Oleh Much. Khoiri
Kini Monyet menyedot nafas dalam. Seluruh hadirin memandang satu sama lain. Tempat itu hening sejenak.
“Mereka pasti memainkan sekian macam peran dengan karakter-karakter berbeda. Mestikah kita juga begitu?” sela Bunglon. Tubuhnya tampak menghijau senada dengan daun tempat dia berpijak.
Kura-kura merangkak, dan berujar, “O tidak. Ketahuilah, mereka itu telah kehilangan jati diri.”
Sejumlah burung mengepak-kepakkan sayapnya dan menganggukkan kepala. Tawon-tawon mendengung, dan anjing-anjing melonglong ke angkasa.
“Saya kira menyesuaikan itu bukan berarti menghanyutkan diri,” kata Bunglon meyakinkan. “ Jangan disamakan. Inilah kesalahkaprahan tentang bunglon. Lihatlah, aku toh masih diriku sendiri. Ya kan? Ya kan?”
“Tunggu sebentar,” kata Monyet, melirik Bunglon. “Tenang, kawan. Kita tidak menyoal tentang kamu, tapi mereka. Jangan tersinggung.”
“Tapi kita netral, bukan?”
“Tepat. Kamu memang cemerlang.”
“Jadi siapa saja mereka?”
“Contohnya buaya,” kata Srigala. “Sekarang dia mnejadi penyambung lidah Mr. Macan Besar Jr. Untuk hidup, telah dia abdikan atau hambakan dirinya kepada Tuan Besar itu. Bahkan dia menjadi kepala staf keamanan.”
“Kami sudah tahu itu. Tapi siapa lagi?” desak Kadal.
“Tidak usah menyebut nama. Tidak etis,” timpal Monyet. “Tapi bisa kalian buktikan, mereka telah berubah-ubah partai selayaknya manusia berganti pakaian. Dulu mereka berkampanye untuk partai Pisang atau Pepaya, tapi kini mereka punya posisi di partai Tebu. Kenapa? Yang pertama tak punya prospek, sedang yang terakhir ini menjanjikan segalanya. Lagi, untuk bertahan hidup, kan?”
Mereka begitu serius sehingga tak menyadari langit mulai berawan. Angin pun menerpa awan menghitam itu ke arah barat, dan sinar mentari pun tak mampu menyentuh bumi. Tempat itu kini sepenuhnya teduh. Pepohonan dan sesemakan telah menyaksikan pertemuan itu. Mata mereka mulai basah.
“Kalau begitu, bagi mereka, untuk apa hidup ini?”
“Entahlah. Mungkin, bertahan hidup atau keamanan. Absurd.”
“Semestinya ada semacam saling ketergantungan.”
“Ya, kalau dianggap terlalu idealistik.”
“Lalu apanya yang salah?”
“Sistem. Ya, sistem telah mengkondisikan mereka atau kita untuk bersikap seperti bunglon-bunglon.”
Sistem? Sistem-kah yang telah mencipatakan semua masalah ini? Juga sistem-kah yang telah memungkinkan berbagai penculikan dan pembunuhan? Mengapa sistem telah mempeluangi mantan raja Macan Tua atau Mr. Macan Besar Jr. menjadi seperti dewa? Pertanyaan semacam ini, dan masih banyak lagi, menghantui pikiran mereka ketika meninggalkan tempat pertemuan terbuka itu.
***
Dua minggu kemudian. Majelis Permusyawaratan Hewan sudah terbentuk, komplit dengan seluruh bidang urusan. Sejumlah agenda telah dipersiapkan oleh anggota Majelis—dengan proporsi tak seimbang untuk sidang-sidang panel dan paripurna. Nasib masyarakat hewan berada dalam genggaman tangan mereka. Hewan jelata hanya berhak menunggu hasil sidang.
Menjelang petang ini hewan-hewan non-pemilih begitu terkejut tatkala Monyet berjalan pulang dengan congkaknya, menenteng secengkeh pisang, pepaya besar, dan tebu segar yang panjang. Srigala, yang kebetulan melihat Monyet melewati rumahnya, tak kuasa membiarkannya.
“Apa kamu juga bunglon, Monyet?”
“Aku ndak paham maksudmu, kawan.”
“Tapi kamu telah mendapatkan semua itu dari mereka?”
“Mm, ya. Kita memang butuh wakil dalam Majelis.”
“Kaubilang wakil dalam Majelis?”
“Ya, kalian butuh wakil, dan itu aku.”
“Dan kamu mau melacurkan diri di sana?”
“Tidak, ini masalah tanggung jawab individu.“
Srigala tampak geram. “Kamu telah licik terhadap kami.”
“Maaf, kawan. Tapi jika kamu kalah, apa aku juga harus kalah?”
“Sampah kau! Terkutuk kau, pendusta besar!”
Srigala menelan ludahnya; seluruh bagian tubuhnya bergetar terbakar amarah. Dia segera berteriak memanggil seluruh non-pemilih di kawasan itu. Dan dalam sekejap, mereka telah berkumpul. Mereka memandang Monyet penuh kegeraman. Sementara itu, Monyet dengan tenang dan perlahan bergeser ke belakang. Dia bersiap seandainya terjadi apa-apa terhadap dirinya.
“Bunuh oportunis ini,” teriak Srigala dengan marah.
Seluruh hewan non-pemilih itu spontan memburu Monyet, dengan tergesa-gesa. Mereka memburu dengan amarah dan kesumat.
Tatkala mereka tergesa memburunya, Monyet segera mamanjat sebuah pohon besar di dekat air terjun—itulah gerbang dari kastil tua milik Mr. Macan Besar Jr., di mana Buaya tampak sedang menyantap ikan-ikan trout, dan Orangutan merangkul sekeranjang buah-buahan.[]
*Cerpen ini terjemahan dari karya penulis sendiri yang berbahasa Inggris, dengan judul asli “Chameleons”(The Jakarta Post, 1999)
Mengajar sesuatu yang sifatnya sementara… Hem… Oh… no…
Mantul… Mengena….
Makasih atas kunjungannya
Jejak rekam dua puluh satu tahun yang masih tersimpan dengan sempurna. Dan bunglon bunglon masih sering berkeliaran di sana sini…
Betul sekali, P Uadhof. Banyak bunglon yang masuk inastansi
prazosin hcl risperdal with chloroquine phosphate After enduring several years of global economic uncertainty, organizations large and small are beginning to increase IT spending buy cialis professional Kandler et al
purchase tricor buy generic fenofibrate online purchase tricor sale
ketotifen ca ketotifen 1 mg generic tofranil pills