Oleh Much. Khoiri
ALASAN kelima yang menguatkan semboyan “Menulis atau Mati!” adalah menulis untuk personal branding. Di era teknologi informasi canggih sekarang ini, siapapun orangnya, agar lebih dikenal publik secara luas, dia harus melakukan personal branding. Dia harus aktif memperkenalkan jati dirinya ke publik, lewat berbagai cara, termasuk menulis. Bagaimana hubungan menulis dan personal branding, berikut ini saya haturkan sebuah ilustrasi.
Ada seorang penulis pemula, yang sangat bersemangat menerbitkan buku, meminta saran saya ke penerbit mana sebaiknya dia mengirimkan naskah (manuskrip) buku. Seperti biasanya, agar lebih gayeng, saya mengajaknya mengobrol sambil minum es jus atau kopi susu. Lokasi: sebuah shelter di food court kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Untuk pertanyaannya, saya memberikan rekomendasi khusus ke penerbit apa pada kover depan manuskripnya, tentu setelah saya baca dan beri komentar. Lalu, saya tambahkan, “Jangan lupa, naskah buku ini bisa dikirim setelah revisi dan hasil revisimu saya lihat sebentar.”
Seperti penulis pemula lainnya, dia pun menyanggupinya, “Baik, Bapak, sambil ambil pengantar atau endorsement panjenengan ya.” Kelihatannya dia begitu yakin bahwa kata pengantar atau endorsement saya akan berguna untuk membantu meningkatkan daya tawar naskahnya di mata redaktur penerbit.
“Ada satu lagi yang penting. Sambil revisi, submit, dan menunggu respons penerbit.”
Dia tampak kaget. “Apa itu, Bapak? Jadi penasaran.”
“Personal branding. Penulis pun perlu personal branding.”
“Seperti selebritis saja. Personal branding yang disengaja.”
“Benar, pada era sekarang penulis perlu menilai diri sebagai seleb. Harus mem-branding diri. Dengan sengaja. By purpose. By design. Tidak bisa hanya mengandalkan karya saja. Karya memang harus bicara, tetapi itu harus dipercepat. Ya keduanya. Ya karya, ya upaya branding.”
Penulis muda itu tampak tercengang. “Jadi tidak cukup hanya karya yang baik ya, Bapak? Tidak seperti penulis tempo doeloe ya.”
“Tidak cukup. Era digital ini serba main percepatan, bukan kecepatan. Kalau penulis cuma mengandalkan karya, yakni biarkan karya yang bicara, apalagi tidak mengikuti media online, lha itu hukum kecepatan. Tidak nutut di era kini. Sementara, dunia sudah berubah. Penuh percepatan, kecepatan berlipat. Maka, harus ada upaya serep, yakni mem-branding diri.”
“Memasang status di fesbuk, apakah termasuk personal branding?”
“Benar, itu salah satu. Instagram, grup whats’up, BBM juga boleh. Tapi gunakan media-media ini untuk posting pendek dan narsis-narsisan saja, juga promosi acara. Jualan buku juga oke. Sedangkan untuk tulisan agak panjang, jangan di situ. Ada tempat lain.”
“Mmm, apakah tidak efektif di medsos itu? Lalu di mana sebaiknya?”
“Website bisa, blog oke, koran juga cocok. Masing-masing punya segmen pembaca. Tapi di tiga media ini pembacanya benar-benar pembaca loyal. Semua ini pantas dimanfaatkan. O iya, jangan pake radio atau TV, kapan-kapan saja kalau sudah cukup terkenal.”
“Insyaallah siap, Bapak.”
“Sudah punya blog atau belum?”
“Sudah sih, tapi jarang saya isi tulisan. Kadang malas.”
“Itu dia kekalahanmu sejak dalam pikiran. Mau jadi penulis, tapi malas mengisi tulisan di blog, itu kekalahan sejak dalam pikiran! Padahal website, blog, koran, medsos, dan media lain adalah tangga-tangga menuju kesuksesan. Ini upaya lain di samping menulis karya yang bermutu tinggi.”
“Maaf, Bapak. Mudah-mudahan rajin setelah ini.”
“Mas, minta maaflah pada diri sendiri. Itu projekmu, juga masa depanmu. Saya sih cuma membantumu.”
“Siap, Bapak, akan saya laksanakan.”
“Dengar ya, saya punya1 3 kelompok teman penulis. Kelompok 1 penulis yang anti personal branding, hanya mengandalkan karyanya. Kelompok 2 penulis yang berkarya bagus dan pro personal branding. Kelompok 3 penulis yang berkarya belum bagus tapi lebih gencar mem-branding diri sendiri. Setelah saya amati, kelompok 2 dan 3 yang tetap eksis, bahkan di luar genre karyanya. Sementara kelompok 1 justru kalah moncer dibanding kelompok 2-3.”
“Apakah kira-kira saya mampu, Bapak?”
“Tanya lagi. Itu pertanyaan untukmu sendiri. Mana bisa saya menjawabnya? Sekarang jawab dengan seluruh dan sepenuh keyakinan. Jika bisa, tetapkan niat, dan lakukan dengan komitmen. Jika tidak, ikrarkan bahwa engkau tidak jadi penulis.”
“Jangan, Bapak. Saya akan jadi penulis.”
“Jadi, niat kuat, nulis bagus, personal branding…istiqamah. Lihatlah, apa yang akan terjadi.”
Sejak tadi dia sibuk membuat catatan kecil. Entah sudah berapa cangkir kopi yang diseruputnya. Saya sendiri sudah menggasak dua es jus jambu. Lalu, saya ulurkan artikel saya yang dimuat di harian Duta Masyarakat, judulnya “The Writer Is Back” (17/12/2016). Dia menerima artikel koran ini dengan gembira.
“Penulis memang harus mem-branding diri,” katanya kemudian. “Termasuk dengan mentraktir saya dan menghadiahkan artikel termuat di harian DutaMas. Sebuah teladan yang harus saya ikuti. Maka, saya berjanji untuk merintis personal branding mulai detik ini.”
***
Ilustrasi di atas telah menggambarkan betapa pentingnya personal branding bagi penulis, dengan lewat berbagai media dan forum, termasuk menulis. Itu saja bagi penulis—apa tah lagi jika kita belum menjadi penulis. Personal branding cocok untuk mahasiswa dalam ilustrasi di atas.
Mahasiswa tersebut disarankan untuk banyak menulis di blog, website, media sosial, dan media lain sebelum menerbitkan buku. Website, blog, koran, medsos, dan media lain adalah tangga-tangga menuju kesuksesan. Ini upaya lain di samping menulis karya yang bermutu tinggi. Menulis di media-media tersebut adalah upaya personal branding di mata penerbit berwibawa.
Hal yang sama bisa dialami oleh siapa saja. Dokter bisa, politikus cocok, guru boleh, ibu rumahtangga pun oke—singkatnya, siapapun layak menggunakan karya tulisnya (apalagi sebuah buku) untuk mem-branding dirinya. Karya tulis itu, bahkan, amat mungkin menjadi ikon bagi penulisnya. Maksudnya, ketika masyarakat menyebut karyanya, mereka langsung mengasosiasikannya ke nama penulisnya. Misalnya, ketika sajak “Aku” disebutkan, orang langsung mengingat nama Chairil Anwar. Ini namanya karya yang jadi ikon bagi penulisnya.
Dengan memiliki karya ikonik, kita memiliki daya tawar (bargaining power) yang bagus di mata orang lain. Sebab, kita bisa melakukan sesuatu yang kebanyakan orang tidak bisa lakukan. Tak sedikit orang yang karirnya melesat berkat kemampuan istimewanya, yakni menulis (buku). Ini makin menguatkan bukti bahwa pada dasarnya semua dokter, politikus, guru, atau setiap manusia sama saja kecuali salah satu di antara mereka menulis buku.
Maka, tunggu apa lagi. Ayo menulis artikel, terlebih buku, untuk mem-branding diri. Lalu, buktikan apa yang kelak bakal terjadi.[]
*Artikel dinukil dari buku saya “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (Lamongan, Pagan Press, 2017); hal. 31-36.
SAYA MENULIS SAJA SETIAP HARI DAN TERNYATA MENJADI PERSONAL BRANDING SAYA SEBAGAI SEORANG BLOGGER. Prof, maaf tulisannya jadi besar semua, hehehe
Sudah terbukti, Omjay. Mantabs benar
Semoga saya bisa mengikuti jejak Panjenengan nggih…
Mencoba bertahan dan menjaga semangat. Bismillah….
Ma Syaa Allah. Mantul artikel pak Emcho ini. Semoga bisa jadi amal jariyah pak Emcho. Aamiin Yaa Rabb
Isfiratif pak, penulis harus bisa branding saya kira produk saja ide yg brillant aplikasinya yg susah gampang