PERNIKAHAN SELEBRITIS DALAM KUASA MEDIA

Oleh Much. Khoiri

PESTA pernikahan Raffi Ahmad (Raffi, 27) dan Nagita Slavia (Gigi, 26) pada 17 Oktober 2014 silam digelar mewah laksana royal wedding, bahkan melebihi keglamoran ngundhuh mantu-nya Sultan Jogja atau pernikahan Anang Hermansyah-Ashanty.  Pernikahan itu mulai prosesi lamaran, siraman, midodareni, hingga pestanya diliput media habis-habisan tanpa henti-hentinya. Ini laksana pesta negeri dongeng.

Media, terutama televisi, sebagai bagian industri budaya telah melihat, pasangan mempelai itu sangat digilai masyarakat pemirsa (terutama kaum muda) hingga kecanduan akut. Sebagai simbol kesuksesan selebritis, mereka adalah komoditas yang layak jual. Pasarnya jelas, masyarakat Indonesia—kebanyakan!

Sumber gambar: Tabloid Bintang

Bahkan Raffi-Gigi merupakan anak emas media dan entertainment yang setiap hari menghiasi layar kaca. Mereka telah menyedot perhatian pemirsa secara masif dan hegemonik. Lain kata, pemirsa telah memasrahkan diri suka rela untuk kecanduan terhadap acara-acara entertainment yang mereka tampilkan. Bagi orang-orang tertentu, Raffi adalah kekasih hati tersembunyi.

Di mata publik mereka pujaan, di mata media mereka komoditas. Dengan menjual popularitas mereka (sesuatu yang juga media ciptakan), keuntungan baru diraupnya. Wajar, namanya juga bisnis, pastilah bicara kapital dan untung. Keuntungan itu bukan hanya berupa iklan, melainkan juga image besar bahwa media telah menggelar hajat mantunya dengan sukses.

Jadi, siapakah yang bermain kuasa dalam pernikahan ini? Tidak lain tidak bukan adalah media, sebagai kepanjangan tangan industri budaya. Disokong oleh kekuatan kapitalisme, media telah menguasai kesadaran masyarakat yang memang sedang dirundung malang di dunia realitas semu.

Masyarakat telah dibuatnya tidak berdaya, kecuali harus menonton tayangan yang terus membombardir layar kaca mereka. Hegemoni media yang demikian halus telah menghipnotis masyarakat sedemikian hingga mereka kerap menyisihkan kegiatan-kegiatan harian yang seharusnya dikerjakan. Media seakan menjadi imperialis atau kolonialis baru.

Klop sudah kiranya transaksi sosial antara media dan masyarakat pemirsa. Masyarakat sedang tergila oleh tayangan-tayangan yang melenakan, killing time, dan membantu mereka melupakan sejenak berbagai kerumitan hidup. Sementara, media menawarkan apa yang diharapkan oleh masyarakat pemirsa menjalani realitas semunya.

Kekuasaan media telah membuat pernikahan Raffi-Gigi nyaris di luar ekspektasi mereka. Para sponsor berdatangan, para sahabat memberikan sumbangan atau hadiah, para pejabat memberi restu. Bahkan saat gelar pesta ribuan tamu undangan berjejalan antre hanya untuk memberikan ucapan selamat dan panjatan doa. Para tamu ingin membuktikan keingintahuan mereka tentang berbagai berita terkait pasangan dan prosesi pernikahan royal tersebut.

Mengapa media begitu kuat kuasanya dalam hal ini? Tentu, mereka berhasil merebut dan menaklukkan kesadaran “semu” pemirsa dengan memberikan wadah untuk kepuasaan hasrat berupa entertainment, yang membantu mereka melakukan objektivikasi atas pernikahan sendiri—mengandaikan diri berada di dalam pesta royal itu.

Itulah kecerdasan industri budaya dalam memainkan kuasa media. Momentum sakral pernikahan pun diseret ke dalam ranah transaksi budaya, dan pasangan manten menjadi komoditas yang mahal. Pada satu sisi ada masyarakat pemirsa yang terpuaskan, di sisi lain ada pemasukan yang menambah pundi-pundi keuangan.

Lebih dari itu, kuasa media telah membawa pernikahan ke dalam suasana display produk budaya massa/pop—ada pameran fashion di kalangan para tamu, terlebih para selebritis. Untuk model pakaian tertentu, bahkan, amat mungkin menggugah libido seks. Pembawa acaranya pun kaum artis dan selebritis yang membuat decak kagum. Musik, iklan, makanan, media cetak, film (dokumenter)—dilibatkan baik sekarang maupun setelahnya.

Dengan demikian, lengkaplah sudah, sebagaimana perhelatan pernikahan selebritis di manapun, hajatan Raffi-Gigi tidak steril dari kuasa media, bahkan didesain sedemikian untuk menguatkan kuasa media di mata publik. Karena pernikahan ini berada dalam kuasa media, layak ditunggu, apakah media akan mampu menopang kelanggengan cinta (dan kisah dalam dongeng) Raffi-Gigi juga?(*)

#Dosen, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya; #Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku.

N.B. Terima kasih untuk blogwalking (saling-kunjung blog)

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, penggerak literasi, blogger, editor, penulis 70 buku dari Unesa. #Kitab Kehidupan (Genta Hidayah, 2021). #Menjerat Teror(isme) (Uwais Inspirasi Indonesia, 2022)

12 thoughts on “PERNIKAHAN SELEBRITIS DALAM KUASA MEDIA”

  1. Sri Rahayu says:

    Hem… Reportase yang mak nyus… Walau kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu… Top banget…

    1. admin says:

      Matur nuwun, Non. Ini ulasan dengan momentum naratif, jadi ini bukan reportase. Makasih

  2. Sugiarti says:

    Reportase yang sangat berkualitas..menjadikan sesuatu yang berlalu menjadi baru kembali. Persepsi yang disajikan berdasar data sangat oke dan mantap

    1. admin says:

      Bu, Ini ulasan dengan momentum naratif, bukan reportase. Makasih telah mampir.

  3. Mudhofar says:

    Si Raffi sepertinya pamornya melejit terus. Kemewahan selalu mengelilinginya…
    Masyarakat ikut meridhoi karena pandainya media merajut cerita

    1. admin says:

      Betul, Pak Usdhof, hokinya manis

  4. Astuti says:

    Dan Media juga yang akan menggoyang kisah berikutnya

    1. admin says:

      Begitulah Budaya pop, b hajjah, selebritis itu komoditas yang bisa dijualbelikan

  5. Hernawati says:

    Sarapan yang bergizi. Kalau boleh tahu utk pop culture studies biasanya pake rujukan teorinya siapa ya Pak? Pengin baca2. Terima kasih

    1. admin says:

      Ada beberapa referensi yang bisa digunakan, akan sata japri saja ya.

  6. Chrirsadmojo says:

    Suguhan reportase maknyus ….
    Mengundang sidang pembaca untuk merenung atas dramaturgi realitas kuasa media … yang “melahirkan’ profesi selibritis (punlik figur, kyai, seniman, dll.) dengan kuasanya ….
    Hanya sidang pembaca yang mandiri yang tak goyah oleh kuasa media, benarkah?

    1. admin says:

      Matur nuwun sanget, Cak Chamim. Tanggapan yang bagus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *