Oleh Much. Khoiri
JIKA bukan karena kehendak-Nya, saya tidak akan pernah bersua kembali dengan Gol A Gong dan Yusron Aminulloh. Sematang apa pun rencana, kalau belum dikehendaki-Nya, keinginan bertemu pasti meleset. Itu yang terjadi selama ini. Eh, petang ini (31/10), tanpa banyak rencana, kami dipertemukan di perpustakaan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS).
JIKA bukan karena kehendak-Nya, saya tidak akan pernah bersua kembali dengan Gol A Gong dan Yusron Aminulloh.
Kangen-kangenan bertiga itu, seakan putaran ulang persuaan kami delapan tahun silam, tepatnya 9 Oktober 2014. Saat itu Mas Gong—sapaan akrab untuk Gol A Gong—jadi narasumber tentang proses kreatif di FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa), bagian dari tur “Gempa Literasi” Mas Gong. Mas Yusron—sapaan akrab Yusron Aminulloh—mendukung tur literasi tersebut. Foto kami bertiga menggugah kenangan saat itu.
Rentang delapan tahun itu, saya pribadi telah berkali merencanakan untuk bertemu bertiga dalam satu paket. Namun, berkat kehendak-Nya, keinginan itu tidak pernah terkabulkan. Mengapa saya selalu ingin bertemu bertiga? Saya merasa, pertemuan kami akan gayeng dan produktif. Banyak yang bisa dibincangkan, kendati situasi persuaan santai, boleh dibilang sambil ngopi dan makan seadanya.
Selepas dari acara di kampus saya itu, saya sebenarnya ingin bersilaturahmi ke Rumah Dunia milik Mas Gong, tetapi tidak kunjung kesampaian. Bahkan hingga tahun selanjutnya saya dan Mas Gong bertandem jadi juri literasi di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, keinginan ke RD belum terkabul. Kami hanya bisa tinggal dalam satu kamar hotel beberapa hari, bisa berbagi aneka kisah, perjuangan, harapan, impian, dan sebagainya—tentang RD hanya dalam perbincangan!
Persuaan di dalam buku, memang, mengabadikan nama penulis; namun tetap saja gagal mengobati kerinduan di antara kami yang berkejaran dengan kesibukan yang secara hegemonik menguasai kami.
Belum terkabulnya ke RD kembali terulang, meski tahun berikutnya saya tandem lagi dengan Mas Gong menjadi juri literasi di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Dasar Mas Gong itu penulis prolifik (overproduktif)—kini dia sudah punya 130-an judul buku—, dia selalu mengajak berbincang gayeng di sela waktu dan waktu longgar. Apa saja tentang literasi dan pembudayaan literasi jadi bahan obrolan.
Akhirnya saya bertemu Mas Gong dalam rangka penulisan buku Leksikon: Gerakan Indonesia Menulis (2022) terbitan penerbit Perpusnas. Mas Gong bertindak sebagai editor dalam buku itu, dan saya sendiri menulis artikel “Blantik Literasi dari Jawa Timur”. Persuaan di dalam buku, memang, mengabadikan nama penulis; namun tetap saja gagal mengobati kerinduan di antara kami yang berkejaran dengan kesibukan yang secara hegemonik menguasai kami.
Adapun dengan Mas ustadz—sapaan saya untuk Yusron Aminulloh—saya juga mengalami kerinduan yang tak terbayarkan dengan pertemuan darat. Pertemuan paling sering adalah pertemuan di dunia maya, misalnya 11 Oktober 2017 saya diminta jadi narsum seminar di Jember dengan peserta guru. Maklum, saya sibuk dengan urusan pribadi; beliau juga demikian. Malah, beliau lebih sibuk sebagai pengusaha untuk menjalankan bisnisnya.
Pertemuan darat barangkali hanya dua kali terjadi dalam rentang delapan tahun itu. Pertama di seputar waktu pendampingan menulis novel Mama Thea S. Kusumo. Saya sendiri mendampingi Mama Thea saat beliau menulis novel Endang (2019), dan Mas ustadz mendampingi Mama menulis novel Bimo (2020). Pertemuan kami paling ya di rumah Mama Thea, tidak cukup puas cangkrukan berlama-lama.
Kedua pada 5 September 2019 saya ketemu darat lagi dengan mas ustadz saat beliau jadi tuan rumah acara Ngopi-Ngopi sharing ide dengan topik “Portal Literasi, Berbagi Gagasan dan Kepedulian.” Saya masih ingat, saat itu saya terundang bersama Ferry Koto, Arief Rahman, Bonang Aji, Andi L, dan sebagainya. Acara di Prime Biz Gayungsari, Surabaya, itu menambah wawasan literasi media online.
Saya ditawari kapan bisa datang ke DeDurian Park. Sebaliknya, saya juga mengirimkan video marketing Kitab Kehidupan. Kami masih kerap bertukar informasi tentang masing-masing.
Selebihnya, kami ketemu lewat ponsel. Beliau juga berkabar tentang outbond mahasiswa di DeDurian Park Wonosalam Jombang. Beliau memamerkan kegiatannya. Saya ditawari kapan bisa datang ke DeDurian Park. Sebaliknya, saya juga mengirimkan video marketing Kitab Kehidupan. Kami masih kerap bertukar informasi tentang masing-masing.
Lalu 14 Januari 2022 Mas ustadz mengundang saya untuk hadir dalam Dialog Kebangsaan dengan tema ‘Saatnya Siapkan Regenerasi’. Karena luring, saya tidak bisa hadir. Jadwal tidak bisa berkompromi dengan keadaan, sebab siangnya saya ada acara juga dan tidak bisa diwakilkan. Lalu, waktu berlalu, saya hanya menyapa beliau lewat tulisan-tulisan yang sekali tempo dimuat di majalah MeP.
Dalam tahun-tahun terakhir, saya hanya tahu, bahwa beliau lebih konsen mengelola bisnisnya, sambil memilih menjadi kepala sekolah, dengan tujuan tidak terlepas dari dunia anak, dunia kebaikan. Dengan begitu, beliau tetap bisa memonitor pendidikan di negeri ini. Dengan akrab dengan dunia pendidikan, dia lebih tahu apa yang dilakukan dengan dunia literasi.
Tak perlu saya jelaskan apa core business-nya. Namun, beliau menjalankan bisnis berkat mempraktikkan apa yang dia baca lewat buku-buku. Artinya, beliau bisa berbisnis karena memang belajar dari apa yang dibacanya.
Misalnya, Mas ustadz telah mempraktikkan ‘literasi kesejahteraan’ dengan bisnis yang digelutinya. Tak perlu saya jelaskan apa core business-nya. Namun, beliau menjalankan bisnis berkat mempraktikkan apa yang dia baca lewat buku-buku. Artinya, beliau bisa berbisnis karena memang belajar dari apa yang dibacanya. Sistem bisnisnya berjalan dengan baik, katanya. Dalam hal ini, jika kebanyakan orang membaca hanya sampai pada titik output (pemahaman kognitif), Mas ustadz telah tiba pada tataran “outcome” dari apa yang dibacanya. Dan itulah virus berharga yang perlu ditularkan ke berbagai daerah di negeri ini.
Nah, petang ini, setelah melewati ‘kompromi’ agenda yang cukup alot, saya kembali besua Mas Gong dan Mas ustadz Yusron. Kerinduan delapan tahun itu terbayar sudah. Jadi, persuaan di perpustakaan di UWKS itu adalah momentum kangen-kangenan, mengenang masa silam yang gemilang, sekaligus merancang masa depan gerakan kultural yang mencerahkan. Kami hanya bisa merancang, masalah hasilnya itu urusan yang menggenggam jiwa kami.[]
Kabede, 1-11-2022
Sangat menginspirasi sekali bapak. Insya Allah setelah ini akan semangat menulis produktif bapak. Mohon arahan dan bimbingan selalu bapak.
Ayo, Mas, kita harus sellau berkarya menghasilkan tulisan2 yang menginspirasi orang lain. Hidup hanya sekali, kita harus berarti.
Keindahan persaudaraan tidak hanya karena ikatan darah, merasa energi selalu bertambah ketika bersamanya, itulah persaudaraan sejati.
Hal yg paling mahal dlm hidup bermasyarakat adalah merawat persaudaraan.
Betul sekalu. Persaudaraan yang abadi bisabterjadi jika selalu dipupuk dan dipelihara dengan baik. Semoga selalu begitu.
Sepakat dengan Pak Cho, “Semua Karena Kehendak-Nya.”
Terima kasih telah berkenan berkumjung dan memberikan tanggapan. Semoga sehat selalu. Salam literasi
Jika menu yang dihidangkan dalam setiap pertemuan adalah ide-ide menulis buku, itu sangat membahagiakan. Tetap semangat.
Betul sekali, Mas Gong. Itu yang selalu diaharapkan bisa hadir ketika penulis2 bertemu. Terima kasih telah berkunjung.
Luar Biasa!
Orang-orang yang selalu menginspirasi bagi diriku yang selalu haus dengan ilmu.
Salam Literasi!
Terima kasih banyak, Bu Lina. Kita perlu saling menguatkan.
Sangat inspiratif dan mengasyikkan. Menambah semangat untuk terus bergiat. Terima kasih Bapak Dosen yang terhormat dan sangat produktif berkarya di sela waktu bekerja sebagai dosen. Luar biasa.
Aamiin
Terima kasih, Mas mamuk. Kalau tidak berkarya, sela2 waktu sangatlah disayangkan. Hidup hanya sekali, harus dimanfaatkan, bukan?
Mengisahkan kegelisahan dan kerinduan yang terbayar. Bahasa Suhu sangat khas. Saya mencermati setiap kalimat dalam setiap paragraf, sesekali mengutip kalimat yang sangat efektif menyampaikan maksud sang penulis. Jika saya menulis dengan penuh kehatia-hatian tentang keefektifan, Blantik Literasi dengan piawai mengurai dengan diksi yang aduhai.
Terima kaih banyak, Pakde, atas kunjungan dan tanggapan yang bagus.
Menu yang dihidangkan dalam setiap pertemuan adalah ide-ide menulis buku.
Keren sekali ini, komen dari Gol A Gong, dan Pak Khoiri selalu meramu akan digelarnya pertemuan-pertemuan itu.
Para sahabat penulis senior itu perlu kita datangi. Di sana kita perlu bergesek dan belajar.