Oleh Much. Khoiri
SEMAKIN ke sini saya semakin yakin bahwa tidak ada karya kreasi manusia murni 100% orisinal, sebab tidak ada manusia yang berkarya dari nol. Orang berkarya karena dia memiliki ide matang yang harus diekspresikan, dan untuk sampai di situ dia telah punya inspirasi berkarya tersebab telah memiliki bekal pengetahuan (prior knowledge) dan mendapat stimulus sebagai pemicu (trigger).
Dengan kata lain, inspirasi (yang kemudian menjadi embrio karya) hadir pada seseorang ketika dia memiliki bekal pengetahuan tentang sesuatu dan kemudian mendapatkan pemicu yang tepat. Bekal pengetahuan itu sendiri telah diperolehnya dari membaca, mengamati, berbincang dengan orang lain, dan sebagainya.

Gambar: iNews.id
Orang yang tidak memiliki bekal pengetahuan tertentu tentang sesuatu, misalnya perpajakan, dia tidak akan terinspirasi spesifik tentang perpajakan itu sendiri meski dia membaca berbagai informasi tentang pajak. Jika diminta untuk berbicara atau menulis tentang dunia perpajakan, ucapan atau tulisannya pasti tidak ada isinya alias nyampah. Maka, membaca, mengamati, berbincang dengan orang lain, dan sebagainya membuat dia potensial terinspirasi dan sekaligus terpengaruh.
Jadi, setiap penulis akan mengalami keterpengaruhan dalam berkarya kreatif. Setiap penulis akan “meminjam” atau “menggunakan” sebagian ide penulis lain dalam menghasilkan karyanya. Dalam dunia akademik, penulis demikian disebut telah mensitasi penulis (author) lain. Dalam dunia kreatif, penulis demikian—saya kira lebih tepat dikatakan—telah “terpengaruh”.
Kalau dalam dunia akademik, ada cek similaritas (dengan Turnitin, misalnya) untuk memeriksa seberapa persen kemiripan (bukan perbedaan) dengan karya lain. Pengecekan ini kerap dikenal dengan istilah ‘cek plagiasi’—padahal yang dicek bukan tingkat perbedaannya, melainkan tingkat similaritasnya. Dengan mengetahui tingkat similaritasnya, orang atau lembaga bisa membuat keputusan bahwa tingkat plagiasinya tinggi atau rendah. Misalnya, mahasiswa yang skripsinya memiliki similaritas 10%, maka tingkat plagiasinya cukup rendah, dan dia boleh maju ujian.
Nah, bagaimana dalam dunia karya kreatif? Apakah perangkat Turnitin juga diterapkan dalam karya-karya sastra seperti novel, puisi, drama, atau jurnalisme sastrawi? Sejatinya, amat mungkin perangkat Turnitin diterapkan untuk melacak tingkat similaritas karya kreatif seseorang. Namun, praktik itu tidak selalu digunakan untuk mengetahui orisinalitas karya kreatif. Padahal, ini seharusnya juga dilakukan, sebagaimana yang berlaku bagi karya-karya akademik.
Namun, ada satu hal penting dalam dunia kreatif yang tidak bisa dideteksi dengan perangkat pelacak semacam Turnitin. Yakni, penulis kreatif menulis karya yang terinspirasi dalam tataran ide atau struktur penulisannya. Karena ini bergerak dalam tataran ide atau struktur penulisan yang intangible (abstrak, imaterial, tak terlihat, tak tersentuh), bagaimana membuktikan kemiripan karya seorang penulis dengan karya penulis lainnya.
Pernah penyair Chairil Anwar dituduh bahwa puisinya “Karawang Bekasi” merupakan karya plagiasi atau penjiplakan dari puisi penyair Amerika Serikat Archibald MacLeish “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”. Hal ini menjadi perbincangan lama dalam dunia sastra Indonesia, meski HB Jassin menulis “…meskipun karyanya itu terbilang mirip tapi tetap ada rasa Chairil di dalamnya.” Demikian pula, ada novelis yang konon menjiplak dari novel Stephen Crane The Red Badge of Courage. Boleh saja tudingan semacan itu bersifat politis, tetapi itu benar-benar terjadi dalam dunia sastra Indonesia.
Tulisan ini tidak hendak membuka kembali polemik tersebut. Sebaliknya, tulisan ini menegaskan bahwa plagiarisme karya itu menyangkut bentuk material (tangible) yang dibuktikan kebenarannya. Plagiarisme ya tetap plagiarisme. Namun, jika proses kreatif penulis berada dalam tataran ide dan struktur dasar yang intangible, itu lebih layak dikatakan sebagai keterpengaruhan, dan layak ditoleransi.
Itulah sebabnya di atas saya katakan bahwa penulis kreatif pada dasarnya mengalami keterpengaruhan oleh penulis lain—kecuali dia benar-benar menulis karya yang ide dan struktur luarnya memiliki kesamaan atau kemiripan tinggi dengan karya penulis lain. Sekali lagi, keterpengaruhan itu ada dalam tataran ide atau struktur dasar penulisannya.
Ketika saya menonton film laga kolosal India berjudul Baahubali: The Beginnging (2015) dan Baahubali: The Conclusion (2017), semula saya bertanya-tanya dalam hati, “Sepertinya ada yang mirip antara tokoh-tokoh film ini dengan tokoh-tokoh Mahabharata dan Ramayana. Tapi yang mana yang mirip ya?” Setelah menonton, saya dengan penuh semangat tergerak untuk melacak berbagai sumber, dan menemukan jawaban atas rasa penasaran saya tersebut.
Ternyata benar, untuk menulis film-film tersebut, Vijayendra Prasad, penulis cerita dan ayah sutradara Rajamouli, menggambarkan Sivagami sebagai bayangan Dewi Kunti (ibunda Pandawa) dan Kaikeyi (ibunda Rama), dan Devasena sebagai sosok pejuang wanita seperti Dewi Sinta (istri Rama) yang menyimbolkan dedikasi, pengorbanan-diri, keberanian, dan kesucian.
Sementara itu, tema heroisme mirip dengan tema dalam Ramayana dan Mahabharata. Amarenda Baahubali mirip sekali dengan Shri Rama dalam Ramayana, sedangkan Bhallaladeva mirip dengan Duryodana dalam Mahabharata. Lalu, Bijjaladeva (ayah Bhallaladeva, suami Sivagami) merupakan representasi Sangkuni tokoh pintar tapi licik dalam epos Mahabharata; sementara kematian Bhadrudu dalam film ini mirip kematian Jayadrata dalam Mahabharata. Amarendra/Mahendra, diperankan oleh Prabhas, merupakan tokoh campuran lima Pandawa.
Sementara itu, film Baahubali 2 ber-setting daerah pedesaan dan pegunungan India tatkala Mahendra tinggal dan dibesarkan Sanga. Juga setting kerajaan Mahismati yang sangat megah. Kemegahan ini mengingatkan kita pada film perang yang sangat terkenal, yakni Troy (2004); sementara adegan-adegan laganya mirip dengan film-film China seperti Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) atau Monggol: The Rise of Gengis Khan (2007).
Pertanyaannya, apakah dengan kemiripan dari tataran ide, termasuk penciptaan karakter tokoh tersebut, merupakan plagiasi berkat inspirasi yang hadir karena Vijayendra Prasad telah membaca atau menonton karya-karya sebelumnya? Agaknya istilah katerpengaruhan lebih bersahabat dari pada plagiasi, sebab secara material (baik ide maupun struktur) tidak bisa dibuktikan secara jelas.
Pertanyaan selanjutnya, apakah praktik demikian sah dalam proses kreatif? Paparan di atas telah berupaya menjawab pertanyaan ini, termasuk contoh kasus penciptaan dan produksi film Baahubali 1-2. Syaratnya, dalam berkarya, penulis seharusnya tetap memegang integritas dan tanggungjawab sebagai penulis yang berpegang pada keadilan dan kebenaran. Mau tidak mau, dalam istilah Gol A Gong, “pada akhirnya, penulis mengabdi kepada pembacanya” secara bijaksana.[]
Gresik, 12 Maret 2023
Betapa pentingnya integritas, keadilan dan kebenaran yg dimiliki seorang penulis untuk menjaga batas keterpengaruhan atau plagiasi sebuah karya kreatif.
Betul sekali. Kita mesti menjadi penulis dan manusia yang punta integritas
Sangat setuju Abah jika disebut keterpengaruhan itu masihbisa ditoleransi…..karena banyak membaca karya seseorang maka karya kita jadi terpengaruh….tapi tidak menjiplak….
Saya kngat pesan penyair Jakpin….untukmembuat puisi yang baik banyaklah membaca karya penyair lainnya…..jangan bersifat ceramah tapi.isinya lebih mengajak merenung.. Saya sendiri saat ini sangat terpengaruh sajak putiba Tengsoe Tjahjono setelah membaca buku terbaru beliau Pelajaran Menggambar Bentuk. Kumpulan putiba disamping tetapmembaca karya Pak Endang K untuk membuat puisi 2.0. Alhdulillah tulisan Abah Khoiri mengingatkan satu hal ini dan saya bersyukur bisa merasakan belajar sesuatu setelah membaca. SALAM
Makasih atas komentarnya, Pak Har
Terima kasih Pencerahannya Bah. Pasti Penulis pemula sanagt terpengaruh pada mentor dan karyanya dan buku-buku yang digandrunginya
Leres sangat, karena itu kita harus selalu belajar menemukan gaya menulis kita snediri
Keterpengaruhan membuktikan ia belajar dalam meningkatkan kreativitas. Setuju sekali Pak.
Betul sekali, Bu Mien
Sumber tulisan terpatik setelah resensi film menjadi suatu pembelajaran yang sangat bermanfaat.
Belum sempa tlihat filmnya. Pak Yudi kemarin saya sapa saat rehat, “liat apa?” Jawabnya, “Film yang diresensi Master!”
Hehehe
Matur nuwun pak Usdhof
Makasih sharing tulisannya Prof. Emcho. Kadang penulis pemula terpengaruh atau terbawa tulisan seniornya. Seperti saya kadang membaca2 karya para guru hebat RVL jadi bisa memantik munculnya ide dalam tulisan saya. Maklum masih belajar.
Terima kasih
Sah saja kita meneladani penulis yang berpengalaman