Oleh: Much. Khoiri
SEBELUM pengalaman buruk terkait pemotor knalpot brong baru-baru ini, yang akan saya abadikan ke dalam tulisan, sekian tahun silam saya pernah mengalaminya. Bahkan gerombolan pemotor, saat itu, melukai mobil saya “Xentuner” (Xenia rasa Fortuner) light blue akibat cakar gir mereka. Singkatnya, tujuh luka yang sempat menghias bodi kanan mobil saya itu harus saya serviskan. Hanya dalam sehari, dokter mobil telah membereskannya.
Sebelum diservis, tujuh luka telah menghuni seputar hendel pintu kanan. Tujuh goresan 25 cm itu disebabkan “cakar gir” gerombolan pesepeda motor (baca geng motor) knalpot brong. Saat itu, di tengah malam, sepulang kami dari silaturahmi di luar kota, mobil kami berpapasan dengan geng motor itu. Memenuhi jalan, knalpot dibleyer-bleyer, dan sedang meng-yel-yelkan sesuatu.
Maka saya sorotkan lampu dim; mereka bergeming. Saya sorot sekali lagi, agar mereka minggir memberi jalan. Eh, mereka malah meluncur mendekati mobil saya. Dan….tiba-tiba Bumm, sepasang pengendara menghantamkan “cakar gir” (terbuat dari gir sepeda motor). Setiba di rumah, saya cek bodi mobil, dan bekas cakar itu menancap di sana. Saya mengelus dada, Astaghfirullah.
Semua telah berlalu, namun kisah dan pesan dari tujuh luka tak hilang dari ingatan. Dalam istilah Gus Dur, “Dimaafkan ya, tapi dilupakan tidak.” Kisah dan pesan itu telah beberapa bulan melekati bodi mobil itu, dan setiap kali saya melihatnya, tujuh luka itu pun berkisah dengan gaya bahasanya sendiri.
Saya marah bukan karena mobil saya luka, tapi marah pada tindakan bodoh mereka. Saya marah atas kezaliman mereka.
Luka pertama adalah simbol amarah. Saya marah karena penyerang mobil itu menggebrak mobil dan anak-isteri (yang sedang tidur) pun terkejut gelagapan dibuatnya. Padahal isteri kurang stabil kondisi jantung dan tensinya; dan anak sedang pas tidur lelap. Saya marah bukan karena mobil saya luka, tapi marah pada tindakan bodoh mereka. Saya marah atas kezaliman mereka.
Luka kedua adalah luka sesal. Sesal karena saya seharusnya tidak marah. Saya menjadi “luka” jiwa hanya gara-gara mereka yang ugal-ugalan. Saya menyesal karena membiarkan amarah saya bangkit. Saya pun menyesal karena tidak sempat menyampaikan pesan: “Jangan menabur kezaliman. Sebab, manusia akan jatuh akibat kezaliman yang ia taburkan sendiri.”
Ketiga, luka kasihan. Saya justru kasihan pada mereka. Seharusnya mereka belajar (apa pun) di rumah; namun mereka justru berkeliaran di tengah malam. Mereka tidak mencari identitas, melainkan membentuk identitas diri dan sosialnya dalam komunitas bodoh dan konyol itu. Kasihan sekali mereka. Mereka urgen perlu pertolongan lahir-bathin.
Keempat, luka ‘sayang’ orangtua. Saya menyayangkan orangtua mereka yang telah kehilangan kontrol atas anak-anak. Di mana fungsi orangtua atas anak sendiri? Sayang sekali, bagaimana ortu sampai tidak berdaya pada anak sendiri. Investasi apa yang akan dipanen jika tanaman itu lepas dari perawatan, dan hidup bebas bersama tumbuhan liar?
Sayang sekali, bagaimana ortu sampai tidak berdaya pada anak sendiri. Investasi apa yang akan dipanen jika tanaman itu lepas dari perawatan, dan hidup bebas bersama tumbuhan liar?
Kelima, luka prihatin masyarakat. Prihatin karena masyarakat memiliki komunitas geng motor brong yang melukai keharmonisan hidup bersama. Mungkin komunitas itu tidak banyak, namun yang sedikit itu bisa merusak yang banyak. Ada ungkapan, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Keenam, luka sedih bangsa saat ini. Saya sedih jika geng motor brong itu tumbuh di seluruh wilayah negeri ini. Balapan di mana-mana, diiringi dengan perjudian terselubung. Konon tak sedikit nyawa melayang sia-sia. Bagaimana tidak sedih menyaksikan bangsa yang dikeroposkan oleh anak-anak nakal itu. Yang lebih sedih lagi, tidak banyak di antara masyarakat yang bisa menyadarkan mereka. Sedih karena kita menuju bangsa yang keropos dan bopeng.
Ketujuh, luka menangis atas nasib bangsa ke depan. Ya, komunitas geng motor brong itu representasi geng motor yang tersebar di sudut-sudut negeri ini. Itu membuat saya menangis. Akan dibawa ke mana nasib bangsa ini ke depan jika geng motor menebar dan menabur kezaliman di mana-mana? Saya menangis karena saya tidak mampu berbuat apa-apa. Saya menangis karena hanya mampu menangis.
“Jangan sakiti penulis atau namamu akan abadi di dalam tulisannya.”
Untuk semua itu, mereka sudah dimaafkan, namun tidak pernah dilupakan. Tulisan ini hanya bukti sebuah pesan: “Jangan sakiti penulis atau namamu akan abadi di dalam tulisannya.” Selain itu, mereka harus mengambil hikmah terpendamnya: Kembali belajar menjadi manusia yang beradab.
Pada sisi lain, polisi urgen menggelar razia knalpot brong menyeluruh. Jika tidak di tengah kota, mereka ada daerah-daerah pinggiran kota, masih banyak jumlahnya. Untuk Pendidikan, bolehlah sanksi bagi pelanggar berupa pembleyeran knalpot mereka sendiri ke kuping, atau pewajiban mereka untuk mengambil knalpot orisinil dan memasangnya sendiri di depan polisi. Sanksi lain, polisi perlu menerapkan pasal 285 ayat 1 UULAJ: pelanggar dipidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000.[]
Bagaimana pendapat Anda? Sampaikan tanggapan Anda di kolom komentar.
Baca juga:
Menyoroti tulisan Prof Emcho, saya merasa berada di pusaran amarah. Klu terjadi pada saya, pastilah saya mencari Pak Polisi. Untuk memperingatkan mereka atau saat itu juga. Mereka harus diberi sangsi langsung. Klu jalanan tidak ramai lalin dan kondisi aman. Mungkin anak tersebut akan saya ajak bicara baik baik tapi mengarah pada pembicaraan shock terapi. Karena saya terbiasa menghadapi siswa yang moralnya perlu ditambal sulam seperti geng motor brong yang bikin scratching mobil prof Emcho dengan sengaja
Terima kasih atas tanggapan B guru. Tapi begitulah kelakuan mereka. Anak2 yg lepas dari pengawasan orsngtua
Saya senyum-senyum sendiri membaca artikel ini, Pak.
Hebatnya penulis, marah pun bisa jadi tulisan yang menginspirasi. Masya Allah
Terima kasih, Mas Arif, kita semua bisa menuliskan pengalaman2 yg mengganggu ketertiban umum,.siapa tahu akan ditindaklanjuti oleh aparat
Betul Prof, kita harus mampu menahan amarah dalam diri, kalau kita ikutan marah, maka kita menjadi sama seperti mereka. Kisah yang sangat isnpiratif. Luka mobil bisa diperbaiki, tapi luka hati lama sekali sembuhnya.
Beejiwa besar pebting adanya
Salahkah untuk menjadi marah ? Apakah marah selalu menjadi simbol kekalahan pikir.
Mari bijak menyampaikan amarah kpd orang lain