“KEMATIAN SUKRENI” (Cerpen – Bagian 1)

Oleh Much. Khoiri

SUKRENI mati dua kali. Kematian pertama terjadi bersama tewasnya suami dalam insiden bom Bali. Karena suami adalah cinta sejatinya—dan segalanya, hidup selanjutnya bagai ilalang di padang gersang. Luka itu sangatlah dalam. Tidak sedikit lelaki yang ingin mengobati luka itu. Namun, sebelum ditemukan seseorang yang mampu melakukannya, kematian keduanya pun terjadi.

Akibat kematian Sukreni, pagi itu kemacetan menumpuk di depan Pasar Sanglah Denpasar, dari arah selatan maupun timur. Ambulans meraung-raung, diselingi klakson bertalu. Berpuluh orang menjejali mulut Jln. Pertani, di seberang barat pasar itu. Pangkalan ojek dan parkir mobil para tengkulak pun sarat manusia. Penjual-pembeli yang memenuhi sisi utara dan barat pasar ikut menyaksikan. Mereka berbisik-bisik, manggut-manggut, geleng-geleng. Laksana angin, berita kematian Sukreni cepat menyebar dari mulut ke mulut. Ambulans meluncur terburu-buru ke RSU Sanglah.

Sumber gambar: Dok Lovepik

Rumah besar dan mewah krem itu kembali sunyi. Sesekali jerit histeris terdengar sayup-sayup. Belasan tetangga, dengan wajah sendu, hanya bergerombol di sekitar pohon mangga gadung. Semerbak bebungaan, dan asrinya tetamanan larut dalam duka. Police line yang mengitari rumah itu adalah garis pembatas kematian.

Lelaki mana yang tak kehilangan Sukreni? Usianya baru 25 tahun. Hidungnya bangir, matanya bulat bak telur, kulitnya putih mulus, tubuhnya sintal, dan cer-das. Dan satu lagi: kaya! [Tentu saja warisan dari suaminya.] Perempuan sempurna, baik fisik maupun kepribadian. Aora kecantikannya memancar, daya pikatnya luar biasa. Ditunjang gaya hidup-nya yang cukup mewah, Sukreni menghabiskan kata untuk melukiskannya. Bahkan, dalam keadaan mati pun, Sukreni tetap mempesona.

Satu tim polisi telah menggelar olah TKP (tempat kejadian perkara), cermat dan seksama. Sejumlah saksi mata dimintai keterangan. Kemudian, mereka membawa barang-bukti (BB) berupa kartu identitas, buku harian, belati berlumuran darah, kain pink berlukisan abstrak daun waru tertancap anak-panah, T-Shirt, dan patung kayu.

Aku tidak terkejut dengan semua BB itu. Kupikir kepergian Sukreni harus ada fakta dan logika hukumnya. Bahkan sebagian BB patut diarahkan ke calon tersangka: T-Shirt ke Alex, patung kayu ke Didin, dan lukisan daun waru ke Made. Aku sungguh tahu: Ada tulisan darah jari Sukreni di lantai kamarnya: PELUKIS.

***

SEMULA aku sendiri mengenal Made, Didin, dan Alex dari Sukreni. Made, 29, adalah sahabatnya. Wataknya gabungan melankolis dan plegmatis. Bertahun-tahun persahabatan itu, katanya, begitu indah ketika sama-sama masih seusia SMP tinggal di kawasan Margorejo, Surabaya. Setamat SMP Sukreni pindah ke Den-pasar, ikut neneknya. Made pun, diam-diam, mengikutinya, dan tinggal di Ubud. Dia seniman yang kaya—karena mewarisi harta mo-yangnya.

Didin, 30, adalah pengusaha kayu (patung) yang berbakat melukis, tinggal di Batu Bulan Gianyar. Dia melankolis, suka merenung, suka memendam perasaan—tapi dia mampu mencintai seseorang sepenuh jiwa. Dia pengusaha kayu (patung) yang sukses. Dia datangkan kayu (patung) dari Besuki, Jawa Timur. Sekali tempo dia melukis, menghidupkan bakat ter-pendamnya. Sementara itu, ibunya telah mendesaknya segera menikah. Adalah Sukreni yang telah menggoyahkan imannya, namun sikap Sukreni masih jinak-jinak merpati.

Sementara, Alex , 33, lelaki berwatak koleris kuat, berbakat meminpin. Dia tak suka diatur-atur, apalagi bekerja di bawah perintah orang lain. Karena itu, dia menjadi pebisnis restoran Eagle 2 di Badung, Eagle 3 di Gilimanuk, dan Eagle 4 di Tabanan. Intuisi bisnisnya sangat tajam, bagai elang yang siap menerkam mangsa. Dia mengenal Sukreni sejak sebelas bulan silam—ketika Sukreni menggelar presentasi bisnis MLM di aula Eagle 2.

Begitulah aku mengenal mereka, dan dalam setiap pertemuan Sukreni selalu menyan-jung tiga lelaki itu. Dulu Sukreni mengukur kehebatan suaminya berkat kemampuan mencintai. Namun, prinsip itu terkubur bersama suami. Kini kesuksesam dan kekayaan adalah ukuran kehebatan seorang lelaki. “Cinta perlu perwujudan. Dengan uang, orang bisa memuluskan perwujudan cintanya.”

Ah, aku sepantasnya marah mendengarnya. Sebagai polisi, seorang Ajun Kompol, aku merasa melarat, tidak sebanding dengan Made, Didin atau Alex. Tetapi, setiap kali menghadapi Sukreni, aku tidak bisa marah. Meski kata-katanya lebih tajam dan menyakitkan pun, aku tidak kuasa marah. Aku benar-benar takluk padanya.

“Saya tidak materialistis kok, mas,”katanya sambil melihat-lihat brosur fitness center yang dikelolanya. “Saya realistis. Sekarang serba kurs dolar, mahal. Bila saya menikahi sampean[i], saya mau berhenti total dari pekerjaan.” Lalu, diperiksanya jadwal presentasi bagi down-line-nya. Maklum, peringkat Emerald dalam bisnis MLM membuatnya sibuk belakangan ini. “Saya akan jadi isteri sempurna, dan ibu rumah tangga yang purna.”

Dadaku berdegup. “Gimana aku memenuhi tuntutan itu?”

“Pengabdian dan impian. Itu paradoks.”

“Pengabdian dan impian? Apa maksudmu?”

“Ya, sampean penjunjung pengabdian. Polisi itu kan abdi negara, abdi masyarakat. Sebagai abdi, sampean harus jujur, tak boleh korupsi, tak macem-macem. Abdi hanya berhak menerima yang diberikan, tak boleh menuntut lebih. Sampean tak mau melakukan pekerjaan lain, karena bagi sampean hal itu mengkorup waktu pengabdian. Jadi, beginilah hasil-nya. Pengabdian adalah keterbatasan uang. Tiada kebebasan merancang masa depan.”

Sejak tadi, dari mulut mungilnya kata-kata itu mengalir deras. Dalam hati aku sebenarnya mengiyakan Sukreni. Gaji bulananku mungkin kedodoran untuk gaya hidup Sukreni—bahkan minim hanya untuk mencukupi alat kecantikannya. Orang cantik mahal harganya, pikirku. Keterba-tasan inilah yang membuatku menunda berkeluarga.

“Apa maksudmu impian?” selidikku, menatapnya tajam, mirip anak SD yang ikut les privat. Pesona parasnya sangat menentramkan. Ah, wanita modern yang sempurna.

Setelah menghela napas, dia bertutur: “Sampean punya impian, tapi mungkin tak bisa hebat, karena terikat ketaatan sampean pada pengabdian. Padahal impian besar, perlu langkah besar, konsentrasi besar. Membangun rumah saja ada skets dan rencana, masak membangun masa depan tanpa impian besar? Dan itu tak terwujud selama sampean jadi abdi negara. Lihatlah, mas, saya, Made, Alex, Didin semua punya impian besar.”

Ucapan Sukresi terasa pedas. Namun, pesona itu kembali meluluhkan hatiku.

“Dan saya tak suka lelaki yang tak punya impian,”katanya kalem, tampak hati-hati. “Dia identik orang impoten. Impoten simbol kekalahan, bukan?”

“Berarti kamu menolakku hanya karena aku miskin?”

“Saya suka mas Bambang. Tapi saya tak suka orang yang tak punya impian.”

“Itu sama saja memojokkan saya.”

“Seperti saya bilang, saya akan stop kerja kalau menikahi sampean. Berarti income sampean harus mencukupi keluarga. Jika tidak, siapa yang mau bertaruh?” Dia memegang tanganku. “Tapi maaf lho, mas, saya tak bermaksud melukai hati sampean.

Kali ini dadaku hampir meledak. Sukreni tak hanya melukai hatiku, malah telah merendahkanku. Itu suatu penolakan halus yang harus kuterima. Dalam waktu dekat mustahil aku mencapai penghasilan yang diimpikan Sukreni. Memang itu realistis, tapi juga mustahil!

Begitulah, Sukreni mengobsesi hidupku. Semakin hari aku mencintai Sukreni, semakin dalam aku tersiksa. Aku harus rela direndahkan oleh kata-katanya, meski terdengar merdu dan mengasyikkan. Adakah ketakberdayaanku ini berkesudahan? Adakah keka-lahanku bukan kematian tapi kehidupan yang baru? Permainan hidup apakah yang kualami?

(BERSAMBUNG)

[i] Sampean (Jawa) = sapaan (keakraban untuk kamu/kalian

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, penggerak literasi, blogger, editor, penulis 70 buku dari Unesa. #Kitab Kehidupan (Genta Hidayah, 2021). #Menjerat Teror(isme) (Uwais Inspirasi Indonesia, 2022)

14 thoughts on ““KEMATIAN SUKRENI” (Cerpen – Bagian 1)”

  1. Sri Rahayu says:

    Realistis… Tersusun rapi kata perkata…mantul… Penasaran dengan kelanjutan ceritanya…

    1. admin says:

      Insyaallah lanjut. Makasih, Non

  2. Hernawati says:

    Jadi membayangkan cerita detektif. Agatha Christie, Hercule Poirot, Trio detektive, …… mantul Pak dosen.

    1. admin says:

      Menulis cerita detektif itu sulit, harus bertindak seperti detektif pula.

  3. Ditunggu sambungannya.. bikin penasaran sekali..

    1. admin says:

      Siap, Bu Tini. Ada sambungannya.

  4. Eka Rosmawati (Eka Ros) says:

    Prediksi: Sukreni mati dibunuh Polisi Bambang. Pedesripsian yang menggugah selera.

    1. admin says:

      Terima kasih atas prediksinya. Tapi prediksi itu perlu diikuti detailnya. Itu yang menarik….

  5. Husnul Hafifah says:

    Mantab sekali alur dan diksinya he he…keburu menunggu sambungannya…

    1. admin says:

      Terima kasih banyak, B Husnul. Semoga.

  6. Mudhofar says:

    ada karakter melankolis, plegmatis. masih ada dua yang belum disebut. Sanguin dan korelis. Saya mendapatkan ilmunya di MLM gedhe di Indonesia… hehehe

    terima kasih cerpennya. bisa dibuat belajar.. dan semoga bisa menduplikasi (bahasa gaya MLM hehehe)

    1. admin says:

      Melankolis, plegmatis, sanguinis, koleris.

  7. Sriyatni says:

    Semoga bisa membuat tulisan yang indah seperti Bapak

    1. admin says:

      Pasti bisa loh, Bu, tapi perlu latihann saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *