Oleh Much. Khoiri
Saya mengisi kegiatan sebagai nara sumber Lesehan Literasi secara daring pada Rabu 15 Maret 2023 malam. Sejalan dengan namanya, kegiatan literasi ini digelar laksana lesehan. Peserta bisa mengajukan pertanyaan, seakan membagikan makanan ke tikar tempat duduk bersama, lalu saya kebagian untuk memberi komentar lebih awal. Pertanyaan terbanyak terkait pentingnya wawasan.
Sebenarnya, dengan pernyataan berbeda, banyak orang telah mengatakannya dan bahkan mengkampanyekannya, dan saya juga demikian sering mengajak untuk rajin membaca. Himbauan membaca didengungkan di mana-mana, terlebih didukung dengan Gerakan Literasi Nasional. Ya, membaca dalam arti luas—yakni membaca ayat-ayat tertulis dan ayat-ayat tak tertulis—ini menyebabkan wawasan kita menjadi luas dan dalam.

Menulis di depan rak buku agar tetap bersemangat. Foto: Dok Pribadi
Wawasan yang luas berarti wawasan kita makin banyak ragamnya, ibarat dunia persilatan kita menambah jurus atau aliran persilatan yang musti kita latih dan kuasai. Selain itu, wawasan kita juga perlu mendalam, artinya banyaknya ragam wawasan itu perlu diperdalam dan dikuatkan pemahaman dan penguasaannya di dalam diri kita.
Perpaduan keluasan dan kedalaman wawasan itu akan menjadi tambahan perbendaharaan bekal pengetahuan (prior knowledge) dalam diri kita. Bekal pengetahuan ini menjadi gudang pengetahuan yang tersimpan dalam memori otak, sehingga memungkinkan akan bisa dipanggil sewaktu-waktu oleh pemiliknya. Digunakan untuk apa? Mungkin untuk berpikir, berkarya, maupun bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, kalau prior knowledge kita luas dalam diri kita, maka pantaslah bagi kita seandainya kita ambil sebagian untuk berkarya, misalnya. Kalau kita tahu banyak tentang politik, maka pantaslah kalau kita mengambil pemahaman atau penguasaan kita tentang kerangka teoretik tertentu untuk membedah isu politik saat ini. Sebaliknya, jika kita tidak tahu tentang politik, bagaimana mungkin kita memanggil pengetahuan di dalam gudang memori kita.
Jika kita memiliki wawasan luas dan dalam, tinggal menemukan pemicu (trigger) tertentu, maka akan hadir inspirasi. Sekali lagi, jika kita tahu banyak tentang ilmu politik, lalu pagi ini kita membaca surat kabar yang isinya tentang kenaikan suhu politik tanah air menjelang pilpres 2024, maka kita akan menangkap inspirasi tertentu. Membaca dan menemukan isu politik di surat kabar, itu merupakan pemicu, yakni pemicu untuk membangkitkan konsep dan kerangka teoretik dalam pikiran kita. Muncullah inspirasi menulis tentang kontestasi politik, misalnya.
Tentang inspirasi ini telah saya rumuskan dalam buku saya Rahasia Top Menulis (Elex Media Komputindo, 2014). Di dalam buku itu, saya mengajukan rumus, bahwa “inspiration is equal to prior knowledge and a trigger” (inspirasi itu merupakan bekal pengetahuan/wawasan dan sebuah pemicu/pemantik. Semakin banyak bekal wawasan seseorang, semakin banyak pula benih-benih inspirasi yang dihadirkan. Begitu pula sebaliknya.
Hal itu menjelaskan fakta-fakta menarik tentang penulis-penulis berpengalaman yang selalu dirubung ide ke mana pun pergi. Bahkan ketika mandi pun, bagi pemilik wawasan luas-dalam, dia dihadiri inspirasi. Sebaliknya, ada juga orang yang selalu berkeluh kesah seperti frustasi akibat mengalami kesulitan yang amat sangat untuk menemukan inspirasi menulis.
Faktanya bagi kita penulis serta kabanyakan masyarakat kita adalah bahwa kita tidak suka membaca. Kita tidak suka membaca teks buku atau apa pun yang mendatangkan kelimpahan wawasan dan pengetahuan. Kita menjadi masyarakat yang terburu-buru, dan kita hanya membaca yang permukaan-permukaan saja. Kita tidak tergerak untuk menyelaminya. Jangankan menyelaminya; membaca dengan komprehensif saja tidak diamalkan.
Kita sudah tahu “ilmu”-nya ya seperti itu. Ingin tulisan kita bagus dan penuh informasi baru serta bergizi? Kita tahu bahwa kita harus banyak membaca, mengamati, menjalani pengalaman hidup sepenuhnya. Tak terbantahkan lagi! Semua orang dari kita sudah tahu itu. Namun, untuk mengamalkannya, kita ditaklukkan oleh kemalasan yang sangat digdaya. Kita selalu ditaklukkan oleh kemalasan, sehingga kita berlomba membuat alasan atau kilah untuk tidak membaca. Akibatnya, mohon maaf, kita menjadi penulis yang miskin hal-hal baru di mata pembaca.
Maka, mulai sekarang, tiada pilihan lain lagi: Kita wajib berikrar di dalam hati untuk mengamalkan membaca (dalam arti luas) setiap hari. Bacaan apa pun, silakan pilih sendiri. Mungkin condong teks tertulis, mungkin pula teks tak tertulis. Yang mengukur kecukupan memori dan kemendesakan ilmu adalah masing-masing dari kita sendiri. Tiada paksaan dalam menuntut ilmu yang mana. Namun, harus ada paksaan membaca dalam arti luas untuk menambah wawasan kita.
Lebih dari itu, akan lebih bijak pula jika kita membaca bahan-bahan yang bernuansa kebaikan dan kebenaran. Jangan membaca bahan-bahan sampah. Mengapa? Ada pakar menulis yang menulis begini: “If you read good books, when you write, good books will come out of you.” (Jika Anda membaca buku bagus, maka ketika Anda menulis, buku-buku bagus akan keluar dari Anda.) Analoginya, jika kita suka bacaan-bacaan cabul alias sampah, bukan hanya pikiran kita yang diracuni sampah percabulan, malinkan juga tulisan kita tidak akan mengandung kebaikan/kebenaran.
Sekarang, setelah mengikuti uraian singkat di atas, apakah kita belum insyaf tentang semua ini? Jika ingin menjadi penulis serius, mari amalkan pesan judul di atas: Sekarang atau tidak sama sekali! Lima tahun lagi akan kita lihat bukti keputusan kita masing-masing.[]
Gresik, 17 Maret 2023
Baca juga:
- Keterpengaruhan dalam Menghasilkan Karya Kreatif
- Heroisme Amarendra/Mahendra dalam Kisah Epos Baahubali 2: The Conclusion (2017)
- Pentingnya Figur Idola bagi Penulis
Luar biasa Pencerahannya. Matur nuwun Abah. Siap
Sami2, Abah Inin.
Menulis, jika membaca membaca tulisan ini, sepertinya bukan lagi menjadi hal yang sulit. Tinggal 1 kata, mau!
Siap, siap
Semakin menulis semakin sadar betapa pentingnya membaca, semakin sadar semakin banyak yg tidak diketahui.
Betul sekali, begitulah adanya
Subhanalloh, tulisan yang selalu bergizi.
“Semakin banyak bekal wawasan seseorang, semakin banyak pula benih-benih inspirasi yang dihadirkan. Begitu pula sebaliknya.”
Pernyataan paling kusuka! Selalu mengingatkan dan menjadi bahan refleksi untuk terus membaca dan menulis. Terimakasih Pak!
Mudah2an bermanfaat, Bu Mimin
Semakin sadar bahwa diri sangat kurang membaca. Terima kasih master inspirasinya.
Mari terus meluangkan waktu untuk membaca
Sekarang, setelah mengikuti uraian singkat di atas, apakah kita belum insyaf tentang semua ini?
Sudah mulai insyaf, Suhu. Mulai memahami bahwa untuk menulis dengan baik, membaca adalah “koentji”.
Betul sekali, membaca adalah koentji
selamat malam pak … ulasan menarik dan mencerahkan
Terima kasih