Oleh: Much. Khoiri
TIBALAH aku menjawab kasus ini. Aku tersenyum dalam hati, sambil membatin,” Permainan ini masih belum berakhir.” Maka didampingi Letda Putu dan Bripka Jono, aku memetakan pernyataan kunci Made, Didin, dan Alex di atas kertas. Fokusnya, menguji kebenaran status profesi, kemungkinan keterlibatan, dan motif pembunuhan.
Made:
[1] Saya bukan pelukis [juga kolektor]. [2] Saya tak terlibat pembunuhan Sukreni. [3] Saya sahabat Sukreni, belum mencintainya.
Didin:
[4] Saya bisa melukis [dan pebisnis]. [5] Tapi saya tak terlibat pembunuhan Sukreni. [6] Saya mencintai, tapi cinta saya belum terjawab.
Alex:
[7] Saya bukan pelukis. [8] Seorang pelukis yang membunuh Sukreni. [9] Sebagai penaksir, saya tak tega membunuhnya. Mungkin mantan sahabat yang cemburu, atau cintanya ditolak.
Hasil investigasi:
[10] Hanya empat dari pernyataan di atas yang benar. [11] Ternyata hanya satu dari ketiga orang itu yang bukan pelukis.
Semenjak tadi kedua partnerku memperhatikanku membuat pemetaan. Lagi pula, ruang kerjaku bebas rokok; karena itu, mereka tidak menyulut Djie Sam Soe-nya.
Sejenak aku melirik Bripka Jono. “What do you think, guy?” Aku mempraktikkan privat Inggrisku.
Dia mengerutkan kening, lalu berkata,”Begini, pak. Bila [2] dan [5] benar, Alex pembunuh Sukreni. Dari pernyataan [10], pernyataan [7] dan [8] adalah palsu. Tapi bila Alex pembunuh Sukreni, pernyataan [7] dan [8] tidak mungkin palsu keduanya. Tapi dari pernyataan [11], mung-kin pernyataan [4] benar atau [1] palsu. Dari kesimpulan ini, Alex bukan pembunuhnya.”
“Bagus…Alex bukan pembunuh.” Aku mencoret namanya dengan tinta merah. “Lalu, menutmu, Letda Putu?”tanyaku pada partner yang selalu kuandalkan menganalisis kasus-kasus rumit.
“Pembunuhnya Made atau Didin, Pak,”tukasnya mantap.
“Oke. Show me the logic.”
“Karena pembunuh itu adalah pelukis, maka [8] adalah benar. Bila [1] benar, maka [2] akan benar (bukan pelukis); jadi [1] tak mungkin benar. Maka Made tentunya pelukis, setidaknya kolektor. Bila [4] benar, maka [7] tentu benar, karena hanya ada satu pelukis. Tapi yang benar hanya empat pernyataan, jadi [4] dan [7] tak mungkin benar. Didin bukan pelukis, hanya bisa melukis; maka dia tak terlibat pembunuhan Sukreni. Jadi pernyataan [5] adalah benar. Dengan demi-kian, yang benar adalah pernyataan [8] dan [5].”
“Seorang pelukis yang membunuh Sukreni?” kataku meyakinkan.
“Ya, pak. Alex tidak membunuh Sukreni,”timpal Letda Putu.
“Didin juga tak terlibat pembunuhan Sukreni?”
“Tepat. Didin tidak terlibat.” Bripka Jono ikut menyimpulkan.
Kami saling berpandangan. “Berarti Made!”
“Ya, Made pembunuhnya. Pelukis, juga kolektor.”
Kegirangan aku berteriak dalam hati. “Lalu motifnya?”
“Mencermati hasil ini, serta BB yang ada, pernyataan [6] dan [9] benar adanya. Hanya pernyataan [3] yang palsu. Made memang sahabat lama Sukreni, tapi diam-diam mencintai Sukreni begitu dalam. Benar teori Bapak, tiada persahabatan antara lelaki dan perempuan. Dia cemburui siapa pun yang mendekatinya. Intinya, tak seorang pun boleh memilikinya.”
“Tapi mengapa harus membunuh?”
“Jika hidup, Sukreni akan jatuh ke pelukan orang lain. Baginya itu sangat menyakitkan. Dan dengan kematian itu, Made bisa beraudiensi dengan Sukreni dalam dimensi lain, yakni imajinasi dan ilusi dimana Sukreni bisa dibayangkan secara abadi.”
“Gila! Katarsis yang membuta-tuli.” Bripka Jono bersungut-sungut.
Letda Putu menimpali: “Made telah mengalami ekstasi keabadian.”
Ruanganku senyap sejenak. Aku menghela napas dalam-dalam. “Gentlemen, good job. Terima kasih,”kataku sambil menyalami mereka. “Sekarang, proses mereka.”
“Siap, Pak,”sahut keduanya serentak, memberi hormat.
***
KINI aku mematung dalam hampa. Kulihat jaket cokelat gelap, sarung tangan, dan topeng wajah di dalam laci meja kerjaku. Terbayang bagaimana sebelum meninggalkan Sukreni malam itu, dengan segala kehancuranku, kupinjam tangannya untuk menulis dengan darahnya sendiri: PELUKIS. Kini dadaku berdegup-bergemuruh tak menentu. Namun, dalam kepahitan ini aku harus merayakan kemenangan, sebuah kemenangan muslihat atas kebodohan dan kejujuran. Mereka telah terperangkap dalam permainanku. Semuanya berjalan persis sesuai rencana. Sebuah rencana dalam permainan sang Waktu.
Kini kembali terbayang upacara Ngaben Sukreni. Aku sendiri, terpencil, di dalam Sel Kehidupan, bersama bayang-bayang Sukreni yang pasi. Entah sampai kapan.
Sukreni, maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu, sampai ke kedalaman dan keluasan dan ketinggian yang jiwaku mampu capai, tatkala perasaan mengkristal dalam keberadaan dan kepurnaan. Aku mencintaimu sampai ke kesenyapan hari, demi matahari, demi bulan dan sinar lilin. Cintaku bebas, sebebas aku memperebutkan Hak. Cintaku tulus, setulus doa-doa orang dalam pengharapan purna. Aku mencintaimu dengan segala nafsu, namun juga semurni cinta anak-anak yang bebas dari dusta. Aku mencintaimu dengan segala kesucian jiwa yang pernah ada. Aku mencintaimu dengan napas, senyum, air mata, dan segalanya dalam hidupku—dan jika Tuhan mengizinkan, aku akan mencintaimu jauh lebih baik setelah kematian.[i] Tunggulah aku agar kau bisa melihat bahwa semua ucapanku benar. Sekarang, istirahatlah dalam damai. (*)
T A M A T
[i] Diadaptasi dari puisi Elizabeth Barret Browning “How Do I Love Thee?”
Perlu kejelian menulis sebuah cerita detektif yang mengacaukan pikiran…
Begitulah, Pak Usdhof. Harus mencoba jadi dalang.
Jadi pelakunya adalah pak polisi itu ya, benar dugaan saya
Bisa diduga memang, namun untuk melogikan semuanya itu, adalah sesuatu yang sulit.
Cukup dua kata: Bukan main!
KaRos, terima kasih banyak ya, atas apresiasinya.
Mengarahkan alibi dengan kelihaian yang picik… Mantul
Makasih banyak, Bu guru. Ini perlu putar otak untuk membuatnya masuk di akal.
Sungguh, Makasih banyak nggih, Bu guru. Ini perlu putar otak untuk membuatnya masuk di akal.
canada pharmacy no prescription
pharmacies withour prescriptions
non prescription drugs
viagra and diabetes Stevia Lower Blood Pressure
Saya hanya berani komen : Menuurut logika sastra, ending sangat logis.