Oleh Much. Khoiri
BELUM lama ini saya memposting artikel di weblog saya yang berjudul “Menjadi Penulis Rajawali”. Seperti biasa, artikel saya ditanggapi teman-teman penulis yang loyal dan fanatik. Kebanyakan tanggapan sangat menarik. Salah satunya tanggapan yang memulai dengan apresiasi.
Apresiasi penulis itu berbunyi berikut ini: “Ide yang bagus diolah dengan kemampuan yang mumpuni jadi tulisan yang punya pesona sangat menarik. Kaya bahasa dan bertabur hikmah. Tulisan-tulisan Much Khoiri selalu menjerat saya membaca dan membiarkan diri saya terbawa sampai akhir goresan.”

Mengetik (drafting) itu hanya proses final menulis. Foto: IFrance Pro.
Kemudian, lewat WA komunitas, yang bersangkutan menyatakan penasaran untuk mengetahui bagaimana saya menjalani proses menulis, khususnya proses mengetik tulisan yang saya hasilkan. Dalam hal ini, saya menanggapi bahwa menulis bukan sekadar menuangkan gagasan tanpa nalar yang teratur. Jika nalarnya benar, proses menulis bisa cepat tanpa mengurangi kualitas ide dan bahasa.
Pada kesempatan lain, saya sampaikan, bahwa proses menulis itu bukan hanya saat menuangkan gagasan dengan mengetiknya, melainkan juga meliputi kegiatan-kegiatan pra-menulis. Ketika kita memikirkan apa yang ditulis dan bagaimana menulisnya, itu sudah termasuk kegiatan menulis. Terlebih, jika kegiatan berpikir di sini sudah mencapai tingkat kematangan tulisan.
Jika kegiatan berpikir tentang apa dan bagaimana menulis sudah matang dalam pikiran, sejatinya mengetik tulisan itu hanya kegiatan eksekusi final saja. Artinya, sesungguhnya bangunan substansi tulisan sudah selesai dalam pikiran kita; dan mengetik hanyalah finalisasi. Itulah mengapa saya sering mengatakan, bahwa saya telah menulis di dalam pikiran.
Memang, saya perlu menunda memuaskan rasa penasaran penulis di atas untuk mendemonstrasikan bagaimana saya mengetik, sebab saya harus menunggu datangnya momentum pertemuan dengan yang bersangkutan. Namun, saya bisa menjelaskan secara tertulis tentangnya, terutama terkait artikel saya “Menjadi Penulis Rajawali” tersebut.
Terus terang, sebelum mengetik artikel tersebut, di sela-sela kesibukan, saya telah memikirkan dalam-dalam bagaimana logika atau nalarnya, mengapa penulis harus menjadi seperti rajawali. Saya simbolkan penulis yang tangguh dan gigih seperti burung rajawali, yang mampu terbang tinggi, melihat bumi dari atas kejauhan. Sementara, ada burung yang paling usil, yakni burung gagak. Burung gagak pastilah akan mengganggu rajawali kalau bertemu. Itu peristiwa alam yang alamiah.
Nah, pralambang itu saya pikirkan untuk menyimbolkan penulis gigih sebagai rajawali, sedangkan gagak merupakan gangguan. Gagak yang biasa mengganggu dengan mematuki kepala rajawali hanya dibiarkan saja oleh rajawali, sebab rajawali tahu bahwa hanya itulah kemampuan gagak. Maka, rajawali meningkatkan ketinggian terbangnya, makin tinggi dan lebih tinggi. Pada saat beginilah, burung gagak tidak mampu mengganggu rajawali, sebab ia malah terjatuh oleh ulahnya sendiri dan ketidakmampuannya terbang tinggi.
Kemudian, pralambang itu saya kaitkan dengan bagaimana kemahiran menulis dapat diraih oleh penulis. Penulis rajawali adalah penulis gigih, tangguh, yang tidak usah terlalu memperhatikan gangguan-gangguan yang menyerangnya, terlebih dari orang-orang yang tidak mengalami menulis. Penulis rajawali sudah tahu bahwa gangguan-gangguan itu akan melemahkan dia jika dia fokus pada gangguan. Maka, dia putuskan untuk mengabaikannya dan menaikkan kapasitas dirinya.
Nah, proses pramenulis semacam itu sudah saya selesaikan di dalam pikiran. Ibaratnya, tulisan sudah jadi di dalam pikiran. Dengan demikian, ketika menulis draf (drafting), saya bisa melakukannya dengan cepat—ibaratnya, “memindahkan” tulisan yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk tulisan. Proses mengetik artikel tersebut akhirnya saya selesaikan dalam waktu tak lebih dari satu jam (60 menit). Di samping itu, saya telah mendidik diri selama dua tahun untuk menulis dengan cepat (speed writing).
Pertanyaannya, apakah saya selalu menghasilkan tulisan yang relatif baik—sebutlah seperti “Menjadi Penulis Rajawali”—dalam waktu maksimum satu jam? Jawabnya tegas: tidak! Saya bisa menulis cepat dengan hasil yang relatif baik, dengan syarat saya telah “menyelesaiknannya” di dalam pikiran. Jika belum selesai dalam pikiran, saya bisa saja menyelesaikan sebuah tulisan, namun kualitasnya mungkin tidak bisa diandalkan—kecuali jika saya sedang menerima keajaiban: misalnya saat saya drafting buku SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016) hanya dalam 9 (sembilan) malam. Itu keajaiban!*
Makassar, 26 Desember 2022
Baca juga:
Terima kasih Master 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Barakallah, terima kasih
Terima kasih ilmunya Master Emcho. Barakallahu fiik umrik. Semoga Allah ta’ala memberkahi umur panjenengan. Aamiin Yaa Robbal’alamin
Aamiin YRA
Subhanallah..benar-benar penulis Rajawali. Terima kasih ilmunya master. Semoga selalu sehat
Masih belajar menjadi penulis rajawali
Menulis perlu nalar dan pikiran yang matang untuk ditumpahkan dalan tulisan, terima kasih ilmunya pak.
Betul sekali, tidak bisa terburu2
Masya Allah.. Semakin saya ngeh. Bahwa proses berfikir secara rasional itu intinya kita sudah melalui tahapan sebagai penulis tinggal finishing diketik. Padahal aslinya kita sering muncul ide bagus dan menyusunnya dalam alam pikiran namun sayang menguap karena tidak diabadikan menjadi karya tulis yang manfaat. Matur nuwon Abah Khoiri.. Semoga njenengan makin manfaat menginspirasi kami untuk berkarya. Barakallah..
Begitulah seharusnya, Bu Yanti
Testing
Mantaps