Oleh Much. Khoiri
KOPDAR alias kopi darat komunitas Rumah Virus Literasi (RVL) sudah usai, tetapi dinamikanya tidak akan berhenti. Memang 21-23 Oktober 2022 itu hanya angka-angka, tetapi kopdar juga momentum bersejarah bagi warga RVL khususnya dan para pegiat literasi pada umumnya. Berikut ini catatan refleksinya.
Untuk seluruh virus literasi RVL dan mereka yang tersebar di negeri ini, mari menjawab pertanyaan ini dengan lapang dada dan kebeningan hati : “Sebagai virus literasi, apakah yang (akan) kita tularkan kepada masyarakat?” Sebagai virus literasi, kita harus siap menjadi teladan. Lalu, apakah yang akan kita teladankan kepada sesama?
Sebagai virus literasi, kita harus siap menjadi teladan. Lalu, apakah yang akan kita teladankan kepada sesama?
Kata “apakah” di sini tentu mengandung pengertian yang dalam dan luas. Setidaknya, ia meliputi tiga hal, yakni kemampuan, moralitas, dan produk karya yang nyata. Mari memahaminya bersama.
Pertama, kemampuan. Kita harus memiliki kemampuan menulis yang pantas dan layak untuk ditularkan kepada masyarakat. Kalau kita hanya menguasai penulisan sastra (prosa, puisi, drama), penguasaan itu perlu diupayakan mendalam—sehingga masyarakat tahu bahwa kita memang mampu! Jangan hanya mengaku-aku menguasainya, padahal hanya tataran teori dan tidak pernah menunjukkan buktinya.
Demikian pula kalau kita mengaku mampu menulis travel writing, catatan harian, artikel opini, dan sebagainya; maka, kita harus benar-benar menguasainya dengan baik. Tidak boleh ada keraguan di mata masyarakat tentang kemampuan kita dalam genre-genre tulisan yang baru saya sebutkan. Masyarakat harus diyakinkan, bahwa kita benar-benar suka membaca dan mampu menulis, bukan omong doang!
Masyarakat harus diyakinkan, bahwa kita benar-benar suka membaca dan mampu menulis, bukan omong doang!
Kalau belum menguasai, bagaimana? Ya tentu saja kita harus belajar dan melatih diri secara serius dan keras agar dapat menguasainya. Untuk berlatih bagi pemula (belum berpengalaman), boleh saja hanya menulis catatan harian atau menulis pengalaman sehari-hari dengan cara mengisahkannya (menulis cerita lisan sendiri). Namun, lama-kelamaan kita harus menambah satu atau dua genre lain, semisal catatan perjalanan, puisi, atau cerpen.
Entah di buku saya yang mana, saya pernah mengajak para Sahabat literasi untuk menguasai banyak genre tulisan. Dengan menguasai banyak genre tulisan, kita tidak akan kekurangan ide menulis. Sebab, bahan-bahan untuk ditulis tersedia melimpah dalam kehidupan sehari-hari. Nah, sepanjang prior knowledge (bekal pengetahuan) kita memadai, inspirasi akan mudah sekali hadir. Kehadiran inspirasi akan mencari bentuk yang tepat. Jika kita menguasai banyak genre, maka inspirasi itu bisa bebas memilih genre yang paling tepat, entah catatan harian, travel, cerpen, puisi, atau entah apa lagi.
Jika kita menguasai banyak genre, maka inspirasi itu bisa bebas memilih genre yang paling tepat, entah catatan harian, travel, cerpen, puisi, atau entah apa lagi.
Kedua, moralitas. Moralitas di sini berbicara tentang keberpihakan pada kebaikan atau kebatilan. Saya perlu tegaskan, bahwa menjadi penulis harus berpihak pada kebaikan, menolak (memerangi) kebatilan. Tugas mendasar kita bukan sekadar menularkan kemampuan menulis kepada masyarakat, namun juga menularkan moralitas alias keberpihakan pada kebaikan.
Mengapa demikian? Kita ini agen literasi, dan kita sedang melakukan perubahan kultural ke arah yang lebih baik, untuk ikut membantu terbentuknya peradaban bangsa yang lebih cermerlang. Bangsa yang beradab itu adalah bangsa yang dibangun dengan dasar-dasar kebaikan. Sebab itu, kita harus menulis dan menebarkan kebaikan seluas-luasnya. Apa pun genre yang kita gunakan untuk menyampaikan pesan kita, maka kita harus tetap menyuarakan kebaikan-kebaikan.
Memangnya ada tulisan yang tidak menyuarakan kebaikan? Ada dan banyak. Coba telusuri medsos! Tulisan berupa cerpen romantis di medsos yang berisi adegan-adegan seksual, bukanlah tulisan yang menyuarakan kebaikan. Tulisan yang berisi fitnah, gosip, hoaks, dan kebohongan bukanlah tulisan yang berada di pihak kita. Semua itu kebatilan. Kita tidak mentoleransi kebatilan. Justru kita perlu melawan dan memerangan tulisan batil semacam itu.
…kita harus menulis dan menebarkan kebaikan seluas-luasnya. Apa pun genre yang kita gunakan untuk menyampaikan pesan kita, maka kita harus tetap menyuarakan kebaikan-kebaikan.
Seandainya kita pernah menulis sesuatu yang mengandung kebatilan, marilah kita stop sekarang, dan kita ganti dengan konten yang menyuarakan kebaikan. Kita perlu menyadari, bahwa apa pun yang kita tulis akan dibaca luas oleh masyarakat, dan masyarakat akan menilai siapakah kita, bagaimana tingkat moralitas kita, bagaimana kualitas kita. Bahkan, kita juga perlu menyadari, bahwa kebaikan atau kebatilan yang kita suarakan, akan menjadi amal jariyah atau sebaliknya menjadi dosa jariyah—dan semua itu akan kita panen kelak di hari kemudian.
Terakhir, produk karya yang nyata. Sehebat apa pun kita mengaku sebagai penulis, dan semulia apa pun kita mengaku punya moralitas, kita tidak akan terlihat sebagai penulis jika tidak membuktikannya dengan produk karya yang nyata. Mudah kita menemukan orang bicara, namun tidak mudah membuktikan adanya penulis yang berkarya nyata: berapa artikel yang dimuat di media online, media cetak, jurnal, buku, dan sebagainya. Works speak more loudly than words. (Karya lebih keras teriakannya dari pada ucapan.)
Karena itu, bagi Sahabat yang belum cukup banyak karyanya, saya ajak untuk berkarya terus setiap hari—sesuai dengan kemampuan masing-masing. Lebih baik berjalan meski perlahan, dari pada berjalan cepat tetapi cepat berhenti sama sekali. Jadi, mari berkarya secara istikomah. Hasilnya bisa kita pasang di website, blog, atau media online lain—atau langsung dihimpun menjadi buku. Setahun satu buku bagus, dan akan lebih bagus dua atau tiga buku atau lebih.
Jadi, mari berkarya secara istikomah. Hasilnya bisa kita pasang di website, blog, atau media online lain—atau langsung dihimpun menjadi buku.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa tidak baik menulis yang hanya mengejar produktivitas. Itu ada benarnya. Namun, jangan lupa, quantity produces quality, kuantitas karya mengakibatkan kualitas. Dengan kebiasaan menghasilkan karya yang banyak, penulis akan semakin terasah untuk menghasilkan karya yang semakin bagus. Lalu, di antara karya yang banyak itu, amat boleh jadi ada karya yang terbagus—di sinilah kualitas itu! Kita tidak tahu bagaimana nasib karya kita ke depan; namun, kita tahu bahwa karya harus kita lahirkan agar mereka menemukan nasib terbaiknya.
Sekarang, mari renungkan dengan baik. Seberapa kita dapat melakukan refleksi tentang kemampuan, moralitas, dan produk karya yang nyata di atas. Kalau kita belum memenuhi rambu-rambunya, kita sebaiknya segera memenuhinya. Dengan begitu, kita akan lebik percaya diri menjadi virus literasi yang layak diteladani. Dalam posisi demikian, kita boleh berharap bahwa akan lahir virus-virus literasi baru berkat keteladanan yang kita buktikan. Mudah-mudahan.[]
Kabede, 23 Oktober 2022
BACA JUGA:
Refleksi mendalam. Thoyyib
Terima kasih banyak, mas Prof Ngainun Naim
Refleksi yg mendalam. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Terima kasih atas tanggapan yang mendalam
Terima kasih Abah Khoiri sebuah refleksi yg tajam dan sebagai rambu-rambu kepada penulis (berkarya buku ) dan sebagai pegiat literasi. Bahwa menulis itu menyebarkan virus kebaikan, karya yang mengatakan kebenaran, mengajak kebaikan dengan kesabaran melalui karya apapun genrenya. Tulisan itu lebih tajam dari pedang. Tulisan harus bisa mempengaruhi pembaca untuk berbuat kebaikan. TABIK
Tanggapan Cak Inin mantap, sehat elalu
Menjadi agen dan virus literasi. Siap….
Bismillahirrahmanirrahim….
Betul sekali, kita ini agen perubahan dlm bidang literasi
Best motivation…!!! Begining to write forever…..
Thanks so much, Mas Hary. We have to write a lot.
ayo kita lebih percaya diri menjadi virus literasi yang layak diteladani.
Ajakan yang sangat motivatif. Makasih Omjay
Sangat menginspirasi kami
Terima kasih, pak Helmi.
Terasa di siram air, saat kepanasan dan kehausan. Tak terasa menyadarkan orang lain untuk berbuat baik melalui dakwa bittulis. Terimakah abah yang tak henti-hentinya menasehati para pembaca melalui karya yang luar biasa.. hairlah….
Terima kasih banyak, P Lukman, sehat slalu
Refleksi yang memotivasi dan setengah memaksa. Hehehe
Kalau tidak dipaksa, khawatrnya tidak mau sama sekali
Nendang dengan tepat ke jantung hati terdalam.
Semoga dapat meneladaninya dengan baik dan sungguh-sungguh.
Mksh Bapak Dosen Much Khoiri, Bapak Prof. Ngainun Naim dan Sahabat Komunitas RVL yang terhormat. Nwn 🤩😍🙏
Makasih, Mas mamuk atas kunjungan dan komentarnya yang bagus
Komunitas akan berjalan dan semarak bila dipimpin dan dibimbing oleh jiwa2 yg ikhlas berbagi hingga anggota tidak kehilangan induk dan arah perjalanan. Dan contoh itu ada pada sosok pendiri dan ketua RVL, Bapak Much. Khoiri. 👍🏼👍🏼
Terima kasih atas apresiasinya, Bu hajjah Rita. Semoga tetap saling menguatkan
Background Tumour infiltrating lymphocytes TILs are of important prognostic and predictive value in human epidermal growth factor receptor 2 positive HER2 breast cancer BC and triple negative breast cancer TNBC, but their clinical relevance in oestrogen receptor positive HER2 negative ER HER2 remains unknown finasteride 1 mg online pharmacy
tricor where to buy buy fenofibrate pills for sale buy tricor paypal
cost cialis viagra 25 mg viagra 100mg over the counter
buy ketotifen medication ketotifen 1mg pill purchase imipramine generic