MENJAGA KEARIFAN BERDEMOKRASI

Oleh Much. Khoiri

Dalam kitab epos Mahabharata, perang digambarkan sebagai arena pertempuran antara dua pihak kesatria yang saling berseteru, biasanya antara darma kebaikan dan pelaku kejahatan. Dalam perang Bharatayuda di arena perang Kurusetra, pihak Pandawa dan Kurawa saling berhadapan dan saling bunuh atas apa yang diperjuangkan. Bahkan antar pihak berhadapan sesuai pangkatnya: panglima berhadapan dengan panglima, prajurit bertempur melawan prajurit. Waktu perang pun dibatasi hanya sampai matahari tenggelam. Bahkan pada dasarnya mereka saling babat satu lawan satu dan tidak main keroyok. Masih ada “keadilan” dalam pertempuran.

Meski kemarahan memuncak ketika satu pihak terbunuh oleh pihak lain, mereka tetap menghormati aturan perang yang telah disepakati. Ketika panglima-panglima Kurawa gugur, semisal saat Bisma gugur oleh para Pandawa, atau  Dronacharya terpenggal Drestayumna, atau Karna terpanah Arjuna, Duryudana boleh murka sepuncak ubun-ubun. Namun, seculas-culasnya Duryudana, dia tidak membabibuta mengabisi prajurit-prajurit kecil dari pihak Pandawa. Yang dia kejar adalah Bima, kesatria paling tangguh Pandawa. Menurut dia, Bima-lah orang yang paling bertanggungjawab atas kematian puluhan adik-adik Duryudana.

Meski perang Bharatayuda berakhir dengan kemenangan Pandawa setelah berkecamuk dahsyat selama 18 hari, dan 100 kesatria Kurawa gugur karenanya, Mahabharata menggambarkan bahwa perang terjadi hanya antar prajurit. Mereka tidak membabat penduduk sipil, anak-anak, dan siapa pun yang tidak terlibat di arena Kurusetra. Semua kekuatan fisik dan senjata tumplek blek di arena perang, tetapi tidak sampai meluber ke daerah hunian penduduk. Hewan-hewan dan tumbuhan di luar arena perang juga tidak dibumihanguskan. Semua baik-baik saja di luar arena perang. Di situlah “keadilan” dalam perang saling dijunjung tinggi.

Dalam perang modern, aturan mainnya berbeda. Aturan mendasarnya justru “aturan main tanpa aturan main”. Perang modern merupakan pertempuran dengan mengadalkan segala sumber kekuatan untuk melemahkan dan menghancurkan musuh. Siasat dan strategi perang dijalankan, bahkan sampai paling keji dan biadab, termasuk penghangusan kota, penduduk, flora, fauna, dan segalanya. Nyawa manusia ternilai sangat murah karenanya. Ada kepentingan-kepentingan sendiri (vested interests) yang dipegang oleh pemimpin perang, sehingga mereka (harus tega) mengabaikan nilai kemanusian atau kehancuran di pihak lain.

Maka, demikian pulalah sejatinya kita menjalani demokrasi. Idealnya, kita mengikuti bagaimana perang Bharatayuda dijalani. Apakah berdemokrasi merupakan sebuah perang? Diakui atau tidak, berdemokrasi itu bersaing satu sama lain untuk mewujudkan visi-misi partai masing-masing. Mereka bersaing untuk mewujudkan “dari, oleh, dan untuk rakyat”—semuanya begitu! Dengan caranya masing-masing. Persaingan dahsyat itu nama lain dari perang. Perang dalam berdemokrasi telah terjadi selama ini, antara partai satu dan partai lainnya, yang melibatkan jutaan konstituen saat pelaksanaan pemilihan umum, dan yang meninggalkan mereka tatkala pemilu berlalu.

Ya, seyogianya kita menjunjung kearifan berdemokrasi. Pada tataran partai, kita sewajarnya menghormati partai lain yang memenangkan pertandingan, dan menerima kenyataan bahwa partai kita kalah alias tidak mendapatkan suara rakyat secara memadai. Tidak patut dendam politik dipelihara dan dihidup-hidupkan sampai mati-matian. Partai pemenang disilakan untuk maju mengurus daerah atau negeri ini dengan kader-kader terbaiknya. Sementara, pada tataran individu masyarakat, kita pun tidak sepantasnya memendam dendam kepada tetangga yang berseberangan partai. Toh rakyat sudah ditinggalkan kesepian oleh calon yang mereka pilih saat pencoblosan. Mengapa harus rela berbantahan atau berkonflik berkepanjangan antar rakyat jika pesta demokrasi sudah tutup tenda?

Pertanyaannya, seberapa besar kemauan kita sebagai masyarakat untuk menjaga kearifan berdemokrasi sebagaimana Kurawa menerima kakalahan dengan “legawa”, sepanjang perang demokrasi dilalaui sesuai aturan main yang disepakati. Bahkan Duryudana, yang gugur terakhir di antara para Kurawa, tidak membabi-buta menghancurkan penduduk sipil; itu sebuah bukti kearifan. Dia tetap memegang pedoman perang yang disepakati bersama. Duryudana yang dalam Mahabharata dikenal jahat dan culas saja menghormati atuaran main perang, dalam arti memiliki kearifan berperang, mengapa kita yang mengaku beradab tidak bisa melakukannya?

Vested interest, ya kepentingan pribadi (diri atau golongan), adalah kendala besar yang sangat menentukan kemurnian terjaganya kearifan berdemokrasi. Semua partai yang berperang dalam pemilu, juga tokoh-tokoh elit yang bermain di dalamnya, memiliki vested interest masing-masing. Bahkan hal ini telah digelontorkan untuk dimiliki pula oleh masyarakat yang mendukungnya lewat kampanye-kampanye yang dilancarkan. Dengan menjadi collective consciousness bersama, vested interests partai tertentu memiliki basis power yang kuat di akar rumput.

Justru hal inilah yang tidak mudah dikelola secara massal. Perlu negosiasi-negosiasi tingkat tinggi untuk mengegolkan kepentingan diri, dan sekaligus dapat mengakomodasi kepentingan pihak lain. Dengan kalimat lain, untuk menjaga kearifan berdemokrasi, bagaimanapun juga, diperlukan kearifan dalam mengelola vested interest yang ada. Pertanyaannya, sekali lagi, seberapa besar kemauan kita sebagai elit partai dan masyarakat untuk mengelola vested interest secara bijaksana untuk menjaga kearifan berdemokrasi bersama.[]

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

One thought on “MENJAGA KEARIFAN BERDEMOKRASI”

  1. PYsgSjxDP says:

    Meta Analysis of Trials Comparing Anastrozole and Tamoxifen for Adjuvant Treatment of Oostmenopausal Women with Early Breast Cancer, Trials, vol finasteride receding hairline The slight shaking short term lower blood pressure from below made him realize that he was in a carriage, With a large shaking of the entire body, the stinging pain came from the wounds all over his body, causing him to groan loudly

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *