Oleh: Much. Khoiri
MENULIS –menuangkan pikiran, perasaan, pengalaman ke dalam tulisan– bisa diibaratkan menanam benih tumbuhan. Benih yang baik akan tumbuh baik, benih yang cacat juga akan tumbuh cacat. Tatkala berbuah, buahnya pun akan sesuai kualitas benih yang ditanam.
Setidaknya, begitulah pengalaman saya membantu Bapak bertani di desa sewaktu remaja dulu. Benih padi yang kami semaikan, lalu kita tanam, siangi, rawat, beri pupuk, airi secukupnya, dan sebagainya–hasilnya memuaskan. Namun, sebaliknya, kami pernah gagal panen akibat pemilihan benih yang salah.
Gagal panen juga terjadi akibat perawatan yang kurang bagus, dan serangan hama. Jika kurang dirawat, sepetak sawah tanaman padi bisa ditumbuhi rumput teki di sana-sini. Hama semacam belalang atau wereng juga berdatangan. Tidak peduli, meski tanaman padi itu berasal dari benih bagus, semuanya akan amblas hanya dalam beberapa malam.
Begitulah, menulis itu ibarat menebarkan benih di sawah-sawah pikiran dan jiwa pembaca. Bayangkan, berapa hektar keluasan sawah-sawah itu. Anggap saja sawah-sawah itu subur dan siap ditanami berbagai benih tanaman. Apa pun akan tumbuh di sana, sesuai apa yang disemaikan atau ditanam.
Maka, dengan menulis, mari tanam benih kebaikan di mana-mana. Berapa ribu atau juta (sawah) pembaca yang kita inginkan? Terus tebarkan kebaikan itu. Kita tebarkan kebaikan dengan cara yang benar, santun, dan beradab. Kemudian, kita rawat pula dengan kebaikan, juga lewat tulisan, juga dengan benar, santun, dan beradab.
Menulis memang bisa tentang apa saja, sama dengan menanam: juga bisa menanam apa saja. Namun, jika sama-sama menghabiskan tenaga-biaya-dan-pikiran, mengapa perlu menanam benih fitnah dan kebencian? Orang sah-sah saja menulis buku “7 Hari Mahir Mengaji” atau “7 Hari Mahir Jadi Hacker” misalnya, namun nilai kemanfaatannya akan berada di nomor pertama.
Tulisan tidak akan berhenti hanya pada tumbuh di sawah pembaca. Amat boleh jadi, amanat tulisan akan berkembang dan dikembangkan lebih lanjut–mungkin menjadi ungkapan dan tulisan baru. Ada semacam “multilevel marketing” amanat tulisan. Penyebarannya akan sangat dahsyat, terlebih di kalangan penulis. Juga di era digital begini, sebuah tulisan bisa beranak-pinak dalam waktu hitungan jam.
Bayangkan, berapa “anak-cucu” tulisan yang muncul dari buku tentang mahir mengaji. Mungkin puluhan atau ratusan, mungkin muncul di fesbuk, instagram, blog, website atau calon buku. Lalu, tulisan-tulisan itu akan menginspirasi banyak orang lagi. Subhanallah, betapa indahnya benih-benih kebaikan itu bertebaran di mana-mana. Semuanya akibat satu kebaikan yang kita tulis dalam buku ” 7 Hari Mahir Mengaji” tadi.
Sebaliknya, bayangkan, berapa orang yang akan mengembangkan tulisan tentang “7 Hari Mahir Jadi Hacker” itu. Jangan remehkan, jumlahnya juga bisa tak terduga alias banyak. Terlebih, hacker itu bukan sekadar untuk iseng, melainkan bisa digunakan untuk mencari uang. Bertumbuhlah orang-orang yang menebarkan ilmu hacker. Dan, itu juga akibat “ilmu” yang ditulis dalam buku “7 Hari Mahir Jadi Hacker”. Jika kita berada di pihak ini, siap-siaplah menangis sepanjang waktu.
Menulis tentang mengaji atau hacker, tentu sebuah pilihan. Namun, saya tegas memilih yang tentang mengaji. Maksudnya, saya memilih menulis tentang kebaikan. Sama-sama mengeluarkan energi-biaya-pikiran, namun menulis kebaikan akan berbuah kebaikan. Jika ada yang memilih menulis tentang hacker, silakan, saya menghargainya. Mari kita terima dan tanggung akibatnya sendiri-sendiri.
Mungkin perlu kita camkan bahwa menanam padi di sawah yang baik pun ksdsng akan tumbuh rumput di sana. Maka, perlu kita menyiangi dan merawatnya. Namun, sebaliknya, menanam rumput di sawah paling subur pun, tidak akan tumbuh padi.
Jika kita menulis kebaikan, mungkin ada efek-efek yang kurang menyenangkan, itu biasa, sepanjang lebih banyak yang mencintainya. Jika kita menulis tentang kebencian dan hoax (berita bohong), kebaikan apakah yang bisa dipetik selain kebencian itu sendiri?
Maka, sekarang, semua pilihan berada di tangan kita, memilih menulis tentang kebaikan ataukah non-kebaikan. Masing-masing memberikan risiko dan konsewensi yang panjang dan berkelanjutan. Mudah-mudahan Allah melimpahkan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kita dalam berkarya.[] (copyrights@much.khoiri).
Benar… Begitulah adanya… Semoga Allah senantiasa memampukan kita semua untuk tetap istiqamah dalam menebarkan kebaikan…
Mantap, Terima kasih Pak, In Syaa Allah akan terus belajar
Semoga kebaikan saja yang kita tanam dalam tulisan kita. Aamiiiin
Kenangan saat ‘dadak suket’… Sebuah simbol bahwa sebuah ketidakbaikan selalu mengiringi kebaikan. Kita tidak menginginkan dia ada, tapi tetap ada.
Sungguh banyak teladan pada aktivitas bertani…
Matur suwun.