BUNGLON (Cerpen – Bagian 1)

Oleh: Much. Khoiri

SEMUA ini terjadi setelah pemilihan umum di Negeri Rimba. Mayoritas hewan besar kelas Herbivora, Karnivora dan Omnivora sedang tawar-menawar soal proporsi kursi di Majelis Permusyawaratan Hewan; dan seluruh hewan jelata telah kembali ke kehidupan keseharian – dalam atmosfir seperti dulu, mereka bisa bernafas, makan, minum, bekerja, bermain, dan tidur nyenyak lagi di tanah impian mereka. Kendati telah bergolak kerusuhan, bentrokan, korban-korban, dan bertumpuk-tumpuk kesedihan, di mata mereka masih tersimpan harapan untuk kehidupan lebih baik.

Sekitar empat-puluh partai hewan telah mengikuti pemilu. Seluruh hewan bingung tentang apa yang hendak dipilih. Singa Tua, si raja hutan saat ini – setelah pengunduran Macan Tua musim lalu–, memahami betapa sulit memuasi seluruh hewan. Mesi banyak tokoh hewan menuduh Macan Tua masih memainkan peran-peran liciknya di balik layar, si Singa Tua tak pernah percaya. “Akan kita gelar pemilu yang adil. Tanpa tekanan, tanpa ancaman. Pilihlah yang terbaik,” tegasnya sebelum hari H pemilu tiba.

Sumber gambar: Tekno Tempo.co

Namun, di balik kepuasan tersembunyi benih-benih kekecewaan. Ada sekelompok hewan yang telah mengklaim diri sebagai golongan-putih alias golput (non-pemilih). Pasalnya, mereka telah muak terhadap manipulasi keluarga mantan raja Macan tua, dan menilai penguasa sekarang tak mampu menjalankan amanat perwakilan hewan. Dan semua ini disebabkan provokasi Monyet.

Suatu siang Monyet, tokoh para non-pemilih, duduk takzim di atas batu besar, memandangi selingkaran besar hewan-hewan jelata: kelompok domba, kelinci, anjing, ular, kadal, bunglon, tupai tanah, tikus, burung, kelelawar, kupu-kupu, kalajengking, dan masih banyak lagi. Orangutan, si paman Monyet, duduk di sisi sang tokoh, berpura-pura seakan sangat tekun memperhatikan. Mereka tampak penasaran menunggu pidato Monyet.

“Kawan-kawan hewan,” kata Monyet. “Pemilu itu hanya karena kolusi. Kita telah menyaksikan bunglon-bunglon.

Hadirin hewan tentu teramat terkejut. Mereka bergeser mendekat, persis para wartawan yang berebut untuk wawancara kelas wahid.

“Tapi, apa maksudmu dengan bunglon?” potong Ular.

“Kamu sedang membicarakan aku?” kata Bunglon.

Orangutan mengelus-elus bunglon kecoklatan itu dan berujar, “Bukan, bukan sampean. Mereka telah berperilaku kayak sampean. Sampean telah dimanipulasi.”

“Jangan muter-muter. Aku tak paham maksudnya.”

“Ya, jangan ambigu. Jangan mbulet.

“Karena itu, dengarkan dia.”

Monyet tersenyum. Senyumannya membuat mereka lebih penasaran, seolah menahan nafas. Sejenak kemudian dia mengerdip-kerdipkan mata dan memegang sepotong tongkat kayu.

“Yes, mereka telah bertindak kayak bunglon,” kata Monyet, dengan menatap lurus ke depan. Gayanya begitu meyakinkan.

“Seperti bunglon? Jangan bercanda ah.”

“Dengar, mereka itu lihai beradaptasi dengan sekitarnya persis seperti bunglon-bunglon mengubah warna guna menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka berkeahlian khusus untuk menyesuaikan diri, untuk memanipulasi imej-nya. Potensi khas inilah kunci bagi popularitas dan kesuksesan mereka. Mereka punya kepribadian begitu luwes hingga bisa arab dengan siapapun juga, dan setiap hewan menyukai mereka.

Seluruh hadirin saling memandang. Ada yang hendak angkat bicara, namun kelihatan bahwa yang bersangkutan ragu. Sementara itu, hadirin lain saling berbisik, tak jelas apa yang dibisikkan. Maka, Monyet makin leluasa beraksi.

“Kata mereka, perubahan peran tidak mesti memperdaya, tapi justru agar cocok dan pantas,” lanjut Monyet dengan suara mantap. “Bersikap seperti hewan yang lain membantu mereka untuk bergaul akrab dengan hewa-hewan paling idiosinkratik sekalipun. Juga agar lebih efektif dalam hidup, bermain, dan cinta. Serta membuat hewan-hewan lain merasa santai dan nyaman karena keberadaannya…”

Tiba-tiba Srigala, mata-mata cerdik ini, berlarian menuju kerumunan hadirin. Seluruh mata tertuju kepadanya.

“Ada apa, Srigala?” tanya Orangutan, sambil sesekali mengelus kepalanya.

Srigala maju selangkah. “Waktu aku bertugas, Elang membimbingku ke lembah itu, dan kami melihat Mr. Macan Besar Jr. dan seluruh pengikutnya sedang menggelar parade. Semacam eksodus. Bisa kalian dengarkan mereka sekarang.”

Mereka mematung. Mereka bisa mendengar derap-derap kaki berat dan suara-suara aneh di kejauhan. Itulah suara serombongan gajah, jerapah, banteng, lembu, beruang, macan, dan sekian hewan besar lain. Hadirin masih mematung saat Monyet mengangkat tongkat kayunya. “Jangan takut, kawan. Mereka sedang menikmati kemenangan. Tapi kita harus tenang. Terimakasih, Srigala.”

Srigala tersenyum dan pindah duduk di depan Domba. Suara derap kaki berat dan suara-suara aneh di kejauhan sudah ditelan bumi. Kini semilir angin menyapu lembut ke seluruh penjuru tempat pertemuan itu.

“Oke, mari kita lanjutkan, ” kata Monyet lagi. “Jadi mereka itu perseptif, mudah mengerti. Keluwesan dan keadaptifan mereka memungkinkannya menuju kepribadian amat sempurna untuk situasi apapun. Pada satu kesempatan mereka bisa bicara dengan berbagai macam hewan, tentang macam-macam topik, dan dalam macam-macam perilaku. Mereka-lah hewan yang serba bisa. Mereka tak pernah merasa asing meski masuk ke dalam keberagama sikap, nilai, dan minat.”

BERSAMBUNG

Author: admin

MUCH. KHOIRI adalah dosen Kajian Budaya/Sastra dan Creative Writing, penggerak literasi, blogger, editor, penulis 70 buku dari Unesa. #Kitab Kehidupan (Genta Hidayah, 2021). #Menjerat Teror(isme) (Uwais Inspirasi Indonesia, 2022)

6 thoughts on “BUNGLON (Cerpen – Bagian 1)”

  1. Sumintarsih Min says:

    Tokoh-tokohnya hewan, tapi berat temanya, Pak. Hehe….

    1. Much. Khoiri says:

      Agak berat dikit, Bu. Jangan terlali ringan

  2. Sri Rahayu says:

    Hewan yang intelek…
    Mantul…

    1. Much. Khoiri says:

      Matur nuwun sanget

  3. Sugiarti says:

    Sangat bermain makna yang dalam…mengidiomkan…salut dan keren

  4. Sintani Fina Sari_sasing20A_016 says:

    Kehidupan manusia yang diadaptasi hewan, beruntungnya hanya fiktif.
    Saya ingin tahu alasan mengapa peran monyet selalu banyak bicara, tidak hanya di cerita ini, cerita anak pun demikian.
    Terima kasih, Pak Khoiri. Tulisan panjenengan banyak yang menginspirasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *