Oleh Much. Khoiri
Tahun-tahun akhir 1980-an, ketika belajar menulis, mesin ketik adalah alat paling canggih yang saya gunakan. Saat itu saya berjuang menembus surat kabar dengan sekitar 20 artikel per bulan, ya menggunakan mesin ketik. Entah di tempat kos, di sekretariat kemahasiswaan, atau di kantor keluarahan, selagi harus menulis dan ada mesin ketik, di situlah tangan beraksi.
Bahkan, tatkala ikut International Writing Program, pada bulan pertama tinggal di Iowa City tahun 1993, sebelum membeli laptop, saya masih menggunakan mesin ketik untuk menulis. Itu pun mesin ketik sewaan. Barulah setelah menginjak bulan kedua di sana, saya mengetik dengan laptop—Apple Macintosh seri 145B.
Sekarang, mesin ketik adalah kenangan–di mata anak milenial, ia mungkin tidak pernah dilihat, bahkan tak pernah terdengar. Beberapa tahun silam saya masih melihat mesin ketik di sebuah kantor, namun hanya untuk membantu mengetik pada kwitansi untuk keperluan SPJ. Sekarang, agaknya ia sudah lenyap ditelan masa.
Saya sendiri juga tidak memilikinya lagi sekarang, sebab mesin ketik saya, terakhir dipakai adik saya untuk kuliah pada tahun 1990-an, lalu dipinjam temannya untuk dibawa kabur. Pengemplang ini benar-benar tidak tahu sejarah bagaimana saya mendapatkan mesin ketik itu: Bahwa saya membelinya dari honor menulis artikel opini tentang “Metropolitanisasi dna Kemanusiaan” di harian sore Surabaya Post, sejumlah 60ribu, dan saya tambah beberapa wesel pos dari Karya Darma, Surya, dan Swadesi, dan sebagainya.
Siapakah masih punya mesin ketik? Ini pertanyaan khusus untuk generasi saya atau di atas saya, yang dulu sangat berutang budi atas kebaikan dan kemuliaan mesin ketik. Sebuah pertanyaan untuk kita yang dalam satu atau dua dasawarsa lagi dianggap generasi tua. Sebuah pertanyaan untuk menggugah kenangan yang gemilang.
Hanya itu.
Kabede, 7/4/2021
Dulu saya bisa ngetik 10 jari tanpa melihat tuts. Di sekolah ada pelajaran mengetik.
Hebat itu, B Min. Tapi kalau dg saya. Saya pakai jari 11, artinya nya dua jari (satu kiri dan satu kanan).
Hem… Jika mengingat mesin ketik…jadi ingat Karangrejo Sawah …hehehe… Nostalgia
Itu saja…
Betul sekali. Ada Amirul, Ms Syifa, Daifi, dll.
Mr. Emcho mengingatkan saya ketika jadi guru PNS th 1989 membuat soal ulangan semester menggunakan mesin ketik di kertas kuning sy lupa namanya. kalau salah kita tip.ex warna merah. Untuk kita pasang di mesin rool Cetak dg diputar tangan dan kita plototi tinta hitam untuk cetak soal beberapa puluh.
Nah, itu biasa kalau kita mau cetak soal ujian. Harus bantu mutar.
Saya punya Pak. Banyak. Dijual soalnya… hehehe…
Mesin ketik bagi saya dulu adalah kepala Kereta api yang akan berbunyi “ting” saat sampai di stasiun kereta.