Oleh Much. Khoiri
DALAM urusan makan, pernahkah Anda meng-alami keterkejutan atau ‘gegar budaya’ (culture shock) dengan menu makanan dan budaya ma-kan di suatu tempat baru? Ada benturan atau gesekan tertentu antara budaya makan yang mensanubari dengan saya selama ini dan budaya makan di tempat transaksional baru. Saya pernah mengalami gegar budaya makan ini.
Pertama terjadi saat saya dan isteri saling menye-suaikan menu makanan semasa pengantin baru di tahun 1992-an. Terus terang, kami tidak termasuk pasangan yang sukses dalam pacaran—sehingga tidak semua hal bisa saling kami pahami satu sama lain. Kami masih harus menyelami misteri masing-masing seiring bergulirnya waktu. Salah satu hal yang mendasar adalah soal makan dan makanan. Jangan keburu tersenyum dulu, mungkin Anda juga mengalaminya.
Pengantin baru, ah, alangkah manisnya. Hampir tiada satu pun yang diucapkan, disikapkan, dan dilakukan yang tak sedap dan manis di hadapan kami. Semuanya terasa nikmat, indah, dan nyocoki ati. Tentang makanan, juga demikian. Apapun yang disiapkan isteri terasa nikmat, dan tiada kesalahan di dalamnya. Seandainya ada kekurangan sana-sini, kami sebagai pasangan baru selalu saling memaklumi.
Namun, sejalan waktu, honeymoon is over, mengeja-wantah dalam bentuk lain. Hidup bukan hanya bulan madu, namun sebuah kenyataan yang terisi kemanisan, kemasaman, atau kepahitan. Pasangan bukan berarti menyamakan bentuk dan suara dua insan, melainkan meng-harmoniskan irama permainan keduanya. Jangankan semuanya, lha bentuk jempol tangan kanan dan tangan kiri sendiri saja tidak sama.
Kembali soal rasa, saya dan isteri mengalami gegar budaya yang sebenarnya cukup kentara—bahkan cen-derung kontradiktif. Saya asli Madiun, sedangkan isteri asli Pasuruan. Dalam urusan selera makan, kami me-miliki perbedaan besar satu sama lain. Ini benar-benar representasi dua budaya yang telah berabad-abad di-junjung oleh masyarakat masing-masing.
Bayangkan, di antara persamaan di antara kami, dalam urusan makanan, saya representasi orang Madiun. Saya suka makanan yang bersantan, pedas, dan asin; sedangkan minuman utama saya: kopi hitam manis. (Ter-lebih, saya juga nyambi menulis, minum kopi suatu keharusan—saat itu sebagai pengiring kebiasan buruk saya: merokok.) Jadi, andaikata tersedia nasi punel, tempe goreng, dan sayur lodeh terong lombok hijau, saya pasti akan lekoh menyantapnya hingga suap terakhir. De-mikian pun dengan nasi pecel khas Madiun—tidak ada istilah bosan. Puasnya tuh di sini (*dada kiri).
Sementara, isteri suka makanan yang non-santan, sayur bening, semi manis, dan tidak pedas. Minumannya, cukup teh hangat. Jika ada menu makanan dengan nasi punel, sayur bayam bening, bothok, plus ikan laut—atau dengan sayur tahu semur—maka ia akan sangat menikmatinya. Andaikata diminta makan nasi pecel atau nasi sayur lodeh yang pedas, ia pasti hanya mencicip sedikit saja.
Itulah mengapa, khusus pada hari Sabtu dan Minggu, kerap pula kami memasak sayur dan lauk a-la daerah masing-masing. (Untunglah, kami sama-sama mantan mahasiswa indekost, sehingga urusan masak kami cukup lihai beraksi.) Saya memasak sayur dan lauk à la Madiun, isteri memasak à la Pasuruan—tentu dengan porsi secukupnya saja. Pada saat begitu, meja makan kami terisi dua paket menu yang berbeda—dan kami saling incip hanya sedikit saja.
Di luar hari Sabtu atau Minggu, saya tentu mengikuti sajian isteri. Namun, tak jarang pula—biasanya sekali atau duakali dalam sepekan—kami makan ke luar (out–ing), lazimnya ke warung-warung tenda di lapangan Karah Surabaya. Konyolnya, pesanan kami hampir selalu berbeda. Satu berkiblat Madiun, lainnya ke Pasuruan.
Gegar budaya dalam hal makanan ini terjadi di bulan-bulan awal pernikahan kami. Tentu saja kami menjalani-nya bukan sebagai pemertajaman perbedaan, melainkan lebih memahami bahwa perbedaan itu ada dan harus saling diterima apa adanya. Kami dipersatukan, memang, bukan untuk saling meniadakan praktik-praktik budaya kami, melainkan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan—agar irama melodi kami terdengar lebih mer-du.
Seiring waktu, doa kami sakinah mawaddah warah–mah terkabul. Rasa sayang jauh mengedepan daripada sekedar cinta-kasih. Semakin dalam rasa sayang, se-makin hilanglah sekat tuntutan perbedaan yang me-najam. Kami merasa saling menjadi bagian dari lainnya.
Akhirnya kami mengalami penyesuaian budaya (cultural adjustment), khususnya tentang makan dan makan-an. Buktinya, lodehnya tak lagi terlalu asin dan pedas à la Madiun, semurnya juga tak terlalu manis à la Pasuruan. Lidah kami seakan sudah menjadi satu—saling melepas idealitas tuntutan selera makan, saling menerima perbedaan rasa menu. Inilah win-win solution.
Gegar Budaya Makan di Hong Kong
Gegar budaya makan kedua saya alami saat saya mengikuti Summer Institute in American Studies yang di-helat di Chinese University of Hong Kong pada Juli-Agus-tus 1996. Bagi saya, tinggal sekitar dua bulan di negeri eks-dominion Inggris itu memahatkan kisah tersendiri tentang makan(an).
Yang terlintas sebelum masuk negeri itu adalah masyarakat beretnis Tionghoa, dan sering dikonotasikan dengan kebiasaan mereka mengonsumsi daging babi. Sebagai muslim, ibaratnya saya sudah pasang kuda-kuda, bahwa saya mesti berhati-hati dalam memilih makanan. Dalam keyakinan saya, babi dan segala produksinya haram untuk dimakan.
Itulah sebabnya, tatkala pertama kali saya—bersama dua perwakilan Indonesia yang lain—datang di apart-emen kampus CUHK, saya langsung survei makanan di resto kampus. Dari belasan meter saja aroma masakan sudah menusuk hidung. Bau “kelewat sedap”-nya begitu tajam. Sedapnya bawang putih (garlic)—kata Rhoma Irama—benar-benar “terlalu”!
Saya baca daftar menu makanan dan minuman. Ham-pir semua menu yang ditawarkan, salah satu resepnya adalah bawang putih; dan tak meninggalkan campuran daging atau minyak babi. Bukan itu saja. Di meja makan masih tersedia nampan kecil yang memuat tiga tube garam lembut, bubuk merica, dan bubuk bawang putih—untuk persiapan kalau pelanggar ingin menambahkan-nya ke makanan pesanannya.
Bawang putih, kalau hanya secuil, sebutlah untuk pelengkap sambal terasi, tentu lidah saya bergoyang-goyang. Namun, jika saya harus menyantap makanan de-ngan bumbu bawang putih porsi banyak, plus persediaan di meja makan, tentu bisa membuat perut mual. Saya tidak bisa meniru pelanggan lain di sana yang dengan antusias menaburkan bubuk bawang putih (garlic), ga-ram dan merica pada sup atau mie yang masih kedul-kedul, untuk kemudian disantapnya.
Tak pelak, saya menemui manajer resto itu. Saya memesan makanan secara khusus. Saya memesan nasi goreng, dengan syarat begini: Sebelum memasak, wajan harus dibersihkan dan dicuci—termasuk agar terhindar dari sisa minyak babi, misalnya. Saya tidak mau daging, kecuali ikan laut dan telor; dan minyak gorengnya khusus minyak tumbuhan (jagung). Intinya, saya ingin makan nasi goreng halal. Meski lebih mahal, pesanan saya juga saya bayar.
Sebagai salah satu dari 32 peserta dari bangsa-bangsa Asia, saya juga berkesempatan jalan-jalan di akhir pekan. To my surprise, ternyata restoran-restoran yang saya jumpai di sepanjang jalan, juga menebarkan aroma rasa garlik yang menyengat. Mie, dengan berbagai jenis, me-rupakan makanan utama yang tak lepas dari aroma garlik itu.
Itulah sebabnya, tak jarang, selama city tour di ber-bagai penjuru Hong Kong, termasuk ke Pulau Lamma (di wilayah selatan), saya lebih suka membekali diri dengan roti dan susu. Itu agar saya tidak tergoda makan di sembarang restoran—yang tak steril dari bahan makan-an yang haram. Barulah, ketika masuk ke kampus, saya memesan nasi goreng, mie, atau makanan lain—dengan syarat proses memasaknya sebagaimana saya singgung di atas.
Alternatif lain, saya memasak sendiri di kamar apartemen ketika ada waktu yang cukup, terutama di akhir pekan. Maklum, saat itu sehari-hari saya harus aktif dalam kuliah tentang Budaya Amerika—dengan segala pernik-perniknya—dan harus tampil presentasi tiga kali dalam sepekan. Hampir tiada waktu longgar—kalau ti-dak untuk membaca, ya membuat paper; dan hanya saat jenuh saja saya jalan-jalan ke kota atau mencari angin di taman-taman.
Meski hanya tinggal sekitar dua bulan di Hong Kong, rasanya sangatlah lama, bahkan terasa lebih lama di-bandingkan masa tinggal saya di Amerika Serikat pada 1993—ketika saya mengikuti International Writing Program di University of Iowa. Di Amerika saya tidak pernah berkesulitan tentang makanan, mengingat Negeri Paman Sam itu juga dihuni oleh migran-migran dari seluruh dunia—sehingga makanan begitu beragam. Di resto-resto kampus malah disediakan berbagai menu makanan halal.
Dua bulan di Hong Kong, saya benar-benar tersiksa, kalau sudah dihadapkan dengan urusan makan. Terlebih, di antara kesibukan peserta yang begitu padat, tak jarang semua peserta diajak untuk acara makan. Pada saat ini-lah saya biasa ekstra hati-hati dengan suguhan menu yang dihidangkan. Jangan sampai saya menyantap ma-kanan yang tak halal.
Saya tidak pernah sehati-hati ini. Di Surabaya, apalagi, saya tidak pernah menggubris apakah makanan yang di-sediakan di warung tenda atau restoran itu halal atau haram. Saya hanya menduga, hewan yang dagingnya un-tuk makanan yang dijual itu telah disembelih atas nama Tuhan. Aneh, memang, di negeri orang saya terlalu ber-hati-hati tentang kehalalan makanan—sementara di ne-geri sendiri saya sering cuek dan menduga semua daging itu halal.
Begitulah gegar budaya makan saya di Hong Kong, yang menyita perhatian saya untuk melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan warga Hong Kong secara um-um. Sungguh, jika itu tentang rasa, bolehlah saya menye-suaikan diri dalam waktu relatif pendek. Namun, urusan halal-haram makanan pastilah membuat saya kelim-pungan, dan perlu waktu cukup untuk hidup dengan kondisi demikian.
Nah, sekarang, jika Anda punya pengalaman serupa, jangan hanya pasang senyuman. Segera ambil bolpoin, bikin catatan poin-poin pengalaman itu, buka laptop, dan tuangkan semuanya di sana. Jangan berhenti mengetik hingga Anda mencapai 6500—7000 karakter. Kalau su-dah selesai, barulah Anda boleh tersenyum dan berbinar-binar. Senangnya tuh di sini.*
Terima kasih Abah Khori atas artikelnya yg memberi wawasan baru dan terus Menginspirasi kami.
Tahulah seorang pegiat literasi ujung- ujungnya pesan sponsor untuk selalu menulis. Saya menikmati saja tulisan ini sbil tersenyum karena saya sedang berusaha menulis pengalaman menarik walau tidak sampai 6000 kata. Salut pak Haji tulisannya selalu menginspirasi….. salam literasi
6500kata? Panjang sekali itu Pak.
Membaca tulisan Bapak, ikut merasakan rumitnya urusan makan di negeri orang, jangan-jangan Bapak sampai turun banyak berat badannya.
Tapi, yg bikin saya ngiler, ada kata bothok. Jadi inget bothok buatan ibu saya (alm): bothok tawon, bothok manding, dll.
Gegar budaya dan gegar rasa yang pernah saya alami, ketika saya dua tahun di Malaysia dan ketika saya menikah dengan suami yg asli Bekasi dgn suku Betawi sedangkan saya asli Jawa, lahir dan besar di Jawa tengah Purworejo. Bahkan kami blm pernah mengenal satu sama lain sebelumnya. Dua kali bertemu langsung dilamar dan menikah.
CALISTUNG itulah hajatan sebelum Pandemi di kota Pahlawan. Tiap tahun gaung kelas 3 yang naik kelas 4 SD di tahun yang sama, selalu disuguhkan Uji Kompetensi Dasar di samping Unas/US siswa kelas VI yang dikelola oleh Pemerintah. Sejak Pandemi … hilang sudah. Saat ini muncul ANBK untuk SD diperuntukkan kelas V tahun 2021 yang digagas saat siswa kelas 4 tahun lalu. Ending semua itu adalah Untuk mencari tahu Memba(ca), Menu(lis), Berhi(tung). Setelah itu akan menjadi kajian semua pihak dari Lembaga Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi. Saat ini Gencar Literasi Numerasi. Akhirnya apa ? Kembali lagi CALISTUNG. Mengingat : Pohon Dasar Kehidupan Manusia berawal dari Iqra’ (BaCAlah), TuLISlah, dan HiTUNGlah. Selamat kepada pak Khoiri, yang tak pernah lelah mengajak, mengajak, dan mengajak.
Aku belum bisa sepertimu.
Aku akan berusaha.
Aku atau untuk orang lain.
Terima kasih.
Mohon maaf.
Wah ternyata ada culture shock dalam hal makanan juga ya. Terima kasih Pak Doesen tulisannya informatif dan menghibur hehe…
Tersenyum boleh dong Pak, jangan kuatir saya akan tuangkan apa yang menjadi pengalaman saya tidak saja soal kuliner yang bikin gegar budaya makan. tapi juga topik yang lain. ah gaya juga ya saya ini. jangan-jangan nanti saya gak bisa menepati janji.
Have you ever thought about publishing an ebook or guest authoring on other blogs? I have a blog based upon on the same ideas you discuss and would love to have you share some stories/information. I know my viewers would appreciate your work. If you’re even remotely interested, feel free to send me an email.
Serious Use Alternative 1 sunitinib and chlorpromazine both increase QTc interval losartan and viagra Certain medicines, like antihistamines, can lead to overall dryness in the body
I got good info from your blog
This penalty porn embody viewing data on the Main web page porn manga porn or inside the hyperlinks on that page. Kevin Spacey forcibly put a man’s
This penalty porn embody viewing data on the Main web page porn manga porn or inside the hyperlinks on that page. Kevin Spacey forcibly put a man’s
He what cause your blood pressure to be low said here, looking at Rogge and Flora, This kind of underground reconnaissance is very difficult, but magicians are all how long sartan blood pressure medicine to breath to lower blood pressure kinds of tricks, at least most of the magician pets are reconnaissance type propecia viagra combined
priligy buy online usa Results are gradual with no direct joint effects
fenofibrate 160mg tablet order fenofibrate 160mg buy generic fenofibrate
tricor where to buy buy fenofibrate 200mg pill buy fenofibrate 200mg sale
zaditor us ziprasidone 80mg uk buy imipramine 25mg sale
tadalafil 20mg pills viagra canada viagra medication