Oleh Much. Khoiri
Jika ada tudingan akan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, itu bukan hanya karena mereka benar-benar memiliki minat baca rendah, melainkan juga karena tidak tersedianya buku di rumah, perpustakaan, tempat kerja, atau taman bacaan masyarakat. Andaikata tersedia pun, jumlahnya amat terbatas, yang memustahilkan mereka untuk membaca.
Jika tidak percaya, bolehlah dicoba. Beli saja 100 judul buku yang menarik, tawarkan ke warga sekitar untuk membaca. Gratis! Nah, buktikan apa yang akan terjadi. Dari pengalaman, asalkan gratis, mereka akan berbondong untuk membaca buku-buku yang disediakan. Penasaran? Silakan coba sendiri.

Sudahkah buku tersedia bagi masyarakat? Sumber gambar: Dok Pribadi
Dengan kalimat lain, untuk membuat orang membaca, tidak diperlukan terlalu banyak teori tentang membaca, melainkan hanya perlu menyediakan buku untuk dibaca yang banyak dan gratis! Karena itu, buku perlu disediakan di tempat-tempat strategis: sekolah, rumah, sudut baca, dan sebagainya.
Kita juga perlu menjadi penulis dan menulis buku berkualitas sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, buku yang berkualitas! Membaca dan menulis perlu dijadikan “budaya individual” kita masing-masing. Dengan budaya individual kita yang memberikan keteladanan, akan mempercepat pembudayaan literasi.
Impian saya, bangsa kita meneladani bangsa-bangsa paling literat dewasa ini—Finlandia, Norwegia, Iceland, Denmark, Swedia, Switzerland, Amerika Serikat, Jerman, Latvia, dan Belanda. Impian lain: kita juga meneladari lima bangsa dengan skor tes tertinggi—Singapore, Finlandia, Korea Selatan, Jepang, dan China. Ini memang impian yang besar. Pertanyaannya, maukah kita mengejar impian besar itu?
Tentu saja, kita tidak hanya ingin bermimpi dan bersorak melihat keberhasilan mereka. Kita wajib mengejarnya dengan segenap kemampuan. Jika impian ini berhasil, dalam beberapa tahun saja, pembudayaan literasi akan menemukan hasilnya yang gemilang. Semua itu perlu komitmen dan tindakan nyata.[]