Oleh: Much. Khoiri
ALASAN ketiga kita bersemboyan “Menulis atau Mati!” adalah kita menganggap menulis sebagai sumber penghidupan (writing for living). Sederhananya, menulis harus ditunaikan, sebab jika tidak menulis, sumber penghidupan tak tersedia, sehingga bersiap-siap sajalah untuk mati. Karena kita rata-rata takut mati, tidak ada pilihan lain kecuali menulis! Menulis wajib dihayati dan ditunaikan!
Memang, di Indonesia menulis tidak bisa dijadikan sumber penghidupan seutuhnya. Bisanya ia dijadikan sebagai sumber tambahan (avocation), terutama pada tahap-tahap awal. Hanya sedikit penulis yang menggantungkan hidupnya dan keluarganya dari menulis. Menulis masih dianggap sebagai ladang kurang subur yang perlu ditekuni dengan berbagai perjuangan. Kendati demikian, sekali lagi, jika menulis adalah pekerjaan utama alias sumber penghidupan, mau tak mau menulis harus ditunaikan dengan segenap hati.
Misalnya, impian kita akan berbunyi “Saya harus menulis topik ini dan harus diterbitkan di media massa.” Kita membuat goal, rencana kerja, dan menulis, serta mengirimkan tulisan kita ke redaksi/penerbit yang tepat. Kita harus yakin dan berusaha keras dan cerdas bahwa kita menulis yang terbaik, agar tulisan itu layak dimuat. Dengan dimuatnya tulisan, kita akan menerima honor, sesuatu yang membantu menopang penghidupan (mata-pencaharian) Anda.
Jika kita sudah berkeluarga, menulis untuk penghidupan tentu mengandung konsekwensi lebih dalam. Profesi menulis kita gunakan untuk menopang segala kebutuhan rumah-tangga kita. Karena itu, tulisan kita harus layak dan harus terbit, tidak ada ruang untuk tidak memperoleh honor menulis. Kita akan malu dan menangis dengan penyesalan mendalam jika tulisan itu tidak dimuat—apalagi tidak selesai dikerjakan. Harkat martabat kita di mata keluarga bergantung pada penghasilan yang kita usahakan dari menulis. Jika tidak, lebih baik mati saja.
Dewasa ini masih banyak surat kabar, majalah, atau tabloid yang memberikan honor bagi penulis yang tulisannya dimuat. Kita bisa dengan mudah menemukan informasinya secara online. Kita tinggal mempelajari karakteristik media massa tertentu, sehingga kita tahu persis apa yang diinginkan oleh media tersebut. Dengan mengenal media sasaran itu, kita bisa menulis artikel dengan tema dan format yang diharapkan.
Selain menulis untuk media massa, ada media lain untuk menjual tulisan. Lomba menulis dewasa ini dibuka untuk umum oleh berbagai lembaga dan dalam berbagai momentum. Hadiahnya kerap menggiurkan, dengan jumlah nominal yang wah. Ikut lomba menulis bisa menjadi peluang untuk meraup penghasilan yang bagus. Maka, wajib kiranya menerapkan semboyan “Menulis atau Mati!”. Sebuah keterdesakan yang memungkinkan orang untuk menulis. Ini mirip dengan kondisi penulis yang diasingkan, malah mampu menghasilkan karya yang bernas.
Tentu saja, kita bisa menulis buku untuk penerbit mayor. Mereka biasanya telah menentukan prioritas tema untuk buku-buku yang diterbitkan. Genre apakah yang menjadi prioritasnya, itulah yang perlu kita bidik. Itulah sasaran tembak bagi buku-buku yang akan kita tulis. Nah, kalau sudah yakin, segera kita tulis buku itu, dan segera kita kirimkan ke sana. Dengan diterbitkannya buku kita, kita akan mendapatkan honor penulis berupa royalti.
Memang, ada variasi sistem kontrak penerbitan buku. Normalnya, sistem royalti, di mana penulis mendapatkan sekitar 10% dari omzet penjualan buku yang tercetak, dan dibayarkan dengan tahapan tertentu. Ada juga sistem beli putus, di mana penulis dibayar di awal penerbitan dan tidak ada hak royalti lagi pada waktu sesudahnya. Ada pula penulis yang dibayar atas bukunya tanpa mencantumkan namanya sendiri, karena namanya diganti dengan nama lain. Semua itu bergantung pada pilihan penulis.
Begitulah, menulis untuk penghidupan pantas diresapi bersama semboyan “Menulis atau Mati!”. Khusus untuk ini, jangan berguru kepada penulis yang “gagal” dalam menopang penghidupannya. Tengoklah penulis-penulis yang jaya hidupnya berkat menulis: Pengarang novel tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata, meraup penghidupan berlebih berkat ketekunannya—meski pernah jatuh bangun—dalam tulis-menulis. Helvy Tiana Rosa, yang dijuluki Tempo sebagai Lokomotif Penulis Muda Indonesia, juga mengaku, “Saya sangat kaya” (berkat menulis).” Demikian pun Asma Nadia dengan karyanya yang menggerakkan Catatan Hati Seorang Isteri (CHSI).[]
*Artikel dinukil dari buku saya “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (Lamongan, Pagan Press, 2017); hal. 24-27.
NB. Terima kasih untuk blogwalking
Mntab dan keren artikelnya. Informatif dan inspiratif. Good job, lnjutkn 🙏👍
Tweima kasih, B Nana. Sehat selalu ya
terima kasih mr emcho yg selalu menginspirasi kami, menulis memang belum bisa diandalkan sebagai mata pencaharian utama, sebab menulis baru sekedar hobi saa, tapi ketika ditekun, maka akan ada rezeki yg datang tak terduga, bukan dari sekedar menulis saja tapi dari tulisan kita yang banyak dibaca orang.
Betul, Omjay. Menulis mwnjadi pintu rezeki bagi yg lain. Barakallah
Sharing pengalaman pribadi. Tahun 2008 saya mendapat hadiah hampir ratusan juta dari hasil lomba penulisan buku pelajaran di kementerian agama. Alhamdulillah bisa untuk membeli rumah yang sekarang saya tempati bersama keluarga. Setahun kemudian dapat royalti penerbitan buku yang masuk proyek pengadaan di Kementerian Agama RI. Alhamdulillah bisa untuk merenovasi dan memperluas bangunan rumah. Di tahun yang sama buku kami (tim penulis) dibeli hak ciptanya oleh Puskurbuk Kemendikbud. Alhamdulillah bisa untuk membeli motor baru untuk istri. Memang menulis jika ditekuni dengan serius bisa untuk pekerjaan sampingan yang mendatang rezeki selain dari rezeki pekerjaan utama. Matur nuwun pak Emcho untuk kesempatannya berbagi pengalaman di blog panjenengan. Salam sehat dan sukses selalu 🙏🙏
Luar biasa, Pak Agung. Itu pengalaman yg sangat inspiratif dan penuh barakah.
Harus tarik nafas jika tulisan tidak pernah dimuat di koran atau.media lainnya….termasuk jadi buku…. konsistensi dan penjamaman niat perlu terus diasah. Terima kasih sudah disajikan artikel obat penguat hati
P Hariyanto, saya kenyang dg penolakan di media cetak, dulu ketika sy msh belajar menulis ke koran. Tapi lama kelamaan, malam berganti siang, dan masalah penolakan terjawab juga, bahwa akhirnya tulisan sy ke koran lancar2 saja
Pemaparan yang bergizi. Terima kasih Pak Dosen 🙏🙏
Makasih, P CEPga.
Sangat menginspirasi dan memotivasi…Matur sembah nuwun Pak Emcho…
Kwmbali kasih. Tq
Walaupun saya belum pernah menerbitkan buku, tetapi saya yakin kepuasan yang didapat tidak main-main. Entah dari cakupan material maupun kesenangan saat karya kita akhirnya dapat ditengok masyarakat.
Mantabs, Syani. Makasih ya
epinephrine and moxifloxacin both increase QTc interval can you buy viagra at walmart aureus isolates 7 of 13 53
J Pharm Biomed Anal 2015; 107 341 345 generic cialis tadalafil Stimuli and Task