Oleh Much. Khoiri
TULISAN memiliki kekuatan mempengaruhi pikiran masyarakat, yang pada gilirannya mampu menggerakkan individu, komunitas, dan masyarakat untuk menggelar aksi sosial. Setidaknya, tulisan mampu mengubah mindset pembacanya sedemikian rupa sehingga pembaca mengalamai perubahan tertentu.
Saya tidak akan membahas tulisan-tulisan karya tokoh dunia seperti The Republik (Plato), The Rights of Man (Thoman Paine), Democracy in America (Alexis de Tocqueville), The Communist Manifesto (Carl Marx & Friederich Engels), The Wealth of Nation (Adam Smith), Orientalism (Edward Said), atau The Complete Works (William Shakespeare). Saya juga tidak akan membahas karya tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, dan sebagainya.

Sumber gambar: Dok Pribadi
Saya hanya akan menyampaikan the power of writing dari tiga dari tulisan saya selama ini yang memiliki dampak sosial. Cara kerjanya, saya yakin, sama dengan bagaimana buku-buku tingkat dunia mendampaki pembaca di berbagai belahan bumi ini, yakni mulai mempengaruhi mindset dan kemudian berubah menjadi aksi sosial dari tataran kecil ke tataran luas. Meski demikian, dampak tulisan saya hanya kecil saja—namun mengajarkan bahwa, di luar dugaan penulis, tulisan memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran dan tindakan manusia lain.
Pertama, sekitar tahun 2012-2013, pada suatu hari Harian Surya melaporkan, di sebuah hotel akan segera di-launching sekolah khusus untuk mereka yang berorientasi gender khusus. Ini berita yang akan menghebohkan Surabaya khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Hanya dalam hitungan hari. Maka, segera saya menulis artikel opini yang (lebih-kurang) berjudul “Sekolah Khusus LGBTQ: Stigmatisasi dan Destigmatisasi?” Artikel saya tawarkan ke redaksi dan diterima untuk dimuat. Esoknya, artikel opini dimuat di rubrik opini.
Ternyata, di luar dugaan, pada menjelang dan saat launching sekolah tersebut, terjadi demo besar di lokasi hotel tersebut. Menurut berita yang saya ikuti, para demonstran menuntut agar pembukaan sekolah bergender khusus itu dibatalkan. Banyak tokoh masyarakat juga berpendapat. Singkat cerita, sekolah khusus itu akhirnya batal diluncurkan. Telusur punya telusur, tulisan opini di atas telah “memantik” kesadaran masyarakat untuk melakukan aksi.
Kedua, ini skala sangat kecil, namun ini urusan mengubah mentalitas manusia. Tahun 2013 saya memiliki mahasiswa yang sangat menggemaskan, bukan bimbingan skripsi saya sebenarnya, tapi mahasiswa yang saya uji skripsinya. Waktunya dia revisi dia tidak datang, bahkan saya telpon, email, dan sebagainya tidak juga datang. Meski sudah berjandi akan datang konsultasi pun, ternyata dia membatalkan. Padahal, deadline menjelang yudisium sudah dekat. Saya lebih panik dari pada dia sendiri.
Akhirnya, saya tulis pengalaman itu di kompasiana.com dalam artikel berjudul “Mahasiswa yang Menggemaskan” (*kemudian artikel ini saya himpun dalam buku Jejak Budaya Meretas Peradaban, 2014). Sudahlah, saya pasrah pada keadaan—hanya tersisa harapan bahwa tulisan itu dibaca oleh dia atau temannya sehingga pesan dalam tulisan itu sampai padanya. Singkat cerita, dua hari kemudian mahasiswa ini menemui saya dan tiba-tiba bersujud minta maaf atas apa yang dilakukannya. Konsultasi revisi akhirnya berjalan lancar. Kemudian, dia lulus dengan baik, dan pengalaman itu memberi pelajaran khusus padanya.
Ketiga, pada bulan Januari 2015, saya menyaksikan untuk kesekian kalinya, ada kawanan sapi yang dibiarkan merumput di atas makam Gading Pasuruan. Sapi-sapi itu ternyata hanya ditali dengan tampar sepanjang 10 meteran, sehingga mereka bisa merumput untuk radius 10 meteran itu. Akibatnya, tak sedikit nisan yang terinjak dan patah. Boleh dibilang tidak ada kesan keramat untuk sebuah makam yang menampung jenazah warga sekecamatan. Akhirnya, saya foto sapi-sapi itu, termasuk jejak-jejaknya yang aneh, termasuk nisan-nisan yang patah. Kemudian, saya mengunggahnya ke kompasiana: https://www.kompasiana.com/much-khoiri/54f370837455139d2b6c75f1/kawanan-sapi-di-atas-makam-gading-pasuruan. Selain itu, saya berkirim surat ke pemda setempat.
Ternyata dampaknya sangat mengejutkan. Pemda setempat langsung menyampaikan akan membuat pagar sepanjang makam di sisi utara—kira-kira sepanjang 250 meter. Dan betul, dalam bulan-bulan selanjutnya pembangunan pagar dijalankan hingga tuntas. Sekarang, boleh dibuktikan, selain pagar makam yang sudah rapi dan bagus, kini tidak ada lagi sapi yang berkeliaran di atas makam. Pemda agaknya telah mengambil tindakan terkait hal itu.
Tiga kasus di atas, terus terang, membuat saya lega. Sejak semula saya berikrar bahwa saya menulis untuk kebaikan dan kebenaran, serta memperjuangkannya. Dengan demikian, tulisan saya manfaatkan untuk media perjuangan kebaikan dan kebenaran. Nah, ketika sebagian perjuangan sudah menampakkan hasilnya, siapa yang tidak merasa bahagia dan lega? Tentu saja, perjuangan tidak berhenti sampai di situ, masih ada perjalanan panjang yang di sana ada yang harus disikapi dan diperjuangkan.
Saya di sini tidak membahas buku-buku saya Much. Khoiri dalam 38 Wacana (2016), Virus Emcho: Berbagi Epidemi Inspirasi (2017), dan Virus Emcho: Melintas Batas Ruang Waktu (2020)—ketiga menghimpun tulisan para sahabat penulis tentang saya, buku-buku saya, dan kaitannya dengan proses kreatif mereka. Saya hanya ingin menandaskan bahwa tulisan kita pastilah memiliki pengaruh bagi masyarakat, seberapa pun pengaruhnya. Bisa saja pengaruhnya berhenti pada perubahan mindset, bisa pula mengarah ke perubahan sosial. Kita percaya, tulisan kita akan memiliki nasib terbaiknya.*
Gresik, 30 Desember 2022
Baca juga:
Enak sekali tulisannya. Penuh makna. Terimakasih, Prof.
Matur nuwun, Mas Agung.
Luar biasa master tulisannya bisa mengubah perubahan sosial. Terima kasih ilmunya
begitulah, b ayu, saya menulis, dan ternyata tulisan memberikan dampak sosial tertentu.
Kalau sudah menjadi kebiasaan menulis,momen apa saja bisa untuk Master Emcho bisa dijadikan sebuah karya yang menarik untuk dibaca.Terimakasih Master semoga semoga sehat selalu
Terima kasih, Pak Anton, yang selalu hadir dalam memberikan apresiasi. Selamat berkarya.
Mantap tulisan yang membawa dampak positif serta kebaikan bagi masyarakat. Baarakallah Pak Emcho. Makasih ilmunya
Matur nuwun sanget, Bu Sri. Sehat selalu