Oleh: Much. Khoiri
Berikut ini adalah sebuah refleksi. Pada sepertiga malam ini sebuah pertanyaan membuatku terperangah: “Sudahkah kau mengenal diri sendiri?” Setelah itu, istighfar mengiringi air mata yang meleleh dan membasahi pipi. Selepas subuh, saat aku berkonsultasi, Guruku malah menjawab: Mengenal diri sendiri itu dasar, pondasi, bagi mengenal Allah. Sabda Nabi SAW, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.”
Masih kata Guruku, maksud ‘mengenal’ di sini bukan hanya mengetahui nama dan rincian identitas diri dan cirikhas fisik, melainkan juga mengakrabi dimensi ruhaniah. Komplitnya, jasmaniah dan ruhaniah. Aku terpana menyimak penjelasan Guru. Baiklah, aku sederhanakan maksud beliau.

Sumber gambar: kaligrafiaksarajawa.wordpress.com
Aku, katanya, terdiri atas tiga unsur, yakni jasad (raga), ruh, dan jiwa. Jasadku jelas, bentuk wadag (fisik) dariku mulai ujung rambut hingga ujung kaki. Ini kesing (casing) yang kuperoleh dari orangtuaku. Jasadku tidak tinggi dan besar; karena Tuhan mengirimkan aku ke rahim ibuku (orang Jawa) yang memang berukuran sedang. Andaikata aku terkirim ke orangtua dari Tanah Arab, aku akan kelihatan lebih tinggi dan ganteng khas orang Arab.
Aku memiliki ruh atau nyawa (bahasa Arab: ruh; bahasa Inggris: spirit), yang ditiupkan Tuhan ke jasadku sejak aku 120 hari dalam kandungan ibu. Ruhku ibarat baterei bagi sebuah ponsel atau laptop, atau energi listrik, untuk menghidupkanku. Orang menyebut ruhku sebagai ruh al-hayat (ruh hidup). Jadi, ruhku berfungsi sebagai daya hidup bagi jasadku. Dilengkapi dengan ruh al-hayawan dan ruh al-insan. Sepanjang ruhku masih bersemayam, alias belum dicabut dari jasad, maka jasadku masih hidup.
Lalu, bersama ruh, aku punya jiwa (bahasa Arab: nafs; bahasa Inggris: soul). Jiwa ibarat program atau menu bagi sebuah ponsel atau laptop. Betapa pentingnya jiwa itu. Wujudnya abstrak dalam pemahaman manusia, sejalan Firman Allah SWT: Ruh itu urusan Tuhan; manusia diberi pengetahuan hanya sedikit. Namun, juga dipahami bahwa jiwa itu kendaraan bagi eksistensi ruh dalam diri.
Lalu, Syech Muhammad Bahauddin Naqsyabandi mengidentifikasi menjadi tujuh nafs, yakni nafs amarah (latifah nafs natiq), nafs lawwamah (latifah qalbi), nafs mulhimah (latifah ruh), nafs muthmainnah (latifah sirri), nafs mardhiyah (latifah khafi), nafs kamilah (latifah akhfa), dan nafs rodhiyah (latifah qolab/kullu jasad).
Kehadiran jasadku penting untuk menampung ruh bersama jiwa. Di alam naasut (alam yang tampak mata, alam mulk) ini ruh bersama jiwaku eksis ya karena adanya jasadku. [Di alam malakut, jabarut, dan lahut, jasad tidak diperlukan kehadirannya.] Tatkala jasadku layu dan kemudian mati, di mana lagi ruh dan jiwaku akan bersemayam kecuali harus pergi? Karena itu, merawat jasad itu juga penting adanya.
Mengenal diri sendiri adalah mengetahui bahwa dalam diri tersimpan jiwa (nafs) dengan tujuh latifah yang ada. Ada anasir-anasir binatang dan setan di dalam diri ini; namun juga ada benih-benih anasir ke-Tuhan-an. (Manakah yang lebih subur berkembang di dalam diri, inilah yang penting dijawab dengan sepenuh kesadaran.) Dengan mengenal semua itu, aku bisa mensucikan diri dari anasir binatang dan setan, guna menemukan anasir ke-Tuhan-an.
Kata Guruku, dengan berdzikir sebanyak-banyaknya, dengan tarekat (jalan, metode) tertentu bimbingan mursyid kamil mukamil, aku bisa belajar mensucikan diri dari anasir binatang dan setan. Pada masanya, tatkala nafs-nafs bersih dan suci, aku kembali menjadi sosok yang suci sebagaimana pertama kali aku ditiupkan ke dalam rahim ibu.
Di sanalah aku berpeluang untuk mengenal Tuhan, bukan hanya lewat asma-Nya atau sifat-Nya, melainkan juga dzat-Nya. Jika hanya mengenal asma-Nya, itu mudah, tinggal mengucapkan belaka. Namun, mengenal dzat-Nya adalah mengenal dimensi ruhaniah-Nya, yang terhantarkan oleh mata-rantai ruhaniah emas para mursyid kamil mukamil. Sungguh, aku ingin dianugerahi wushul (sampai) kepada Allah, tujuan sangat penting dalam perjalananku sebagai musafir.
Allah itu dekat dengan manusia; bahkan lebih dekat dengan urat leher. Namun, jika aku tidak wushul, bagaimana mungkin aku bisa mengenal-Nya, dan bertemu dengan-Nya secara ruhaniah? Aku benar-benar bodoh dan lemah. Terbayanglah betapa indahnya jika impian persuaan dengan-Nya menjadi kenyataan.
Pertanyaannya, kapankah aku mengenal diriku sendiri dengan sesungguhnya? Sebuah pertanyaan terberat dalam hidupku yang jawabannya sebenarnya sudah aku ketahui, yakni minta bimbingan guru mursyid kamil mukamil. Namun, untuk melakoninya, perlu perjuangan untuk belajar menghapus hubbuddunya (cinta dunia) dan belajar mencintai akhirat. Sungguh.*
*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Buku terbaru “Kitab Kehidupan: Minum Kopimu, Baca Dirimu, Temukan Fitrahmu, Hayati Hidup Baru” (2021).
Waduhh… Dalem sekali… Tinggi sekali ilmunya… Semoga Allah senantiasa memampukan saya, dan kita semua untuk menggapai rida Illahi… Dan mempertemukan kita semua dijauhkan jannah-Nya…
Aamiin… Thanks… Barakallah…
Matur niwun sanget. Tanggapan yang inspiratif
Waduhh… Dalem sekali… Tinggi sekali ilmunya… Semoga Allah senantiasa memampukan saya, dan kita semua untuk menggapai rida Illahi… Dan mempertemukan kita semua di jannah-Nya…
Aamiin… Thanks… Barakallah…
Ulasan yang keren pak. Tambah ilmu.
Terima kasih.
Teeima kasih banyak, Pak Pardi. Salam sehat, salam kreatif