MENJELAJAHI NARASI PROSES KREATIF

Oleh: Much. Khoiri

TULISAN berikut ini saya maksudkan untuk bertindak sebagai narasi kecil atas proses kreatif saya sebagai penulis. Sebagai sebuah narasi, hanya simpul-simpul relevan saja yang dimunculkan ke hadapan pembaca, seakan sedang menjelajahi wilayah geografis kreativitas yang luas. Sementara, simpul-simpul lain, yang tak tertangkap selama penjelajahan, bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan saya yang lain, baik di dalam buku maupun blog-blog saya.

Baiklah, untuk mengawalinya, saya mohon Anda berkenan hati kalau saya ingin berbagi memori. Ini memori menulis di era jadul alias ‘jaman dulu.’ Zaman dulunya kapan, izinkan saya batasi tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Itu masa-masa perjuangan saya berjibaku dengan “pendidikan diri” yang keras dalam menekuni dunia tulis-menulis.

Sejumlah buku sendiri, Gambar: Dokumen Pribadi

Pada tahun 1980-an, sumber bacaan untuk memperkaya pengetahuan sulit diakses. Perpustakaan masih terbatas, demikian pun buku, sebab penerbit mayor pun jauh dari jumlah sekarang (jangan sebut ‘penerbit indie’ di sini, karena pasti belum ada. Yang ada, ya stensilan.) Jika ingin kaya pengetahuan, selain membaca buku (tak jarang diperoleh di toko buku bekas), ya harus melahap koran, majalah, tabloid, dan sejenisnya. Bahkan orang harus rajin menghadiri acara-acara yang digelar oleh penulis dan pengarang. Jika dana terbatas, semua itu terasa teramat mahal harganya.

Jangan bayangkan ada PC, apalagi laptop yang canggih. Pada tahun 1980-an itu para penulis ya menggunakan mesin tik atau tulis tangan untuk menulis. Saya yang masih belajar menulis, bukanlah kekecualian. Bahkan pada awal-awal perjuangan menulis, saya tidak memiliki mesin tik sendiri. Di mana saya berada dan punya inspirasi menulis, serta menemukan mesin tik, ya di situlah saya meminjamnya untuk menulis. Mesin tik kantor desa saya (desa Bacem, Madiun) adalah saksi bisu perjuangan saya, karena alat itu sering saya gunakan untuk menulis. Di kampus saya sering meminjam mesin tik sekretariat HMJ (himpunan mahasiswa jurusan).

Bahkan, menjelang berangkat ke AS untuk ikut International Writing Program di University of Iowa (1993), saya mampir ke DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), hanya untuk meminjam mesin tik. Pasalnya, saya harus menerjemahkan cerpen saya ke dalam bahasa Inggris, meski salah satu cerpen saya “Obsession” sudah dibantu terjemahannya oleh sastrawan/budayawan Budi Darma, yang saat itu senior saya di kantor. Bahkan, pada bulan-bulan awal di Iowa City, saya masih menggunakan mesin tik, dengan cara menyewa.

Itulah mengapa, ke mana saya pergi, di dalam tas cangklong saya ada: kertas HVS, amplop, perangko, alamat redaksi, buku bacaan, buku catatan, dan berkas lain untuk pengiriman artikel ke media cetak. Di antara berkas itu, kadang ada wesel pos yang belum sempat diuangkan dari kantor pos. Untuk ke kantor pos atau tujuan tertentu, saya kerap berjalan kaki atau naik becak, lalu naik bis kota. Dulu saya tak pernah bermimpi untuk bisa memiliki mobil seperti sekarang ini. Itu hanya khayalan.

Dengan segala keterbatasan itu, saya tidak menyerah. Saya tetap bersemangat. Target menulis 20 artikel per bulan, harus terpenuhi; dan itu terbukti. Hanya dengan mesin tik, target itu saya kejar per bulan. Ya, menulis untuk penghidupan, guna menopang hidup saya di Surabaya, karena saya memang telah belajar mandiri sejak kuliah semester 2. Maka, dengan termuatnya 3-5 dari 20 judul artikel, itu sudah sangat bermakna–cukup membantu usaha les privat Bahasa Inggris dan MIPA saya.

Tahun 1990-an adalah tahun-tahun produktif saya dalam menulis untuk media cetak. Terlebih, saya mengawali karir sebagai dosen; semangat pun berapi-api. Koran-koran Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, Karya Darma termasuk sering memuat tulisan saya. Saya juga menembus majalah sastra “Horison”, barometer sastra nasional. Bonusnya: menembus majalah sastra Melayu “Perisa” (Kuala Lumpur). Tak lupa, saya aktif dalam berbagai forum diskusi dan ikut mengurus majalah kebudayaan “Kalimas” bersama sesama penulis dan penyair.

Itulah yang membawa saya ikut International Writing Program di University of Iowa (AS, 1993), yakni program residensi penulis dari seantero jagad. Saya berteman dengan 33 penulis dunia dan berkenalan dengan banyak penulis dan penerbit. Lalu, tahun 1996 saya terpilih untuk mengikuti Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong. Lagi, teman bertambah, demikian pun tulisan demi tulisan. Selain jadi dosen, saya juga menjalani profesi tambahan (avokasi) sebagai penulis. Sejak 1993 saya sudah berganti alat tulis dari mesin tik ke komputer pribadi (PC) dan beralih lagi ke laptop.

Saat itu saya hanya yakin, ke depan hidup saya akan terang-benderang. Segala kesulitan pasti ada solusinya. Apa yang saya tanam akan tumbuh menjadi  bunga dan buah impian. Impian dan doa saya: “Insyaallah, suatu saat saya akan duduk di sebuah forum seminar ternama, menjadi narasumber tentang menulis dan menunjukkan buku-buku karya saya. Bagaimana ya rasanya memiliki buku yang berderet seperti para penulis Indonesia yang terdahulu?”

##
Alhamdulillah, impian dan doa saya tersebut dikabulkan oleh Allah. Saya diizinkan untuk memberikan pelatihan-pelatihan menulis, baik di insitusi formal maupun institusi nonformal—termasuk pula berbagi ke komunitas-komunitas sastra, budaya, dan literasi lain. Sejak tahun 2000-an kegiatan literasi semacam ini sudah menjadi “kegiatan rutin” dan bagian tak terpisahkan dari proses kreatif saya. Jadi, impian untuk duduk sebagai narasumber literasi, sudah mulai dikabulkan oleh-Nya sejak 2000-an itu.

Namun, saya belum menyusun buku hingga tahun 2011. Sejak 1986/1987 saya menulis artikel, esei, cerita pendek, dan puisi ke berbagai media. Sebagai dosen (muda), saya kerap menulis artikel ilmiah untuk Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, Prasasti, Widyaswara, dan Majalah Wahana. Sementara itu, saya juga menulis artikel populer dan sastra ke media cetak seperti Jawa Pos (Surabaya), Surabaya Post dan Karya Darma (Surabaya, keduanya kini tidak terbit), Mimbar Pembangunan Agama dan Surya (Surabaya), majalah kebudayaan Kalimas (Surabaya), Suara Merdeka (Semarang), Majalah Sastra Horison dan Swadesi (Jakarta), Jurnal Puisi Melayu Perisa (Kuala Lumpur), dan 100 Words (Iowa City, USA).

Guna menunjang proses kreatif saya, selain berprogres dengan karya sendiri, saya selalu menyempatkan membaca karya teman-teman penulis, termasuk para penulis senior. Diskusi rutin di Balai Pemuda Surabaya, juga bedah buku, pameran, dan acara-acara budaya sejenisnya juga kerap saya ikuti—bagi saya, semua itu untuk meningkatkan kepekaan diri dalam menjalani proses kreatif. Bersua dengan penulis lain adalah medium untuk saling menggesek dan menggosok, agar motor penggerak kreativitas tetap hidup dan berjalan.

Singkat cerita, saya baru menerbitkan buku pada tahun 2011, dan saya bertindak sebagai editor (dan penulis) untuk antolologi cerpen bersama penulis-penulis alumni Unesa yang berjudul Ndoro, Saya Ingin Bicara (2011). Kemudian, saat gencar-gencarnya saya dan tim mengembangkan ‘Indonesia Menulis’ (IM), saya mengeditori lagi kumpulan puisi penulis alumni Unesa yang berjudul Gugat (Kumpulan Puisi) (2012). Tahun 2012 saya juga bergabung di Kompasia.com untuk menjadi blogger—yang dikenal dengan kompasianer; sementara, saya sendiri saat itu sudah mengelola blog pribadi MyCreativeforum.

Berkat tulisan-tulisan saya di Kompasiana.com, saya dihubungi oleh penerbit Elex Media Komputindo (Kompas group) untuk menyusun buku dari artikel-artikel yang terbit di blog publik tersebut. Maka, lahirlah buku Rahasia Top Menulis (Desember 2014). Buku ini sangat laris, alhamdulillah, bahkan ia “menginspirasi” pembajak untuk ikut meraup rezeki darinya. Pada awal Januari 2015 RTM dipajang di 142 TB Gramedia, dan pada awal Maret 2015 buku bajakannya saya temukan di Jalan Semarang Surabaya—sebuah pasar buku loak, harganya 50%. Senang bercampur sedih saya rasakan kala itu.

Setelah itu, hadirlah buku-buku saya yang lain, misalnya Jejak Budaya Meretas Peradaban (Jalindo-SatuKata, 2014), Rahasia TOP Menulis (Elex Media Komputindo, 2014) yang kini best seller, Pagi Pegawai Petang Pengarang (Genius Media, 2015), Much. Khoiri dalam 38 Wacana (Unesa University Press, 2016), SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (Unesa University Press, 2016), kumpuis Gerbang Kata (Satu-Kata, 2016), Bukan Jejak Budaya (Pagan-Press, 2016), Mata Kata: Dari Literasi Diri (Pagan-Press, 2017), Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku (Pagan-Press, 2017), Virus Emcho: Berbagi Epidemi Inspirasi (Pagan-Press, 2017), Writing Is Selling (2018), Praktik Literasi Guru Penulis Bojonegoro (2020), Virus Emcho: Melintas Batas Ruang Waktu (2020), dan SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (Ed.Revisi, 2020).

Di samping itu, berkat keterlibatan saya dalam berbagai komunitas literasi, semisal Jaringan Literasi Indonesia (Jalindo) dan Sahabat Pena Kita, saya juga menerbitkan tulisan dalam buku antologi, baik sebagai penulis dan editor, sebagai penulis, maupun sebagai editor saja. Sebagai penulis dan editor, saya ada di dalam belasan buku seperti Boom Literasi: Menjawab Tantangan Tragedi Nol Buku (2014). Sebagai penulis, dalam puluhan buku, saya ada di buku Adam Panjalu (kumpulan Cerpen) (2013). Dan sebagai editor, saya ada di dalam puluhan buku seperti Memori Cermin, Sekumpulan Cerpen (2017).

Tahun 2020 ada sejumlah antologi yang saya libati, semisal Mengenang Sang Guru (Azis Tata Pangarsa, 2020), Maestro, Mengikat Makna dalam Kenangan (ed. Ngainun Naim, 2020), dan Inspirasi Literasi (Abd. Halim Fathani, 2020). Pada saat kopdar SPK 2021 kemarin saya ikut panen karya antologi, yang disusun dari setoran wajib per bulan dan pelatihan SPK: Seni Mendidik Anak (2021), Gaya Hidup Sehat di Era Pandemi Covid-19 (2021), Merdeka dari Utang (2021), Sukses dalam Keterbatasan (2021), dan Titik Balik Menuju Cahaya (2021). Sementara, antologi dari pelatihan adalah Dari Kelas Menulis Menuju Mahakarya (2021).

Hari-hari ini saya sedang menunggu kelahiran buku hikmah saya dari sebuah penerbit mayor di Surabaya. Insyaallah dalam waktu dekat, buku baru ini akan menyapa masyarakat secara luas. Satu buku mandiri lagi sedang saya siapkan untuk penerbit mayor lain. Pada saat yang sama, saya juga mengawal penerbitan tiga buah antologi baru: dua judul tentang refleksi 2020, dan satu judul tentang resolusi literasi 2021. Sementara, ada kegiatan literasi lain yang luarannya juga buku antologi. Maka, saya bayangkan, hingga medio 2021, saya akan “memanen” lagi lima buah buku.

Jika ditotal, akan ada sekitar 65 buku yang saya susun, baik mandiri maupun antologi. Pada saat artikel ini saya tulis, saya baru saja selesai menata puluhan buku saya ini ke dalam dua shaf almari besi khusus untuk buku. Hasil kerja kreatif saya ini saya pasang di atas shaf buku-buku teori sastra, teori budaya, dan teori literasi—yang bagi saya menyimbolkan dua entitas: sumber kreatif dan produk kreatif. Alangkah bahagianya saya mendapati capaian ini—semua atas izin dan bimbingan-Nya.

##

Terus terang, mayoritas buku yang sudah saya terbitkan merupakan buku-buku nonfiksi. Tahun 2011 sudah saya putuskan untuk lebih banyak menulis karya-karya nonfiksi, terutama buku-buku tentang menulis dan literasi karena pertimbangan prioritas. Pikir saya saat itu, pembaca saya (sebagian besar adalah guru dan siswa) lebih membutuhkan buku-buku tentang menulis dan literasi dari pada buku-buku sastra. Maka, menulis nonfiksi perlu didahulukan. Hal ini dimaksudkan untuk ikut membantu peningkatan literasi bangsa ini.

Dalam hati saya berjanji, pada saatnya, saya akan lebih banyak menulis buku sastra. Saya akan menerbitkan lagi cerpen-cerpen saya—insyaallah, naskah cerpen yang sudah terhimpun secara perlahan akan layak diterbitkan. Demikian pula puisi-puisi yang sudah saya tulis, entah untuk acara formal maupun informal, sudah saatnya untuk dipoles menjadi bahan sebuah buku. Novel dan drama, ya dua genre ini, saya juga memiliki naskahnya. Judulnya apa, tak perlu saya sebutkan dulu. Insyaallah semuanya akan saya luncurkan ketika saat yang tepat itu tiba.

Sekarang, izinkanlah saya memanjatkan syukur yang mendalam. Sebab, impian dan doa saya sudah dikabulkan oleh Allah. Menjadi narsum sastra dan literasi, memiliki puluhan judul buku, menghidupkan kajian sastra, dan berbagi (link) tulisan ke belasan komunitas setiap hari (dalam rangka menebarkan virus literasi) adalah sedikit dari buah impian yang dianugerahkan oleh-Nya yang bisa saya sebutkan di sini. Masih lebih banyak yang tak bisa saya ungkapkan. Karena itu, saya hanya bersyukur atas anugerah yang melimpah tak terbatas ini.[]

Kabede Gresik, 27-02-2021

N.B. Terima kasih untuk blogwalking (saling kunjung blog)

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, sponsor literasi, blogger, certified editor & writer 74 buku dari Unesa. Di antaranya "Kitab Kehidupan" (2021) dan "Menjerat Teror(isme): Eks Napiter Bicara, Keluarga Bersaksi" (2022).

28 thoughts on “MENJELAJAHI NARASI PROSES KREATIF”

  1. Sri Rahayu says:

    Hem… So sweet… Laju perkembangan yang luar biasa …
    Semoga virus ini menjangkiti orang-orang di sekitar Panjenengan dengan radius yang tak terjangkau pula…
    Aamiin…

    1. Much. Khoiri says:

      Makasih banyak, Non. Insyaallah saling beejuang dan menguatkan.

  2. Repan Efendi says:

    Perjuangan berat yang sebanding dengan hasil. Selamat dan sukses selalu. Semoga semakin semangat untuk memberikan pencerahan

    1. Much. Khoiri says:

      Begitulah, Pak Refan. Perjuangan harus ditenpuh utk kebaikan

  3. Mudhofar says:

    Jadi bayangin tas isinya alat tulis dan perposan. Sekarang tinggal bawa gadget 6 inch aja sudah cukup… hehehe.

    Menunggu judul novelnya Pak Emcho.

    1. Much. Khoiri says:

      Insyaallah siap, Pak Usdhof. Semoga lekas selesai

  4. WA Sutanto says:

    mudahnya zaman sekarang..untuk sarana berkarya. oke Prof

    1. Much. Khoiri says:

      Benar sekali, Pak Sutanto, skrg serba mudah fasilitasnya. Seharusnya muncul karya2 yg bagus

  5. Hariyanto says:

    Senangnya membaca tulisan yang gigih menulis seperti Bapak. Proses panjang yang dilalui dengan penuh keyakinan berbuah manis. Proses sulit seperti ini yang jarang ditahu orang utamanya generasi muda sekarang. Mungkin karena iklim dan alnya berbeda nggih. Tolong Pak Prof….mungkin bisa dibuat artikel atau buku yang bisa mencerahkan bagi generasi.masa.kini bisa berkarya lebih mudah lagi dan tahu roadmapnya…. Terimakasih yulisannya sangat memberikan energi bagi kami. Salam Literasi.

    1. Much. Khoiri says:

      Tanggapan yg bagus dan inspiratif, P Hariyanto. Sangat inspiratif. Menulis dulu dan sekarang

  6. luar biasa inspirasinya Prof, semoga terus menginspirasi dan memotivasi kami.

    1. Much. Khoiri says:

      Siap, Omjay. Sekoga saling menguatkan

  7. Sumintarsih says:

    Ya Allah….
    Seperti itu perjuangannya. Sekarang tinggal panen Pak.
    Inspirasi tiada henti.
    Terima kasih

    1. Much. Khoiri says:

      Begitulah, Bu Mien. Saat muda dulu saya hanya ingin bertahan utk tetap menulis, sebab sy yakin bhw ke depan saya akan panen. Sementara itu, banyak teman saya berguguran di tengah jalan.

  8. Rd. Nurliyah says:

    MasyaAllah. Luar biasa. !
    Sangat menginspirasi !
    Selamat Pa…sukses selalu.

    1. Much. Khoiri says:

      Teeima kasih, B Nurliyah. Salam literasi tanpa henti

  9. Angelina Aziimatussa'adah 20B says:

    Alhamdulillah sangat hebat sekali bapak, semoga perjuangan bapak bisa menginspirasi teman-teman yang ingin menjadi penulis. Terimakasih Pak. Semoga sehat selalu.

    1. Much. Khoiri says:

      Angelina juga bisa mencetak presatasi yg sama, bahkan lebih.

    2. Angelina Aziimatussa'adah 20B says:

      Aminn 🙏

  10. Mukhammad Ryo Syafi'i 20B says:

    Luar biasa keren bapak, perjuangan menggapai cita cita ternyata seperti itu. Kisah bapak menginspirasi saya untuk menjadi lebih keras dalam mengejar cita cita. Tulisan ini juga sangat memotivasi orang lain. Semoga semuanya bisa menggapai cita cita mereka sama seperti yang bapak lakukan.

    1. Much. Khoiri says:

      Makasih, Ryo. Selamat berjuang ya. Keseuksesan tdk turun dari langit, melainkan harus dijolok dg galah perjuangan dan pengorbanan.

  11. Sintani Fina Sari_EL20A_016 says:

    Subhanallah, berakit-rakit ke hulu. Perjuangan Pak Khoiri membuat saya semakin insecure. Hal yang perlu dicontoh oleh generasi muda pada umumnya dan saya untuk khususnya adalah mental baja dan pantang menyerahnya Pak Khoiri.
    Semoga saya bisa seperti panjenengan😄

    1. Much. Khoiri says:

      Siap, Sintani. Kamu pasti bisa melakukannya. Bahkan kamu bisa lebih baik.

  12. Sri Maherowati says:

    Subhanallah, keren banget, Pak Emcho dan karya-karyanya. Semoga sukses dan bermaafaat selalu. Barokallahu fiika. Semoga pula kreatifitas Bapak dalam menulis bisa menulari saya. Aamiin ya Robbal’alamiin.

    1. Much. Khoiri says:

      Aamiinx100. Ikut mendoakan, Bu.

  13. Ami_Sasing18 says:

    Wah keren sekali, Bapak. Terima kasih sudah membagikan tulisan yang sangat inspiratif ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *