Oleh Much. Khoiri
FILOSOF Plato menuliskan pemikiran-pemikiran Socrates, gurunya. Dalam tulisannya jua, Plato memberikan kritik-kritiknya terhadap pemikiran gurunya dan menuangkan pemikiran sendiri. Dari tulisan-tulisan Plato para cendekiawan melakukan penelaahan dan rekonstruksi pemikiran Socrates.
Ini sebuah persembahan indah seorang murid untuk sang guru. Andaikata Plato tidak menuliskan pemikiran-pemikiran Socrates, Socrates akan tenggelam dalam sejarah filsafat Yunani, bahkan dunia. Tanpa perantara tulisan Plato, kebijaksanaan-kebijaksanaan Socrates untuk masyarakat Athena hilang ditelan zaman.
Judul buku | Kepala Bukan Ekor: Kenangan Ketika Ayah Mendidikku |
Penulis | Telly Dachlan |
Penerbit | Gora Pustaka Indonesia, Makassar |
Tahun | April 2019 |
Ukuran | 13 x 20,5 cm |
Tebal | xiv + 170 hlm |
ISBN | 978-602-51146-8-7 |
Masyarakat Athena dan dunia menjadi paham tentang kebijaksanaan dan pemikiran Socrates berkat tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh Plato. Kekuatan tulisan membuktikan, sehebat apa pun manusia, dia akan hilang dalam sejarah jika pemikirannya tidak dituliskan. Kita sebagai penikmat dan pembelajar filsafat tidak akan mengenal Socrates andaikata dulu Plato tidak pernah menulis tentang pemikiran dan kebijaksanaannya.
Dalam perspektif yang hampir sama, Telly D—nama pena dari Daswatia Astuty, penulis purnatugas yang tetap berjiwa muda—bertindak seperti seorang Plato. Namun, konteksnya berbeda. Jika hubungan Socrates dan Plato adalah hubungan guru dan murid; maka hubungan Telly D dan Puang Bapak (tokoh yang disebut “ayah” dalam buku ini) adalah putri dan ayah. Jika Socrates dan Plato dihubungkan oleh ikatan pemikiran filsafat; Telly D dan Puang Bapak oleh ikatan pendidikan karakter-karakter baik dalam keluarga.
Meski demikian, bagaimana peran tulisan dalam memanifestasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan Socrates dan Puang Bapak hakikatnya adalah sama. Jika Plato menggunakan tulisan untuk mengabadikan pemikiran dan kebijaksanaan Socrates; demikian pula Telly D. Tentu saja, bagaimana gaya tulisan dan apa saja yang disampaikan, berbeda antara keduanya—tentu karena berasal dari sumber pengetahuan yang berbeda.
Telly D, dalam buku Kepala Bukan Ekor: Kenangan Ketika Ayah Mendidikku ini, mengangkat serangkaian “kenangan seorang anak yang menaruh hormat setinggi-tingginya kepada sang ayah, pahlawan kehidupannya, yang nyaris sempurna menanamkan pendidikan karakter kepadanya sejak usia belia,” begitu tulis Prof. Muhadjir Effendy (hlm. v), Mendikbud RI kala itu. Sebuah statemen yang tepat.
Pembaca mungkin tidak mengenal siapa Puang Bapak (Muhammad Dachlan), tetapi lewat tulisan-tulisan Telly D pembaca dapat mengenalnya dengan baik. Telly D dalam prakatanya menulis: “Ayah telah membuktikan dirinya sebagai seorang pendidik yang luar biasa. Ayah selalu mengingatkan agar tenang dalam berbicara, agar memberi kesempatan orang lain untuk mendengar dan meresapi apa yang aku ucapkan.” (hlm. vi).
Itulah rupanya karakter sentral yang hendak ditanamkan, yakni karakter leader (pemimpin). Ternyata benar, penanaman karakter leader ini dipraktikkan sejak belia terhadap Telly D—orangtua selalu mendorongnya menjadi ketua di sekolah dan di berbagai organisasi. Leader harus tenang berbicara, memberi kesempatan orang lain mencernanya, dan bahkan memberinya kesempatan berbicara.
Penanaman jiwa leader itu diabadikan dalam buku pada judul buku yang diambil dari salah satu artikel di dalamnya “Kepala Bukan Ekor” (hlm. 113-128). Dalam artikel “Kepala Bukan Ekor” ini terpantul harapan orangtua kepada Telly D untuk menjadi yang terbaik, tampil di depan dalam kebaikan. Perubahan ke arah kebaikan hanya bisa dilakukan jika seseorang dalam sebuah komunitas tampil sebagai leader. Dan semua itu telah dibuktikan Telly D dengan menjabat beberapa tugas strategis sebelum purnatugas.
Dalam artikel tersebut, Telly D mengakui, bahwa Puang Bapak telah menanamkan karakter sebagai manusia berkualitas: (1) keyakinan yang sangat kuat, (2) memiliki mimpi untuk sukses, (3) pilihan pemenang, (4) kemampuan mengelola emosi dan mengambil tindakan, dan (5) mengubah kegagalan menjadi pengalaman belajar.
Bahkan, sejak bagian awal buku, Telly D telah mengagungkan sang ayah dengan artikelnya “Pesona Ayahku”, dengan gambaran-gambaran yang penuh kekaguman, bagaimana Puang Bapak telah hadir mendidik dengan sangat baik. Dalam bahasa Prof Muhadjir Effendy: “Sang ayah selalu punya waktu menemani, membimbing, dan menitipkan pesan baik lewat kata maupun perbuatan…termasuk menanamkan disiplin.” (hlm. v). Sangat indah, bukan?
Dari artikel pertama itu, Telly D menuturkan bagaimana Puang Bapak menjawab dengan kebijaksanaan atas pertanyaan “Kenapa Aku Tidak Dilahirkan Cantik, Ayah?” Hidup adalah anugerah, yang harus disyukuri apa adanya. Justru rasa syukur harus diewujudkan dengan perjuangan. Ini tercermin dalam artikel “Kibarkan Bendera! Jadilah Petarung Sejati!” Hidup adalah perjuangan, dan perjuangan harus dimenangkan.
Kebijaksanaan-kebijaksanan Puang Bapak juga diungkapkan dalam artikel-artikel Telly D selanjutnya, misalnya “Mengganti Kata Buta Huruf dengan Pandai Menghapal”, “Simponi yang Indah”, “Siapkan Jawaban sebelum Ditanya”, “Sang Pelatih Hebat”, dan “Ayahku Pemberani Sejati.” Semua artikel dituturkan dengan berkisah, ada penghayatan yang dalam saat mengisahkannya, sehingga jelas sekali apa saja kebijaksanaan Puang Bapak dalam menanamkan karakter-karakter baik.
Puang Bapak barangkali tidak pernah menyangka, bahwa apa yang dididikkan kepada Telly D akhirnya mengejawantah menjadi tulisan persaksian dan persembahan. Meski beliau pernah menanamkan betapa pentingnya pembiasaan menulis, mungkin beliau dulu tidak pernah berharap bahwa Telly D akan menulis tentang dirinya dan apa yang telah dilakukannya. Berbahagialah Puang Bapak memiliki putri yang mengabadikan kata dan perbuatannya ke dalam buku.
Hal ini persis apa yang dirasakan oleh Socrates. Tanpa diharapkannya, Plato akhirnya menuliskan pemikiran dan kebijaksanaan Socrates; demikian pula Telly D menuliskan kebijaksanaan Puang Bapak dalam menanamkan pendidikan karakter terbaik bagi keluarganya. Bisa dibayangkan bagaimana terharunya Puang Bapak menerima persembahan indah ini.
Terlebih pada lembar dedikasi buku ini Telly D menulis: “Buku ini saya dedikasikan sebagai wujud rasa syukurku memiliki ayah sebaik ayahku, pemilik hati seluas samudera tak bertepi. Terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu, ayah, aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku, dengan semua kemampuan terbaikku. Kasih sayangmu membuat aku hidup sesuai yang aku inginkan dan “bertuan” pada diriku sendiri.”
Sebagai epilog, saya sepakat dengan Prof. Mudhadjir, bahwa “buku ini menjadi penting karena kisah-kisah yang tertuang di dalamnya menjadi contoh konkrit pendidikan karakter di dalam sebuah rumah tangga.” Itulah mengapa saya merekomendasikan buku ini dibaca oleh siapa saja yang ingin menjadi manusia berkarakter seperti Puang Bapak dan Telly D.*
Gresik, 16 Desember 2022
Baca juga:
Jika kata tak mampu dilisankan lagi maka air mata dapat melakukannya dengan baik.
Saya terharu membacanya,
Kepala Bukan Ekor hanya tulisan sederhana sebagai kado ulang tahun utk ayah (Puang Bapak) dipublish hanya untuk kalangan terbatas, dilakukan tinjauan buku oleh Much Khoiri . Berapa membahagiakannya. Saya yakin Ayah juga akan sangat bahagia.
Terima kasih pak Khoiri memberi kami kebahagiaan yg sangat istimewa. Allah jugalah yg menggerakkan bapak utk melakukan dan memilih buku ini. . Tentu ada hikmah dibalik ini .saya yakin sekali . 🙏🏻🙏🏻🙏🏻 Usia ayah sekarang telah 93 tahun , tulisan ini menambah semangat hidup beliau.
Luar biasa. Ayah “Puang Bapak” telah menjadi tokoh idola panutan yang melegenda di jiwa raga putrinya. Baru resensi saja pembaca telah ikut tertambat hati dan pikirannya. Ayah “Puang Bapak” selayaknya juga menjadi role model ayah-ayah yang lain. Sehat selalu, Ayah.
Terima kasih atas apresiasinya, bu hajjah
Tersentuh membaca tanggapam ini. Terima kasih
Memang benar kata seorang professor dari Iraq, dosenku di Malaysia; Ibu adalah wanita terbaik bagi setiap anaknya. Betapa mulia tugas dan kewajiban orang tua. Terima kasih, Mr Emcho atas sharingnya..
Sehat selalu, Mas Aziz. Terima kasih telah mampir dan meninggalkan jejak.
Masya Allah resensinya bagus. Komplit dan berkesan. Menggambarkan penulisnya seorang muslimah yang bijak berkat didikan sang ayah–puang bapak–yang bijak dan berwawasan luas. Saya belum pernah bertemu Bu Telly, tetapi dari tulisan tersebut saya sedikit mengenal beliau. Barakallahu fiik
Bu Sita, terima kasih atas komentar bagusnya.
Ijin diprint resensinya Prof …
Biar bisa baca bolak balik persiapan eksekusi resensi buku.
Matur nuwun
Oke, monggo
Luar biasa Bu Telly D yg membagikan tulisannya tentang kehebatan ayah beliau mendidik dan memberi tauladan dan mempersiapkan anaknya menjadi seorang pemenang yang hebat bermanfaat banyak orang. Terima kasih Abah Khoiri yang telah meresensi denqan bagus sehinga pembaca tahu gambaran isi buku
“Kepala Bukan Ekor: Persembahan untuk Puang Bapak”.
Selamat Bunda Daswatia. Ingin sy memiliki bukunya.
Terima kasih banyak atas jejaknya, Abah Inin
Masya Allah.. ada kemiripan dengan sifat ayah saya, kebetulan juga namanya sama, ayah saya juga sangat perhatian terhadap pendidikan meski kami dalam kondisi terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidup.. namun kegigihan seorang ayah, Alhamdulillah sukses mengantarkan saya berkarier sebagai ASN, bahkan ada adek saya sukses jadi pengusaha.
Mudah2an Daeng Ardi juga menulis tentang sang Ayah.
Tulisan yang menggugah kesadaran pentingnya wujud pendidikan karakter di rumah. Dari penulis dan peresensi yang hebat bisa menunjukkan bukti itu
Terima kasih banyak, Pak Har.
jarang ada orang sampai berusia 93 tahun dan bermanfaat buat keluarga dan masyarakt sekitarnya. buku ini mengingatkan saya pada lagu ebiet g ade, sayang ayah sudah lama berpulang.
Doa terbaik untuk ayah Omjay. Aamiin
Luar biasa master resensinya . Menggirimg pembaca sepenuhnya menikmati bukunya. Mohon maaf resensi saya jauh dari sempurna. Ada tekad bulat untuk selalu belajar dari kesalahan.
Terima kasih banyak, Bu Ayu
Tulisan dan paparan yang inspiratif Pak
Terima kasih, P Pardi
Anak hebat, terlahir dari orang tua yang hebat pula.
Sangat percaya dengan kehebatan Ayahanda Bunda Telly seperti yang disampaikan peresensi.
Mantap….
Begitulah hukum alamnya
Baru membaca resensinya sdh gamblang tergambar isi bukunya. Hebat penulis bukunya dan peresensinya. Bravo Bu Telly D dan Mr. Emcho…Barakallah…
Matur nuwun, bu guru yang hebat.
Resensi buku yang luar biasa! Terimakasih Pak! Saya sedang mencari inspirasi bagaimana nanti resensi yang saya buat. Dengan pola perbandingan yang Bapak sajikan di samping ilmu tentang ilmuwan Socrates dan Plato, manfaat luar biasa dari isi resensi buku itu sendiri. Tak ada salah kata/huruf, Hebaaat! Barokalloh
Oke, Bu Mimin, silakan membuat perbandingan semacam itu.
Semakin menguatkan bahwa memang ada chemistry yang kuat antara ayah dan anak perempuan. Proses itu semakin menguat karena diberikan dalam bentuk habituasi di lingkungan keluarga.
Sepakat sekali, Pak Kepala
Call your healthcare provider right away or go to the nearest emergency room if you have any of the following symptoms, especially if they are new, worse, or worry you Attempts to commit suicide; acting on dangerous impulses; acting aggressive or violent; thoughts about suicide or dying; new or worse depression; new or worse anxiety or panic attacks; feeling agitated, restless, angry, or irritable; trouble sleeping; an increase in activity or talking more than what is normal for you or other unusual changes in behavior or mood buy priligy 60 mg
Consequently, studies conducted by Kyrou et al propecia help 2015 Mar 13; 16 3 5864 85