Oleh Much. Khoiri
ALASAN kedua mengapa semboyan “Menulis atau Mati!” penting bagi penulis adalah bahwa menulis itu hakikatnya melatih berpikir. Sementara itu, berpikir itu wajib dilakukan manusia sepanjang hidupnya, karena manusia memiliki akal. Proses menulis memungkinkan pelakunya melakukan latihan berpikir secara bertahap dan unik bagi masing-masing individu.
William Zinsser mengklaim, writing is thinking on a paper, menulis itu berpikir di atas kertas. Artinya, hasil pemikirannya tertuang dan bisa terbaca di atas kertas. Itulah mengapa tulisan orang mencerminkan pikirannya. Tulisan itu gagasan, pikiran, perasaan, atau manifestasi “kata kerja” kita yang kita tuangkan lewat bahasa tulis. Artinya, tulisan itu cerminan atau pantulan gagasan, pikiran, perasaan, atau pengalaman kita.

Jangan Mati sebelum Menulis Buku. Gambar: Dok Pribadi
Karena bahasa tulis adalah medium yang menyimpan dan mewakili gagasan, pikiran, perasaan atau pengalaman kita, maka orang lain akan memahami “isi di balik bahasa tulis” kita tatkala mereka memahami dengan tuntas bahasa yang kita gunakan. Terlebih, dalam bahasa tulis, hanya bahasa inilah yang bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk mengungkap isi tulisan kita.
Kalau tulisannya bagus dan runtut, dia cenderung memiliki pola pikir yang bagus dan runtut pula. Untuk mengetahui kualitas berpikirnya, membaca tulisannya akan sangat membantu. Sebaliknya, jika tulisan seseorang kacau dan membingungkan, ada tendensi bahwa semacam itulah pola pikirnya. Dia gagal mengomunikasikannya gagasannya lewat bahasa tulis. Bahasa tulis di sini tidak mewakili gagasan yang ingin disampaikan. Efeknya, kegagalan komunikasi secara utuh amat mungkin terjadi antara dia dan pembacanya.
Dengan demikian, memperbaiki cara berpikir bisa dilatih dengan banyak menulis, tentu bergantung pada masing-masing individu. Ingat, menulis itu keterampilan, yang wajib ditingkatkan hanya dengan banyak praktik dan latihan yang tak kenal lelah. Bagaimana nalarnya menulis melatih kita dalam berpikir? Mari cermati dari proses menulis saja.
Dalam proses pra-menulis, latihan berpikir sudahlah pasti. Dalam proses ini kita rang harus menemukan ide dengan berbagai cara, baik membaca, mengamati, diskusi, browsing, memetakan pikiran, merenung, maupun menentukan topik yang akan ditulis. Kalau topik sudah ditemukan, kita perlu juga menentukan audiens. Lalu, kita juga harus menambah bacaan pengayaan dan membuat outline (kerangka tulisan). Outline itu kerangka umum pengorganisasian gagasan. Hal ini juga memaksa kita untuk belajar berpikir keras dan kritis.
Selama proses menulis pun, kita juga harus mengasah pikirannya. Tak dimungkiri kita tentu berpikir hati-hati ketika memilih kata, menyusun kata menjadi frase dan kalimat, menyusun paragraf dan komposisi lebih panjang. Bagaimana pun, tulisan itu tersusun dari kata-kata yang terpilih, guna mewakili gagasan kita sesungguhnya.
Selain itu, selama proses pasca-menulis, masih ada peluang untuk melatih pikiran. Sebagai penulis, yang pertama dilakukan setelah menulis adalah membaca kembali tulisan yang dihasilkannya. Membaca itu, sudah pasti, merupakan kegiatan melatih pikiran. Terlebih, membaca itu ditingkatkan menjadi mereview atau memberikan penilaian terhadap tulisan. Di sini terjadi proses menimbang kelebihan dan kekurangan tulisan. Setidaknya, apakah tulisan itu telah sejalan dengan outline yang telah disiapkan? Dari sini akan diperoleh catatan-catatan untuk bahan perbaikan.
Kemudian, kita akan melakukan revisi atau perbaikan. Dalam hal ini kita akan menambah detail yang kurang, dan mengurangi detail yang berlebihan (tidak relevan). Jika masih kurang, kita harus menyisipkan gagasan tambahan, dan jika berlebihan, kita harus melakukan pemenggalan. Lalu, kita juga harus melakukan proofreading—yakni mengecek mekanika tulisan semisal tatabahasa, ejaan, tata tulis, dan sebagainya. Intinya, proofreading ini kegiatan menyempurnakan tulisan. Bukankah hal ini melatih berpikir yang kritis dan intensif?
Berbagai kegiatan dalam proses menulis di atas melatih berpikir. Selain keunikan individu, kualitas dan intensitas latihan sangat menentukan hasilnya. Makin sering menulis, makin tertata pikiran seseorang. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan latihan secara sungguh-sungguh dan terus-menerus. Selamat berlatih berpikir dengan menulis![] (Copyright@much.khoiri).
*Artikel dinukil dari buku saya “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (Lamongan, Pagan Press, 2017); hal. 20-23.
N.B. Terima kasih untuk blogwalking
I do agree. And I have this book
Inspiratif. Mantul
Pak Repan, terima kasih
Thanks so much, Bu hajjah.
Informatif dan inspiratif. Thanks Sir 🙏🙏
Pak CepGa, terima kasih telah berkenan mampir
Menata kata agar bisa terbaca tidak dengan terbata-bata dikarenakan tak tertata.
Makasih, Pak Usdhof, tanggapan yg bagus
Asupan gizi ilmu menulis yang luar biasa. Terima kadih Pak Khoiri
Terima kasih, Pak Inin. Semoga bermanfaat.
Betul….apalagi penulis pemula seperti saya ini, Menulis lumayan menguras pikirian merangkai kata, memilih, lalu membaca berulang ulang, mengganti kata yang kurang tepat …capek dehjj
Begitulah proses menulis yang sebenarnya. Kita jalani ya, Bu Nuraini.
Menulis yang ajeg untuk melatih kemampuan memilih dan merangkai kata hingga menghasilkan tulisan yang apik memerlukan waktu yang tidak sedikit… Semoga saya bisa mengikuti jejak sang Maestro…
Insyaallah, panjenengan bisa! Bismillah
Sementara saya baru ada target jangan sampai kosong sehari tanpa tulisan, akhirnya ya muncul tulisan saja, Pak. Kurang konsep yang matang. Harus kerja keras, nih.
Saya sarankan, setiap hari membaca buku atau tulisan yg bagus–meski hanya 10 menit. Itu jadi asupan gizi yg mantab.
Saya setuju dengan ungkapan “makin sering menulis, makin tertata pikiran seseorang”, tentunya tak luput juga dari kegiatan membaca rutin yang membuat pikiran kita semakin kritis.
Makasih, Syani
Terima kasih artikel nya mantul. Semakin banyak menulis & membaca banyak buku bermanfaat maka pikiran semakin tertata.
Makasih, b Abdisita