudah tahu, dari aneka referensi yang diperoleh, bahwa dunia yang dimasukinya bukanlah dunia yang steril dari pengecekan kecantikan wanita. Mereka telah menyaksikan bagaimana para kontestan Miss Universe dunia berlenggak-lenggok di depan publik hanya dengan mengenakan bikini, misalnya.
Sudah tahu dunianya seperti itu, mereka masih tetap memupuk keingintahuan untuk menjajal nasib agar menjadi pemenang kontes. Mereka meremehkan kemungkinan dilakukan body checking. Mereka tetap lanjut mengikuti proses kontes wanita tercantik tersebut meski bahaya mungkin saja mengancam—mereka laksana kunang-kunang dan laron yang terbang mengitari lampu, laksana semut yang berduyun-duyun mengerubuti gula merah yang meleleh.
Agaknya kemanisan, kemewahan, dan hidup wah yang diidamkan telah membuat mereka tidak mengantisipasi hal-hal buruk yang bakal menimpa, termasuk tidak etisnya body checking. Semua begitu menyilaukan mata, membuntu pikiran waras, dan melenakan hati nurani. Sekali lagi, nafsu lebih berjaya ketimbang akal sehat yang dilambari kebenaran.
Dan kasus sejenis telah banyak terjadi di sekitar kita. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, ujaran kebencian, dan sebagainya—para pelakunya bukannya tidak tahu tentang akibat yang bakal mereka terima. Mereka sangat memahaminya. Namun, mereka tetap melakukannya. Nah, ketika ada kasus menyandungnya, barulah mereka menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya salah.
Di sini marilah belajar menyerap hikmahnya. Dunia ini madrasah, dan hidup ini kitab kehidupan, yang setiap lembarnya dapat kita buka setiap hari. Dalam hal ini, marilah tidak terlalu berani menantang bahaya, padahal kita sudah tahu akibat yang mungkin akan terjadi. Salam berakal sehat, salam bijak!
Gresik, 23 Agustus 2023
Tulisan yang inspiratif dan penuh makna dan kritik. Keren pak doktor
Semua begitu menyilaukan mata, membuntu pikiran waras, dan melenakan hati nurani. Sekali lagi, nafsu lebih berjaya ketimbang akal sehat yang dilambari kebenaran. …
Subhanallah! Ide yang paling saya suka. Yang menjadi persoalan mampukah saya dan orang2 minimal lingkungan saya menyaring tanda bahaya tersebut! Harus mampu! Aamin. Trims, Prof! Sungguh bermanfaat!
Tulisan yg syarat makna. Keren perumpamaan yg digunakan. 👍👍👍
Josss siipp