Oleh Much. Khoiri
Judul di atas dibuat berdasarkan bukan pada ilmu klenik, mistikisme, atau kekuatan paranormal, melainkan pada pengalaman dan refleksi saya yang bersumber dari pemahaman teoretik dan penerapannya dalam pembelajaran keterampilan menulis. Maksudnya, pikiran manusia (human mind) bisa dilacak lewat tulisan yang dihasilkannya.
Meski demikian, konsep “pikiran” (mind) di sini, bersumber dari filsafat Barat, maknanya lebih luas daripada sekadar kerja otak. Bagi filsafat rasional Barat (semisal Prancis), manusia hanya terdiri atas tubuh (body) dan pikiran (mind). Ranah kajian pikiran bisa meliputi psikologi, emosi dan insting, kepribadian, individualitas, memori, kecerdasan, cacat mental (mental disorder).
Jadi, ketika disebut “pikiran” dalam tulisan ini, maknanya lebih luas dari istilahnya. Ketika Noam Chomsky (1968), dalam buku Language and Mind, menulis artikel bertajuk “Linguistic Contributions to the Study of Mind (Future)”, tentulah dia berada dalam perspektif filsafat rasional Barat itu. (Dalam filsafat Timur, dikenal pemerian tubuh, pikiran/akal, dan jiwa.)
Kembali ke judul, bagaimana mungkin membaca pikiran lewat tulisan? Tulisan itu gagasan, pikiran, perasaan, atau manifestasi “kata kerja” seseorang yang dituangkan lewat bahasa tulis. Artinya, tulisan itu cerminan atau pantulan gagasan, pikiran, perasaan atau pengalaman si penulis.
Karena bahasa tulis adalah medium yang menyimpan dan mewakili gagasan, pikiran, perasaan atau pengalaman si penulis, maka untuk memahami “isi di balik bahasa tulis”, kita harus memahami dengan tuntas bahasa yang digunakannya. Terlebih, dalam bahasa tulis, hanya bahasa inilah yang bisa kita gunakan sebagai pintu masuk untuk mengungkap isinya. (Jika bahasa lisan, lebih mudah; karena ada bantuan faktor ekstralinguistik semisal mimik, nada bicara, gestur, dan lain-lain.)
Bagaimana menjelaskan hubungan tulisan dan pikiran? Pertama, tulisan bisa mencerminkan wawasan penulisnya. Orang yang berwawasan luas bisa menjelaskan sesuatu gagasan dengan sederhana tapi meyakinkan. Beberapa argumen siap diajukan untuk menguatkannya.
Jika dia memberikan contoh, dia bisa memberikan contoh yang kuantitas dan kualitasnya memadai. Jika dia menyebut bahwa ada beberapa penyebab kanker, misalnya, dia bisa menyebutnya satu-persatu—bukan berhenti pada hitungan dua. Demikian pula kualitasnya, dia bisa merinci semua penyebab kanker itu menurut tingkat akibatnya.
Contoh lain, jika ada penulis yang menegaskan bahwa fenomena mudik hanya terjadi di Indonesia; itu artinya wawasannya sempit. Mengapa? Mudik terjadi di sejumlah tempat di bumi ini. Orang Bangladesh mudik berlebaran seperti kita, orang Malaysia menyebutnya balik-kampung. Pada hari armina orang Arab juga mudik. Orang Inggris dan Amerika punya natal dan/atau Thanksgiving Day. Orang Hindu Bali punya tawur kesanga, orang Hindu India punya hari Divali, orang Yahudi punya hari Hanukah, orang Korea Selatan punya Tsusel (Hari Panen), dan orang China mudik terbesar saat Hari Raya Imlek.
Kedua, tulisan bisa memantulkan kondisi bathin penulisnya. Dengan pemilihan diksi yang digunakan dalam tulisan, bisa terbaca apakah penulisnya sedang ceria, bahagia, sedih, gamang, dan sebagainya. Kita juga bisa membaca sikap penulis itu terhadap sesuatu topik yang ditulisnya, bisa pro, kontra, atau netral.
Dalam setiap tulisan ada tone (nada) tulisan, yang bisa dimanfaatkan untuk melacak sikap penulis. Pernah ada penulis yang mencaci-maki birokrasi pelaksanaan ibadah haji di tanah air, dengan menyebut nama dan lembaga secara kasar (yang berpeluang dibawa ke jalur hukum). Sementara itu, ada beberapa perespons yang menyambutnya dengan lebih elegan, meski tujuannya sama-sama mengkritisi pelaksanaan ibadah haji.
Ketiga, tulisan juga menunjukkan estetikanya. Ada orang yang menyimpan nilai estetik tersendiri dalam tulisannya, namun ada juga yang kaku nilai estetiknya. Dalam puisi, estetik penyair tidak hanya tercermin dari pemilihan kata (diksi) yang indah, melainkan juga pada makna yang ditimbulkannya. Sementara itu, puisi yang baik bukanlah kumpulan kata-kata berbunga yang kering isinya.
Mari bandingkan, mana yang lebih estetik. Kutipan pertama berbunyi “aku suka senyumanmu/aku suka tatapanmu/aku suka tutur katamu/aku suka tingkahmu/aku sangat mencintaimu…”. Kutipan kedua berbunyi “Kini, Mbakvia, hai pemenjara jiwa/candu apa lagi yang sedang kausuguhkan?/Untukmu, pasti kuterima dengan segala rela/agar kita menyatu laksana api dan baranya.” Ini sekadar ilustrasi bahwa tulisan mengandung nilai estetika penulisnya.
Keempat, tulisan menunjukkan logika berpikirnya. Ini analog hubungan bahasa dan logika. Orang yang logikanya mapan, tulisan yang dihasilkannya akan tertata dengan runtut, tertib, dan enak diikuti. Sementara, orang yang logikanya tidak teratur, tulisannya cenderung mbulet dan membingungkan.
Untuk sebuah kalimat saja, orang yang logikanya apik, akan menaati berlakunya hubungan subjek-predikat-objek-keterangan dengan baik. Dia akan menyusun kalimat yang berterima baik gramatika (tekstual) maupun konteksnya. Dia akan menulis “Dengan semangat proklamasi, kita sukseskan pembangunan bangsa” alih-alih menulis “Dengan semangat tinggi, menyukseskan pembangunan bangsa.”
Untuk sebuah paragrap atau esei, orang yang logikanya apik, akan memulai tulisan dengan kalimat atau paragrap pembuka, lalu membahas secara runtut sub-sub bagian dari apa yang seharusnya dibahas, dan menutupnya dengan simpulan yang bagus. Demikian pun untuk tulisan lebih panjang semisal makalah ilmiah, skripsi, tesis, atau disertasi.
Mahasiswa saya merasa heran saat mengetahui bahwa saya hanya perlu sekitar 20 menit membaca sebuah skripsi sebelum menguji; padahal, mereka tahu, pertanyaan saya dalam setiap ujian skripsi pastilah substansial dan mendasar. Apa jawaban saya? Logika! Saya katakan, selama membaca skripsi, saya pasti melacak logika penulis yang tercermin dari linier-tidaknya antara judul, rumusan masalah, konsep/teori, analisis, dan simpulan.
Begitulah perbincangan ringkas tentang membaca pikiran lewat tulisan. Meski demikian, perbincangan tersebut barulah berdasarkan pengalaman dan refleksi. Karena itu, kajian lebih lanjut dengan perspektif teoretik yang serius agaknya perlu dilakukan, guna meraup pemahaman yang utuh.
Nah, sekarang mari tinjau kembali tulisan-tulisan kita yang terdahulu, dan mari selami makna yang tersimpan di balik tulisan-tulisan itu. Ini bisa dianggap sebagai simulasi membaca pikiran kita dalam tulisan kita masing-masing. Hmm, jujur, bagaimana hasilnya?* (Copyright@Much. Khoiri).[]
Waduhh… Berarti terbaca donk pikiran saya saat menulis… Ampun…
Begitulah kira-kira
Semakin menulis, bs semakin ketahuan nih, ceteknya saya. Malu….
Kalau tidak nulis, malah tidak ketahuan.
Mending ketahuan ya Pak, tapi nulis. Hehe….
Iya bener, udah langsung kebaca keseluruhan, jadi malu nih kedangkalan alam pikirannya, hihihihi
Itu lebih baik dari pada tidak menulis sama sekali
Dicoba lagi ,lama2 akan membaik
Tetapi menulis memang sebuah problem tersendiri, karena untuk jadi sebuah tulisan, kadang harus bolak balik merevisinya. Jika tulisan disimpan agak lama, akhirnya ketahuan banyak celahnya. Itu pengalaman saya. Artikel ini membuat tergelitik untuk melihat kembali tulisan pribadi yang lama. Mantap Prof. Terimakasih inspirasinya.
Berarti Pak Har mengalami kemajuan menulis
Berasa kuliah lagi. Selalu ada yang menginspirasi di setiap tulisan Pak dosen. Tabik.
Kita sebagai pembelajar yang baik
Kuliah kilat. Matur nuwun, Pak Khoiri. Siapa takut. Biarlah pembaca tahu. Sehingga kami akan semakin memperbaiki diri supaya dapat menulis dengan lebih baik.
Matur nuwun, Bu Natalia. Sehat selalu nggih
Nasihatnya kira-kira seperti ini: “Kualitas tulisanmu adalah kualitas dirimu.”
Kalo tulisan fiksi, seperti cerpen apaakah bisa mencerminkan penulisnya?
Sama saja. Hanya, tulisan fiksi perlu lebih keras untuk menangkap apa di balik tulisannya
Padat berilmu dalam kerenyahan. Selalu!
Makasih, KaRos. Jempol komentarnya
Terima kasih Pak atas tulisannya 🙏
Sekarang saya sadar kalau terkadang tulisan saya yang sedikit kacau itu dikarenakan pikiran saya yang kacau
Terus be;ajar ya, Sukma. One day you will get better writings
Upregulation of Ifnb1 and Mx1 induced by 20 Gy in TSA cells with impaired expression of Trex1 TSA shTrex1 was comparable to the response induced by 8 Gy in TSA cells expressing a non silencing construct TSA shNS Fig achat levitra en europe
تشتهر تجهيزات HDPE من إيليت بايب Elite Pipe بتعدد استخداماتها ، مما يسمح بوصلات آمنة وفعالة في تطبيقات متنوعة مثل إمدادات المياه وتوزيع الغاز وخطوط الأنابيب الصناعية.
In some cases, radiation therapy is used after mastectomy to treat the chest wall, the axillary lymph nodes and or the lymph nodes around the collarbone cialis for sale