MEMBINCANG ASESORIS RAMADAN

Oleh Much. Khoiri

MARILAH melakukan refleksi dan memetik hikmahnya: Semua ini telah terjadi di kawasan antah berantah—jika sama dengan di kawasan Anda, mungkin sebuah kebetulan belaka. Sejak tahun 1999 keluarga saya menghuni kawasan itu, semua berlangsung hampir sama dari tahun ke tahun—nyaris laksana menyetel ulang sebuah kisah monoton dan membosankan tentang asesoris Ramadan.

Mengapa asesoris? Asesoris itu perhiasan, pelengkap, gebyar, menonjolkan tampilan permukaan. Asesoris juga lebih mengandalkan kulit dan kemasan dan karena itu bisa menyilaukan mata yang memandangnya. “Kebenaran” hanya yang tampak di pelupuk mata. Namun, asesoris tentulah bukan subjek yang menyandang atau ditempeli asesoris itu sendiri. Asesoris bukan hakikat, namun hanya permukaan!

Sumber gambar: Boneterkini.id

Begitulah apa yang terjadi di kawasan antah berantah tempat keluarga saya hidup berbaur bersama setiap Ramadan tiba. Kebanyakan orang hanya berburu dan mengenakan asesoris Ramadan. Di kawasan Anda mungkin tidak ada dan tak akan pernah ada, namun di kawasan saya sungguh ada. Jika sama-sama ada, agaknya Tuhan telah sengaja memungkinkan simpul-simpul kebetulan. Kejadian transendental yang absurd, bukan?

Tengoklah, teman budiman, di kawasan saya, setiap menjelang Ramadan, orang-orang seakan berlomba menggelar ritual-ritual dengan berlebihan. Sehari sebelum puasa, antarkelompok ormas gontok-gontokan menentukan hari pertama puasa. Selamatan digelar, yang lain menentangnya. Pada hari itu banyak makanan yang ‘mambu’ (membusuk) akibat melimpahnya makanan di mana-mana. Shadaqoh yang tak menemui sasarannya.

Jangan ikut mendebat mereka dalam konteks ini. Mereka sudah siap dengan beraneka kutipan dari Alquran atau Al-Hadis, yang kerap diambilnya dengan sepenggal-sepenggal dan tidak utuh. Mereka sangat yakin bahwa semua itu diniatkan untuk ber-shadaqoh—entah makanan itu membusuk atau entah dimakan orang, dicampakkan dari tafsiran akal dan kalbunya. Segala amal bergantung pada keikhlasan niat, itu saja pentingnya.

Lalu, ibadah tarawih, setiap masjid dan mushala berlomba kencang-kencangan dalam mengeraskan speaker-nya. Padahal jaraknya berdekatan, hanya puluhan meter saja. Dengan alasan syiar, banyak jemaah yang suka memekakkan telinga orang lain lewat speaker. Demikian pun saat tadarus—volume speaker disetel maksimum. Dari jarak ratusan meter bisa terdeteksi siapa yang membaca Alquran itu—ada yang fasih, ada yang gratul-gratul, namun yang penting: baca keras dan menyebar ke seluruh kawasan.

Pernah mereka ditegur secara halus dan sopan: jangan tadarusan semalam suntuk, karena itu bisa mengganggu masyarakat umum. Banyak orang yang perlu istirahat atau berzikir. Eh, mereka malah tersinggung dan marah, serta menganggap si pengingat sebagai penentang. Padahal, terbukti pada kali lain, mereka tidak mau bertadarus tatkala speaker yang biasanya mereka gunakan itu mati.

Selain itu, mereka makan sahur dan berbuka puasa, sama lahapnya mereka menyantap sarapan pagi dan makan malam. Tidak ada bedanya dalam jumlah porsinya, bahkan kerap kali lebih banyak dan beragam. Bukan hanya pindah waktu makan, justru memanjakannya. Puncaknya, sepanjang Ramadan, mereka bukan lebih banyak prihatin dan zuhud, melainkan malah jauh lebih berfoya dan konsumtif.

Jangan kira mereka tidak menunaikan salat tarawih. Sungguh, mereka juga cukup rajin ikut rame-rame salat tarawih, setidaknya pada hari-hari awal Ramadan. Mereka juga menyimak kultum kiai dan ustad di sela-sela salat tarawih dan salat witir. Namun, begitulah, semua hanya untuk menggugurkan ‘kewajiban’ menjalankan ibadah. Semua hanya asesoris.

Mereka melihat bahwa shaf salat di masjid makin hari makin sedikit menjelang Idul Fitri. Mereka hanya merasa maklum dan mencari-cari pembenaran. Toh orang perlu ber-shopping untuk keperluan lebaran, justru pada saat berangkat ke masjid untuk salat Isya’ dan tarawih. Mereka bikin ruhsah sendiri. Maka, berjalan-jalan di mal seakan lebih penting dari pada bersujud di lantai masjid.

Ya, ya, ya, begitulah asesoris Ramadan. Mereka yang tinggal di kawasan antah berantah tempat keluarga saya tinggal sejak 1999. Setiap ritual ibadah Ramadan dijalankan hanya sebagai asesoris, pelengkap, perhiasan, pelengkap, gebyar, hanya mementingkan tampilan permukaan. Alangkah eloknya dan wah di mata manusia. Mereka hidup dalam dunia seolah-olah.

Jika salat berjamaah, suara speaker dikeraskan, seolah-olah hanya merekalah yang menjalankan salat itu. Tadarus juga di-pol-kan suaranya, seolah-olah hanya mereka yang paling bagus tajwidnya. Mereka tunjukkan lemesnya badan atau keringnya bibirnya, seolah-olah hanya mereka yang berpuasa. Seolah-olah mereka mengharapkan pujian manusia. Mereka lupa, setiap malam mereka mengucapkan niat ibadah dengan ‘demi Allah’ semata—namun nol nilainya dalam amalnya.

Belum lagi jika menjelang Idul Fitri tiba. Mereka saling berebutan untuk mengklaim bahwa penentuan hari H-nya yang paling benar adalah ketetapan yang mereka buat. Semua merasa paling benar, sementara yang lain salah. Bahkan, tak jarang ada yang saling mengafirkan satu sama lain. Mereka lupa, bahwa hanya Allah yang Maha Tahu atas segala rahasia.

Padahal, seharusnya menjalani ibadah Ramadan bukanlah untuk jor-joran atau berlomba yang tampak wah di mata manusia lain. Makna mendasar menjalani Ramadan tentu bukan semata mengejar syariahnya, tanpa memedulikan hakikat dan makrifatnya. Membaca Alquran seharusnya bukan hanya kencang-kencangan suaranya, melainkan lebih pada ketartilan membaca dan kedalaman memahami maknanya. Bertadarus bukan hanya fasih-fasihan lisan, melainkan juga fasih pula dalam getaran kalbu.

Karena semua itu hanya asesoris, dampaknya bagi ketenteraman jiwa tidaklah ada. Hanya samar-samar belaka, tidak begitu kentara. Banyak orang akhirnya hanya terjebak dalam lingkaran putar yang membuat mereka mengulangi setiap jengkal kisah Ramadan. Semua itu laksana dongeng dalam kisah seribu satu malam.

Itulah sebabnya, sama dengan satu tahun lalu, lima tahun lalu, atau sepuluh tahun lalu, Ramadan tahun ini agaknya akan mereka setel ulang hanya sebagai asesoris. Masalahnya, apakah kondisi demikian akan berlangsung hingga mereka tidak punya sisa waktu pun untuk menunaikan ibadah Ramadan? Mudah-mudahan tidak! Mudah-mudahan tahun demi tahun setelan kisah itu akan semakin merdu dan indah.*

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

12 thoughts on “MEMBINCANG ASESORIS RAMADAN”

  1. Sumintarsih Min says:

    Di sebagian tempat, sepertinya sama, Pak.

  2. kang Amri says:

    dulu waktu kecil saya dlam lingkungan begitu sy juga yg termasuk tadarus sampe jam 1 malam hehe..namun setelah dewasa sy cari masjid yg lebih “substatif” dlm beramadhan tdk sekedar asesoris. menurut sy beberapa orang juga mulai menyadari kesalahan itu. semoga semua kita dimudahkan dlm menjalankan Ramdhan “subtantif” bukan sekedar asesoris

  3. febry Suprapto says:

    Refleksi yang luar biasa. Semog ada perubahan dan perbaikan. Amiin.

  4. Terima kasih pak haji SDH diingatkan

    1. Chrirsadmojo says:

      Merefleksi diri pada cermin benggala. Betapa berjumlah makna mutiara hikmah yang dapat dipetik untuk bekal hidup menjadi lebih baik. Menelusuri sudut-sudut “Membincang Asesoris Ramadan” jadi teringat ketika berguru pada syiir Tanpo Waton “Gus Dur” anggitan dan lantunan Gus Nizam. Syiir Gus Nizam yang berpesan “Duh bolo konco priyo wanito, ojo mung ngaji syari’at bloko, ….”
      Asupan Kang Emcho yang kaya gizi ini mengingatkan kita juga pada SOP “Tombo Ati”-nya Sunan Bonang: “… kaping pisan maca Quran angen-angen sak maknane …”
      Wowww … Benar-benar semakin bertebar nyata bukti adanya “Kejadian transendental yang absurd” itu terjadi pada beberapa insan ….

  5. Sri Rahayu says:

    Semoga tidak sekedar asesoris yang indah tetapi mampu mengindahkan kehidupan dan mengantarkan masuk ke jannah-Nya…
    Aamiin…

  6. Mudhofar says:

    Yah asesoris… mohon ijin memakai istilah tersebut.

  7. Repan Efendi says:

    Mirip

  8. Pingback: aksara178
  9. Pingback: w88ok
  10. Qsemlm says:

    buy tricor pills for sale order tricor pills order generic fenofibrate 160mg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *