Oleh Much. Khoiri
Dewasa ini banyak perempuan bukan hanya berperan sebagai pemimpin domestik, dalam arti mereka menjadi pemimpin dalam keluarga, melainkan juga pemimpin publik, dalam arti mereka menjadi pemimpin bagi masyarakat luas. Tak sedikit perempuan yang telah berhasil memerankan tugas ganda kepemimpinan tersebut.
Di hampir semua negeri di dunia ini saat ini kecenderungan semacam itu telah terjadi. Nilai-nilai budaya kepemimpinan telah bergeser dari budaya patriarki ke budaya non-patriarki—setidaknya telah terjadi pergerakan ke arah sana. Pendidikan dan pemahaman lintas budaya, antara lain, telah memungkinkan hal ini terjadi. Cara berpikir (mindset) masyarakat dunia telah mulai menerima kepemimpinan perempuan dengan “cukup lega”—meski di pihak lain ada masyarakat yang masih tidak menerimanya.
Tak dimungkiri, aneka jabatan publik tingkat nasional, bahkan tingkat internasional, telah mulai terisi oleh perempuan. Tenaga-tenaga menengah dalam pemerintahan, bahkan dalam sektor swasta, juga telah banyak terisi oleh kaum perempuan. Perempuan bukan lagi kanca wingking (partner yang berada di belakang) bagi kaum laki-laki, melainkan juga kaca samping (partner yang berada di samping). Terkecuali terikat pada hirarki jabatan, perempuan mulai merebut kedudukan kepemimpinan publik secara lebih luas.
Pertanyaannya, adakah yang salah dengan fenomena semacam itu? Ketika pandangan patriarki dikedepankan, tentu saja ada yang tidak benar dengan hal itu. Pandangan patriarki melihat fenomena itu sebagai keblinger alias melampaui batas! Namun, dewasa ini, pandangan semacam ini mulai ditinggalkan. Bagi para pembaharu, pandangan patriarki dalam ranah publik jangan diterapkan (baca: dilestarikan) secara mentah-mentah, melainkan harus dilihat dari sisi kompetensi dan kualitas kepemimpinan.
Inilah yang perlu diapresiasi: Masyarakat melihat seseorang pemimpin publik bukan sekadar pada gender—yang kini kerap dianggap bias gender—melainkan pada kualitas kepemimpinannya. Meski seseorang pemimpin publik itu adalah perempuan, dia tidak lagi dilihat hanya sebagai perempuannya, melainkan juga sebagai kualitas dan kompetensi kepemimpinannya. Tak sedikit pemimpinan perempuan yang kebijakan dan tindakan-tindakannya lebih maskulin dari pada kaum laki-laki.
Jadi begitulah perempuan yang berperan sebagai pemimpinan dalam ranah publik. Mau jadi menteri silakan, mau jadi presiden juga silakan. Bahkan mau jadi sekjen PBB sekalipun, silakan, asalkan memiliki kompetensi dan kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan. Tidak ada batasan yang menjerat perempuan untuk memasuki dunia kepemimpinan tingkat dunia sekalipun.
Hanya saja, satu hal yang tidak dapat dielakkan: Perempuan juga punya peran domestik yang tak kalah pentingnya, bahkan jauh lebih utama, yakni peran perempuan sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anak di rumah. Silakan jadi Menteri, presiden, atau Sekjen PBB di luar sana, namun tugas kepemimpinan sebagai istri dan ibu tetaplah harus diutamakan. Sejarah dan peradaban mana pun telah membuktikan hal itu.
Mengapa demikian? Tidak usah kita banyak berdebat tentang hal ini. Firman Allah telah jelas mengajarkan kepada umat manusia, bahwa dalam urusan domestik, kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Ajaran indah itu selama ini telah dijadikan bemper pembenaran oleh kaum laki-laki untuk menguasai perempuan. Maka, stop sekarang! Kembali ke asal: Terapkan saja hanya dalam konteks domestik alias keluarga, bukan dalam konteks publik.
Maksudnya, kepemimpinan publik perempuan hanya dibatasi oleh perannya sebagai pemimpin domestik dalam keluarga. Asalkan seseorang perempuan mampu menjadi istri dan ibu terbaik dalam keluarga, dia berhak menjadi pemimpin publik setinggi apa pun. Jika hal ini terjadi, dia telah mampu menjalankan peran ganda, dengan mengutamakan kepemimpinan domestik di atas kepemimpinan publik.
Tentu saja, fenomena semacam ini masih berkembang. Kata orang, kiamat sudah dekat! Namun fenomena demi fenomena terkait kepemimpinan perempuan pastilah akan tetap terjadi. Marilah amati apakah perempuan dengan kepempinan publik tetap mampu menjalankan tugasnya dalam kepemimpinan domestik? Sangat berat, memang, bagi perempuan untuk menjalani peran ganda tersebut. Namun, itu sebuah tantangan yang harus direnungkan dan dijawab dengan segala kebijakan. Tidak mudah, memang, namun itulah harganya.[]
Driyorejo, 29 Juni 2022
Terima kasih pencerahannya. Laki-laki adalah pemimpin perempuan. Benar sekali peremuan jadi apapun ingat tugas sbg istri bertanggung kepada Suami dan anak-anak
Begitulah kiranya, terima kasih Abah Inin
Bagaimanapun, perempuan adalah seorang ibu bagi anak-anak dan istri bagi suaminya, meskipun sedang berperan sebagai pemimpin publik. Ketika kembali kepada keluarga, ia pun tunduk pada ajaran bahwa suami adalah pemimpin dalam keluarga.
Betul sekali, PakDe. Sepakat.
propecia 5 mg for sale no My biggest problems are the hot flashes which are horrendous and nothing much helps
6 prednisone: https://prednisone1st.store/# buy prednisone online australia
And with the side effects, I would have been on that couch propecia for sale in usa The Proviron will help to give you a positive test estrogen ratio