Serial Write or Die (6): MENULIS UNTUK WARISAN

Oleh Much. Khoiri

ALASAN keenam yang membuat kita bersemboyan “Menulis atau Mati!” adalah niat kuat menulis untuk warisan. Pepih Nugraha, dalam sambutannya pada bedah buku saya Rahasia TOP Menulis (RTM) di TB Gramedia Matraman Jakarta (28/3/2015), mengingatkan pentingnya menulis buku sebagai warisan. Beberapa kali Kang Pepih menyebut buku sebagai legacy (warisan), pertanda bahwa hal ini perlu mendapat atensi dan aksentuasi tersediri dari para hadirin.

Jika kita berbicara warisan, yang terlintas dalam pikiran kita biasanya memang berupa harta benda. Ahli warisnya biasanya akan menerima limpahan warisan itu setelah si pemberi warisan meninggal dunia. Ada syarat dan ketentuan tertentu yang mengatur pembagian warisan. Namun, karena berupa harta benda yang memikat hasrat manusiawi, warisan tak jarang bisa merenggangkan hubungan darah dan kekeluargaan ahli waris.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi

Buku sebagai warisan, tentu saja, bisa diperlakukan sebagai harta benda andaikata ia mendatangkan royalti (sebagai imbalan hak cipta penulis, ya pemberi warisan). Namun, dalam konteks Indonesia, seberapa besar sih royalti yang bisa diterima dari terbitnya sebuah buku? Jika ia benar-benar mega-best-seller (laris manis atau cetak berkali-kali), buku baru bisa mendatangkan royalti yang pantas untuk diwariskan. Jika tidak, tak usah bermimpi tentang royalti untuk warisan.

Pertanyaannya, berapa dari penulis yang mencapai “rezeki” (nasib baik) untuk menempati posisi dengan royalti yang pantas diwariskan kepada ahli waris? Jumlahnya tentu hanyalah sedikit alias tidak banyak. Kebanyakan penulis di Indonesia tidak bisa menggantungkan hidupnya semata pada menulis—apalagi memberikan royalti sebagai warisan kepada generasi penerusnya. Karena itu, penulis biasanya juga berprofesi tertentu, entah formal entah nonformal.

Jika demikian, tampaknya konsep warisan dalam konteks ini tidaklah mengacu kepada warisan materiil atau finansial berupa royalti. Lebih dari itu, warisan yang dimaksud mengacu ke warisan imaterial, yakni warisan ilmu atau pengetahuan yang dikandung di dalam buku yang ditulisnya. Sementara, ahli warisnya bukan semata keluarganya, melainkan juga masyarakat pembaca.

Dalam perspektif penulis, buku merupakan hasil permenungan dan pemikiran yang telah dilakoninya dalam rentang waktu tertentu. Dengan buku penulis menyampaikan sesuatu pesan penting kepada pembaca, dengan harapan bahwa kandungan ilmu atau pengetahuan dalam buku itu berkembang dan meluas secara berkesinambungan di kalangan pembacanya—baik keluarga maupun pembaca umum.

Dengan kalimat lain, lewat bukulah penulis memberikan amal jariyah, suatu amal yang pahalanya terus mengalir selama amal itu tetap bekerja atau dikerjakan oleh orang lain. Bahkan, alirannya akan semakin menderas jika amal jariyah ilmu dalam buku itu dikembangkan lebih bermanfaat lagi—dan oleh lebih banyak orang lain yang mengembangkannya.

Oleh karena itu, marilah menulis buku untuk warisan bagi anak cucu. Bila warisan harta benda kerap mendatangkan perpecahan dan malapetaka, maka percayalah: warisan buku tidaklah demikian. Setidaknya, jika hanya untuk dibaca dan dipelajari, buku bisa digandakan atau dicetak dalam jumlah besar, sehingga tidak perlu menjadi bahan perebutan satu sama  lain. Perebutan buku hanya ada dalam dunia persilatan.

Paling tidak, marilah menulis sebuah buku sepanjang hidup kita, ya sebuah saja—jika memang kita tidak bisa menulis lebih. Jika kita ahli dalam menulis, tuangkan gagasan dan pesan kita ke dalam buku, agar anak cuku kita bisa memahami apa yang kita tuangkan. Jika kita ahli beternak lele, kita tulislah buku tentang bagaimana teknik membuat kolam, memilih benih lele, merawat lele, memanennya, dan memasarkannya—agar anak-cucu kita bisa meneruskan bisnis perlelean kita.

Tentu saja, yang bakal membaca buku tentang menulis dan bagaimana beternak lele bukan hanya anak-cucu kita, melainkan anak-cucu teman kita, tetangga kita, dan masyarakat secara luas. Pada titik inilah warisan pengetahuan kita menemukan keberkahan yang melimpah, jariyah ilmu kita berkembang dan meluas pada generasi penerus.

Dalam bukunya Buku-Buku Pengubah Sejarah, Robert B. Downs (2001) mengilustrasikan begini: Sepanjang sejarah dapat kita temukan bukti yang bertumpuk-tumpuk yang menunjukkan bahwa buku-buku bukanlah benda-benda yang remeh, jinak, dan tak berdaya, malah sebaliknya buku-buku seringkali adalah biang yang bersemangat dan hidup, berkuasa mengubah arah perkembangan peristiwa kadang-kadang demi kebaikan kadang-kadang demi keburukan. Buku juga menguatkan adanya kontinuitas pengetahuan dari masa ke masa.

Marilah kita teladani tokoh-tokoh negeri ini yang telah mewariskan buku-buku mereka kepada bangsa kita. Hamka telah mewariskan lebih dari 100 buah buku kepada kita, di antaranya Di Bawah Lindungan Ka’bah. Gus Dur juga mewariskan puluhan buku, dan pendapatnya dibukukan ke dalam banyak buku. Iwan Simatupang mewariskan Merahnya Merah, demikian pula Budi Darma dengan Olenka-nya, atau Emha Ainun Nadjib dengan Seribu Masjid Satu Jumlahnya.

Di luar sana kita juga bisa meneladani ‘kekekalan nama’ para penulis seperti Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu taimiyah, Ibnu Khaldun, dan sebagainya. Dalam dunia sastra ada nama-nama mendunia seperti William Shakespeare, Albert Camus, Robert Frost, William Faulkner, Emily Dickinson, Naguib Mahfouz, Toni Morrison, dan masih banyak lagi. Dari mereka kita barangkali akan banyak berguru atau memetik inpsirasi.

Praktisnya, marilah kita temukan tokoh panutan di mana kita akhirnya memutuskan untuk menulis buku. Anggaplah tokoh itu guru kita dalam menulis buku. Berkat obsesi yang kita bangun, percayalah kita akan mampu merampungkan buku kita sendiri. Tokoh itu akan memberikan kekuatan tersendiri bagi kita dalam menulis buku. Anggaplah kita sedang membuktikan kepada guru kita itu bahwa kita akan mampu mewariskan sebuah buku untuk anak cucu. Lalu, lihatlah apa yang akan terjadi.

Jadi, rahasia besar dari menulis buku sebagai warisan ada di sini: Bahwa apapun yang kita tulis dalam buku akan dipahami dan akhirnya dikembangkan secara luas oleh generasi kita. Benih-benih ilmu atau pengetahuan yang kita tanam akan tumbuh dan berkembang. Maka, tidak ada pilihan lain, jika tiada kemampuan untuk mewariskan harta atau sesuatu yang berguna, marilah menulis buku yang isinya benih-benih kebaikan, agar di kemudian hari tumbuh dan berkembang yang baik. Ia akan menjadi sebaik-baiknya warisan untuk anak-cucu. Insyaallah.[]

*Artikel dinukil dari buku saya “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (Lamongan, Pagan Press, 2017); hal. 37-41.

 

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

11 thoughts on “Serial Write or Die (6): MENULIS UNTUK WARISAN”

  1. Hernawati says:

    Masya Allah….membangkitkan semangat….

    1. admin says:

      Makasih, Her. Tetap semangat

  2. Husnul Hafifah, says:

    Tulisan tulisan pak Dosen yang sempat sy baca juga bagian guru saya dalam menulis. He he

    1. admin says:

      Terus bergerak, terus berkarya

  3. Mudhofar says:

    Saat anak pertama yang baru kelas 3 SD melihat note di hape, komentarnya “wah! tulisan ayah banyak sekali.” Yah… semuanya lantaran masuk group RVL.
    Semoga menjadi ghirah buat anak-anak dalam menulis… immaterial yang tak terhingga.

    1. admin says:

      Wah, mantabs banget ini

  4. Pingback: fryd bar
  5. Emtbfm says:

    fenofibrate online order buy tricor for sale order tricor 160mg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *