MANUSIA YANG HIJRAH KULTURAL

Oleh Much. Khoiri

Dalam tulisan sebelumnya, diskusi telah diarahkan untuk menjelajahi rasional mengapa guru kreatif wajib menulis—suatu sikap dan perilaku budaya sebagai perwujudan dari idea (gagasan) manusia yang berhijrah kultural akibat dahsyatnya teknologi komputasi-data dan era disrupsi. Kali ini diskusi dimaksudkan untuk mengupas bagaimana dua kekuatan besar mengkondisikan manusia untuk berhijrah kultural.

Sumber gambar: Dok Pribadi

Telah disinggung sebelumnya bahwa ada kekuatan arus besar dalam peradaban manusia global, yakni hadirnya teknologi komputasi-data sebagai akibat langsung kemajuan internet dan teknologi digital, dan dahsyatnya era disrupsi. Dua kekuatan arus inilah yang mengkondisikan adanya manusia yang mengalami hijrah kultural, yakni manusia yang bertransformasi secara kultural, baik sebagian maupun keseluruhan, menuju kehidupan normal baru.

Berkat dua kekuatan arus itulah manusia terkondisikan untuk beradaptasi dengan tantangan hidup baru, sebab jika tidak, mereka akan mati tergilas oleh jaman atau tertinggal dari peradaban maju. Jadi, hijrah kultural merupakan sebuah keniscayaan sikap budaya yang harus ditempuh dan dihayati. Boleh dikatakan, hijrah kultural adalah suatu harga mati yang harus dibayar dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Hijrah kultural adalah transformasi dan bahkan boyongan (mutasi) dari arus besar budaya sebelumnya ke arus budaya baru. Budaya baru yang mana? Yakni budaya yang dihasilkan dan dikembangkan dalam era disrupsi yang demikian dahsyat di segala bidang. Era disrupsi dengan perubahan masif dan cepat dengan pola tak terduga, penuh ketidakpastian, adanya kompleksitas relasi antar penyebab perubahan, serta adanya ambiguitas arah perubahan membuat manusia mau tak mau harus menerima budaya baru.

Pertanyaannya, dalam bentuk apakah hijrah kultural itu sendiri? Menggunakan kerangka konseptual J.J Hoenigman (dalam Koentjaraningrat, 2000), hijrah kultural itu bisa dipetakan dalam tiga wujud kebudayaan: wujud ide, wujud aksi/tindakan, dan wujud artefak (produk, karya) budaya. Pertama, wujud ideal budaya yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak. Wujud budaya ini terletak dalam pemikiran  masyarakat.

Contohnya, dalam konteks pendidikan, guru memiliki tekad sejak dalam pikiran (budaya idea/gagasan) begini: “Dalam menghadapi canggihnya digitalisasi dan era disrupti, saya harus kreatif, inovatif, dan adaptif.” Statemen ini sudah termasuk budaya dalam tataran pemikiran dan masih bersifat abstrak, namun sangat menentukan dua wujud budaya lainnya. Ini identik dengan mindset. Tanpa mindset ini, tindakan dan artefak budaya baru tak akan terwujud.

Kedua, aktivitas (tindakan) adalah wujud budaya sebagai suatu tindakan berpola manusia dalam sistem sosial, yang bersumber dari budaya idea/gagasan. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinterkasi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu berdasar adat tata kelakuan. Tentu, pola tindakan manusia sangat beragam.

Dalam hal ini, untuk mewujudkan budaya ideanya, manusia melakukan aksi atau tindakan seperti ini: “Saya bergaul dan berinteraksi dengan sesama menggunakan alat-alat canggih. Dalam keseharian saya tidak bisa terlepas dari telepon seluler (ponsel) berbasis Android—dengan aneka aplikasi yang serba memudahkan hidup. Saya harus belajar go millenial. Saya menggunakan WA, telegram, go food, gojek, go send—juga memanfaatkan MS Teams, Zoom, Google Meet.”

Ketiga, artefak adalah wujud budaya fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua warga masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sebagai guru, manusia akan menghayati ungkapan ini: “Saya kreasikan artefak/produk budaya dalam dunia pendidikan dan pembelajaran untuk siswa digital native (generasi milenial): yakni konten-konten youtube, website/blog, instagram, facebook, twitter, dan sebagainya.” Produk-produk budaya ini urgen diwujudkan untuk mengimbangi situasi mendesak oleh karena adanya siswa-siswa digital native yang maju.

Dalam praktik, wujud-wujud budaya itu tak terpisahkan alias saling terkait satu sama lain. Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa wujud budaya ideal mengatur dan memberi arah kepada budaya tindakan dan budaya artefak. Sesuai elaborasi di atas, karena guru bertekad untuk beradaptasi dengan teknologi komputasi-data dan era disrupsi, maka mereka harus hijrah kultural mulai tataran ide untuk menjadi kreatif, inovatif dan adaptif, lalu tataran aksi untuk hidup dengan alat-alat canggih, hingga tataran artefak yang berupa hasil karya kreasi.

Sekarang, marilah introspeksi diri di manakah posisi kita pada kerangka hijrah kultural tersebut? Apakah kita berada pada tataran ide, tataran aktivitas (tindakan), ataukah tataran artefak (karya)? Praktisnya, apakah kita baru memulai, sedang menjalani, atau sudah terbiasa mengalaminya? Ataukah ada di antara kita yang—entah sengaja atau tidak— masih berada di luar kerangka itu? Marilah jawab pertanyaan ini dalam diri masing-masing.[]

*Much. Khoiri adalah dosen, penggerak literasi, blogger, youtuber, editor, penulis buku dari Unesa Surabaya; Ketua PGRI SLCC Kota Surabaya Tulisan ini pendapat pribadi.

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, penggerak literasi, blogger, editor, penulis 70 buku dari Unesa. #Kitab Kehidupan (Genta Hidayah, 2021). #Menjerat Teror(isme) (Uwais Inspirasi Indonesia, 2022)

6 thoughts on “MANUSIA YANG HIJRAH KULTURAL”

  1. Sri Andayani says:

    Bagus sekali pak. Ide kreatif pak Khoiri tentang transformasi budaya atau hirah kultural yang meliputi tiga hal yaitu: wujud pemikiran, wujud aktifitas, dan wujud artefak sangat menggugah para penulis terutama guru agar segera termotivasi untuk bergerak melakukan sesuatu perubahan mininal untuk kemampuan dirinya juga pada spektrum yang lebih luas pada lingkup bidangnya yaitu siswa, sekolah, dan juga masyarakat.

    1. Much Khoiri says:

      Bu Sri, terima kasih atas tanggapan yg bagus

  2. Hariyanto says:

    Saat Pandemi ini adalah saat tepat untuk guru dan banyak orang bertransformasi……dari sisi budya semua diawali dari sebuah ide atau midnset, lalu dibungkus kreatifitas dengan tehnologi dan diwujudkan dwalam karya kreatifnya……Jika demi siswa dan kemajuan belajarnya, tentunya akan muncul ratusan bahkan lebih ide itu …pertanyaannnya posisi kita saat ini ada dimana ? Betul ini renungan luar biasa dari tulisan ini yang bisa mengetuk kesadaran para guru (mestinya). Semoga. Terimakasih mantap tulisannya Prof. semoga menuju sasarannya seperti anak panah yang dilesatkan oleh pemanah kita di Olimpiade Jepang kemarin. Aamiin.

    1. Much Khoiri says:

      Aamiin. Semoga ini menjadi momentum penting

  3. Sintani Fina Sari_EL20A_016 says:

    Memiliki pengajar atau dosen seorang penulis, biasanya meninggalkan kesan kagum tersendiri untuk para anak dididknya.
    Semoga Pak Choiri selalu diberi kesehatan dan terus berkarya.

    1. Much Khoiri says:

      Terima kasih, Sintani. Ayo terus belajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *